Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Telinga Copot
Marti menoleh menatap Praga yang melajukan motornya masuk ke dalam pekarangan rumah. Sudah satu hari anak nakalnya tidak pulang. Marti mengigit bibirnya dengan geram, meraih rotan yang sudah sejak kemarin ia siapkan untuk tubuh Praga.
Praga melangkah turun dari motor yang sudah menciptakan hawa panas karena telah dilajukan begitu cepat untuk menyelamatkan nyawanya dan juga reputasinya sebagai ketua geng. Tidak lucu jika ketua geng tertangkap polisi.
Pletak!
Praga tersentak kaget. Baru saja ia turun dari motor tetapi betisnya sudah mendapat pukulan. Kedua matanya membulat kaget, bibirnya bergetar sambil mengusap betisnya yang sebenarnya tidak sakit tapi berusaha memperlihatkan rasa kesedihan di depan Marti agar tidak dipukul lagi.
"Kenapa, sih Ma? Baru aja sampai udah dipukul."
"Masih ingat pulang kamu, hah?!!"
"Masih mau tinggal di sini?"
"Udah satu hari nggak pulang-pulang ngapain aja kamu di luar sana?!!"
Cerocosnya tanpa henti sementara Praga hanya terdiam. Kalau ia menjawab pasti kena pukul lagi.
"Denger nggak sih kamu? Nih kuping nggak di pakai!"
Praga menjerit kesakitan saat telinganya ditarik lalu di putar dengan keras. Kedua mata Praga membulat di sertai wajahnya yang memerah merasakan sakit.
Marti melangkah dengan tangannya yang masih menjewer telinga kanan Praga membuat anaknya itu mengikut seperti anak kucing. Lihatlah untung saja tak ada anggota geng motornya yang melihat adegan ini jika ada maka namanya sebagai ketua geng motor yang paling ditakuti akan tercoreng.
"Duh, Mama sakit!" aduhnya tapi Marti tak peduli.
Marti tetap berjalan. Kali ini anak nakalnya harus jera agar tidak melakukannya lagi.
"Siapa suruh kamu nggak pulang-pulang ke rumah. Kalau emang nggak mau pulang ke rumah mending beresin baju-baju kamu bawa keluar sana!"
"Sekalian aja nggak pulang daripada pulang pergi melulu kagak jelas," sambungnya lagi.
"Sibuk, Ma," jawab Praga membuat Marti semakin memutar telinga Praga yang kembali menjerit.
"Sibuk kamu bilang?"
Praga mengangguk dengan bibir mengerucut seperti anak kecil tetapi itu tidak membuat Marti menjadi luluh.
"Kek presiden aja kamu, sok sibuk. Kamu pikir kamu yang bangun negeri ini sampai nggak pulang?"
"Maaf Ma! Tapi Praga cuman-"
"Assalamualaikum, Mama!!!"
Praga dan Marti menoleh menatap Prapat yang berlari sambil memeluk tasnya dengan pipi yang sudah basah, Yap pria itu menangis dan tangisannya semakin meledak saat ia memeluk tubuh Marti.
Jemari tangan Marti yang sejak tadi tak pernah lepas di telinga kanan Praga kini terlepas juga membuat Praga buru-buru melangkah mundur menjaga jarak agar tidak dijewer lagi sambil mengelus telinganya yang berdenyut-denyut.
Marti syok. Baru kali ini anak yang paling sholehnya itu pulang sambil menangis. Memang anaknya yang satu ini sering menangis tapi ia hanya akan menangis jika sedang berdoa setelah shalat.
"Waalaikumsalam. Kenapa, nak?"
Marti menangkup kedua pipi putra keempatnya itu dan menatap setiap inci wajah yang selalu berseri, tak ada bekas luka atau pukulan di sana. Berbeda jauh dengan wajah Praga yang bahkan dari jauh pun bisa terlihat warna lebam di sana.
"Tadi ana ditahan di kantor polisi."
"Hah?!!!" kaget Marti membuat Praga di belakang sana juga ikut terkejut. Dia yang selalu membuat onar tapi malah Prapat yang ditahan di kantor polisi.
"Kok bisa?"
"Nyolong kali," tebak Praga membuat Marti mendecapkan bibirnya lalu menghantamkan dengan keras kaki Praga dengan rotan.
Praga melompat berusaha menghindari pukulan rotan itu tapi apalah daya rotan itu selalu tepat saran tanpa pernah meleset sedikitpun. Praga curiga jika rotan itu ada kekuatannya.
"Astagfirullah. Ana tidak pernah mencuri. Itu dosa besar karena sesungguhnya-"
"Ah, udah-udah! Gue nggak mau denger ceramah. Nih, kuping gue udah mau copot. Kalau denger lu ceramah yang ada kuping gua jatuh di tanah," suruhnya lalu menunjuk ke arah daun telinganya yang terlihat memerah.
"Berisik amat, sih?!!" teriak Marti lalu memukul betis Praga lagi membuat Praga meringis.
"Tapi kok bisa, sih nak kamu di tahan di kantor polisi?" tanya Marti sambil mengelus pipi Prapat yang masih basah.
"Tadi ana di tahan karena kata pak polisi ana ikut tawuran padahal kan ana tidak seperti itu."
Prapat mengoceh panjang lebar diiringi suara sesenggukan yang masih menjelaskan kejadian yang terjadi hari ini sementara di satu sisi lain kini Praga terdiam sejenak lalu sedetik kemudian ia tersenyum kecil. Sepertinya polisi bodoh itu telah salah tangkap. Bukan berhasil menangkap dirinya tapi malah menangkap saudara kembarnya.
Praga melirik menatap Marti yang kini menatapnya dengan tajam. Praga tak tahu sudah sejak kapan Mamanya itu melihat dirinya. Tapi kali ini tatapannya memandang penuh curiga.
Bibir Praga bergetar. Bibirnya terbuka tapi tak tahu harus mengatakan apa. Tatapan dari Marti benar-benar mematikan. Sepertinya Marti mengetahui sesuatu.
"Ke-ke-kenapa Ma?"
Marti menarik telinga kanan Praga lagi membuat Praga kembali menjerit.
"Dasar bocah kampret kamu, ya Gaa!!!"
"Pasti ini semua gara-gara kamu kan? Kamu kan yang ikut tawuran terus dikejar polisi sampai-sampai yang dilihat itu si Prapat jadi yang ditangkapnya si Prapat. Iya kan?" ujarnya dengan nada penuh tekanan sambil menggerakkan genggaman keras pada telinga Praga.
"Duh, Ma sakit."
"Biarin. Mama nggak peduli. Makin hari makin aja ada tingkah lakunya. Bikin kepala pusing."
"Hari ini ternyata kamu ikut tawuran makanya satu hari nggak pulang-pulang."
"Mau jadi apa kamu?" ocehnya lagi.
"Tapi jewernya jangan di telinga dong Ma, kan sakit. Kalau telinga Praga copot gimana?" ujar Praga memelas.
"Biarin. biar pikun sekalian. Percuma ada telinga tapi nggak bisa ngedengerin nasehat orang tua," marahnya lagi sambil menambah tenaga membuat Praga menjerit.
Motor metic dengan tiga penumpangnya itu memasuki area pekarangan rumah membuat Marti melepaskan jewerannya yang sejak tadi menyiksa Praga. Praga bersyukur kali ini karena kedatangan anak kesayangan dari Mamanya itu jadi adegan penyiksaan itu berakhir.
"Duh, anak Mama tersayang sudah pulang, ya."
Marti mendekat menyambut kedatangan Incces yang melangkah turun dari motor. Ia membantu membuka helm dan jaket yang dikenakan oleh putrinya.
"Mama, Incces lapar."
"Iya sayang iya. Masuk yuk makan dulu! Mama sudah buatkan ayam goreng crispy keju kesukaan Incces. Masuk, ya!"
Incces mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam rumah disusul dengan Pralim yang melangkah tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Praga menghela nafas panjang dengan gusar membuat Marti melirik. Praga panik bukan main. Apakah suara hembusan nafasnya yang penuh keluhan itu didengar oleh Marti?
"Kenapa?!!" bentak Marti.
"Apa Ma?" tanya Praga dengan cemas sambil menutup melindungi telinganya.
"Itu tadi apa?"
"Cuman nafas, Ma."
"Nggak. Nggak ada orang nafas kayak gitu."
"Cuman nafas. Apa salahnya sih, Ma?"
"Ngelawan lagi kamu."
Praga tersentak ke depan saat Marti menghantamkan rotan itu kembali ke permukaan betis Praga. Di satu sisi Pranam yang baru saja membuka helmnya itu langsung melotot menatap adegan pemukulan.
Ini terlalu cepat. Biasanya adegan ini akan terjadi di malam hari disaat Praga pulang ke rumah tapi baru kali ini ia mendapati abangnya yang pulang lebih cepat dari biasanya.
"Prapat! Pranam! Masuk!" panggil Marti lalu melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Praga dan Pranam yang kini masih terdiam sementara Prapat langsung menyusul mengikuti Marti.
Praga mendecapkan bibirnya dengan kesal. Kepalanya bergerak menoleh menatap kepergian Marti, memastikan jika Mamanya itu telah benar-benar masuk ke dalam rumah. Perasaannya jadi was-was takut telinganya dijewer lagi.
Ia menoleh ke depan mendapati Pranam yang kini sedang sibuk menatapnya. Sepertinya sudah sejak tadi Pranam melihatnya.
"Ngapain lo ngeliatin gue?!!" bentaknya membuat Pranam cengengesan. Ia ketahuan.
"Ya maaf Bang praga. Kan saya cuman-"
"Pranam masuk!!!"
Pranam dan Praga menoleh dengan kompak ke arah pintu rumah ketika suara teriakan Marti terdengar.
"Berhubung nama saya dipanggil jadi saya masuk dulu ya bang Praga."
"Terserah," jawabnya sambil berlaga sok macho di hadapan adiknya dengan memasukkan tangan kirinya di kantong celana dan tangan kanannya yang menopang pinggang ala preman yang siap untuk menagih upah.
Pranam melangkah masuk dengan berlari kecil takut jika Praga kembali berulah dengannya. Praga terdiam sejenak lalu tak berselang lama ia langsung menoleh menatap ke arah pintu untuk memastikan bahwa sudah tidak ada orang lagi di sana yang melihatnya.
Beberapa detik kemudian Praga meringis sambil menyentuh telinganya yang masih berdenyut. Sudah sejak tadi ia menahan rasa sakit ini. Anehnya ternyata Mamanya itu masih mengetahui sumber kelemahannya dari ia kecil sampai sekarang.
Seru juga bacanya