Celine si anak yang tampak selalu ceria dan selalu tersenyum pada orang-orang di sekelilingnya, siapa sangka akan menyimpan banyak luka?
apakah dia akan dicintai selayaknya dia mencintai orang lain? atau dia hanya terus sendirian di sana?
selalu di salahkan atas kematian ibunya oleh ayahnya sendiri, membuat hatinya perlahan berubah dan tak bisa menatap orang sekitarnya dengan sama lagi.
ikuti cerita nya yuk, supaya tahu kelanjutan ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon *𝕱𝖚𝖒𝖎𝖐𝖔 𝕾𝖔𝖗𝖆*, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
Celine pun bangun dari tidurnya saat hari menjelang sore tiba. Dia yang kehausan memutuskan untuk turun ke bawah mengambil air minum.
Dengan langkah yang pelan dan hati-hati dia menuruni anak tangga, dan saat itu matanya tertuju pada pintu depan yang terbuka, dia melihat kakaknya, Michael yang baru saja pulang dari kantor.
Dia pun melihat jam dinding yang berada tepat di atas pintu itu, pukul 17.35pm yang memang sudah waktunya dia pulang.
Tapi Celine tak menghiraukan kedatangan kakaknya, dia terus berjalan perlahan melewatinya, melangkah ke dapur dan mengambil segelas air yang dia butuhkan sebelumnya.
Michael yang melihatnya hanya melirik sejenak sebelum akhirnya dia berbalik karena suara Anastasya yang memanggilnya. "Kakak! Kakak kenapa tidak tunggu Tasya!" ucap anak itu yang kini menggandeng tangan Michael.
Michael hanya tersenyum menatap adiknya itu "Maaf tasya, kakak lupa dan tidak ingat kamu ada." dia mengelus kepala Anastasya, menunjukkan kasih sayangnya yang dulu dia berikan pada Celine.
Lalu, Celine yang selesai minum ingin cepat-cepat kembali ke atas menuju kamarnya. Dia melewati Michael dan Anastasya yang ada disana. Tapi, sebelum sampai dia mencapai tangga Damian, papa nya menghentikan langkahnya.
"Celine!" panggilnya dengan keras yang membuat semua mata tertuju pada mereka berdua.
Celine pun diam di tempatnya, wajahnya masih tampak pucat dan tak bertenaga. "Iya pa, ada apa?" tanya nya dengan suara lemah.
Damian dengan kasar menarik tangan anak itu dengan keras, dia menunduk sedikit agar tinggi mereka sama. "Sekarang, kamu jelaskan darimana kamu mendapatkan ponsel ini!" dia mengeluarkan ponsel itu dari sakunya. Suaranya kasar dan tegas, matanya juga tampak menuntut jawaban dari anaknya itu.
Dan di waktu yang bersamaan, Valora masuk ke dalam dengan membawa barang bawaan. Dia yang tadinya masuk dengan senyuman kini berubah datar ketika melihat Celine dan Damian yang sedang serius.
"Itu..." dia menatap ponsel itu, ragu menjawab.
"Ayo jawab!" tegas Damian yang membuat Celine merasa terintimidasi.
"Celine...Celine dapat itu dari kakak-"
"Kakak siapa?!" teriaknya keras.
belum lagi selesai gadis kecil itu bicara, perkataan nya sudah dipotong oleh Damian
Suasa rumah seketika menjadi hening, tak ada suara sedikitpun selain mereka yang berdialog.
Michael, Valora dan Anastasya hanya bisa menatap mereka dengan wajah yang sama khawatir nya, takut Damian akan melakukan hal-hal yang buruk.
"Kak Felix, pa..." suaranya bergetar karena takut. Karena untuk melihat wajah Damian saja sekarang dia tak berani.
"Lalu, darimana kakak mu mendapatkan ponsel ini?" tanya nya lagi masih dengan nada yang mengintimidasi.
"Dari...paman Ricardo..." gumamnya hampir tak terdengar karena rasa takut yang lebih besar.
Damian pun menjauh, menghela nafas lalu mengusap wajahnya kasar dengan tangan. Dia pun akhirnya melemparkan ponsel itu padanya. "Bawa itu." ucapnya dengan pelan.
Tapi Celine yang tak bisa menangkap nya malah menjatuhkan ponsel itu yang menyebabkan layarnya retak di sudutnya.
Damian pergi meninggalkannya, dan Michael membawa adik dan ibu nya itu untuk naik ke atas terlebih dahulu.
Celine hanya bisa menahan air matanya, dengan dada yang terasa sesak dia mengambil ponsel itu dari lantai. Dia pun naik ke atas sambil memeluk ponsel itu dengan erat.
Saat dia sampai di ujung anak tangga paling atas, Michael diam-diam melihatnya. Air mata yang keluar tak bisa berbohong.
Saat itu Celine sudah berada tepat di depan pintu kamarnya sebelum akhirnya Michael menghentikan dirinya. "Celine?" panggilnya pelan.
Celine berbalik tapi tak menatapnya, dia terus memandang kebawah dengan ponsel itu yang dia pegang erat di dadanya.
Michael yang melihat itu hanya bisa menghela nafas, dia pun menunduk sedikit agar tinggi mereka sama. "Jadi, sebenarnya kamu kenapa?-"
Matanya membesar, sedikit terkejut saat melihat bagaimana wajah adiknya itu begitu pucat. "Kamu sakit?" dia langsung menempelkan telapak tangannya di dahi Celine untuk mengecek suhu.
Dan benar saja, panas nya kini naik dari sebelumnya. "Kamu...kamu sudah minum obat?" wajah Michael kini tampak panik.
Ekspresi yang tak pernah dia keluarkan selama dua tahun terakhir kini dia tunjukkan hanya untuk mengasihani si gadis kecil itu.
Sementara Celine yang mendengar pertanyaan itu hanya bisa mengangguk pelan. Tak ada suara, hanya diam dan mematung dengan sisa air mata yang menggenang di pipinya.
Melihat itu perasaan canggung di hati Michael semakin kental. Tak adanya jawaban dari Celine membuat nya sedikit ragu untuk melakukan hal yang lebih jauh.
"Kalau begitu...boleh kakak lihat obatnya?." ucapnya dengan nada sedikit lembut. Celine pun mengangguk sambil menunjuk ke arah kamarnya.
Michael yang merasa berat hati mau tak mau akhirnya masuk ke kamar adiknya itu. Dan sekarang, betapa terkejutnya dia melihat sekeliling kamar itu yang tampak sangat polos.
Damian yang merupakan papa mereka saja bahkan tak memperhatikan detail sekecil itu. Bukan lagi polos, lebih seperti... usang. Warna cat yang sudah bercampur dengan debu menghasilkan abu-abu kotor yang jelek.
Sangat berbeda dengan kamar Anastasya yang di desain begitu cantik dan penuh warna, meja belajar saja pun mereka beda kelas.
Celine duduk di tepi tempat tidurnya. "Ini obatnya." ucapnya pelan menunjukkan nya di depan Michael.
"Kalau begitu, kamu minum obatnya ya? kakak akan ambilkan kamu makan dan air untuk minum." dia pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar Celine dan di saat yang bersamaan dikejutkan oleh Erina yang sudah berdiri di depan kamarnya.
"Ka-kapan bibi sampai di sini?" tanya nya pelan, tapi Erina langsung memberi isyarat untuk diam lalu Michael pun mengangguk.
"Biar bibi saja yang mengurusnya." ucapnya dengan lembut. "Papa anda juga sudah tahu saya pulang hari ini, tuan." dia pun melangkah masuk dan menghampiri gadis kecil yang murung itu.