Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Saat Almaira selesai mandi dengan air hangat, hp nya kembali bergetar menerima panggilan dari Pratama.
Saat itu sudah pukul 9 pagi.
Pratama mengatakan bahwa persiapannya pagi ini selesai lebih awal, suaranya terdengar lega. Dia juga dengan sengaja menghindari topik Amera. Jika bahkan Pratama sampai menjaga jarak dari pembicaraan itu, semakin sulit bagi Almaira untuk mengatakan sesuatu.
Mungkin seharusnya dia hanya tersenyum santai dan berkata, "Aira baik-baik saja, kami sudah berbaikan kok," seperti yang sama dilakukan teman-temannya setelah bertengkar dengan teman dekat.
Tapi mengingat Amera adalah sosok yang sudah dikenal buruk oleh Rita dan Pratama, hal itu terasa semakin sulit.
"Selamat pagi, Almaira."
Tiba-tiba, Pratama dan Rita terdengar di balik pintu .
Almaira memang berencana keluar dalam lima menit ke depan, tapi kedua orang itu sudah datang ke kamar seolah ingin menjemput seorang gadis kecil. Dia berdiri dan membuka pintu dengan cepat, menatap dua orang yang berdiri di depan pintu.
"Ayah, Ibu? Kenapa kalian datang ke sini?"
"Bukannya aku… Aduh! Jangan cubit pinggangku! Sakit! Aku ini lebih lembut dari yang kamu kira tahu?"
"Diam! Sudahlah, Almaira, kamu sudah siap, kan? Ayo pergi. Sebentar lagi terik matahari muncul, cepat pakai sepatunya ya."
Suasana yang tadinya tenang langsung berubah ramai. Almaira keluar dari kamarnya. Entah kenapa, tatapan yang tertuju padanya terasa lebih panas dari biasanya, membuatnya merasa gelisah.
"Wuah." Pratama menghela napas kagum.
Sudah lima tahun sejak bunga bermekaran. Biasanya, hujan musim semi akan menggugurkannya dalam hitungan hari, atau dalam beberapa tahun terakhir, bunga-bunga itu bahkan tidak sempat mekar penuh sebelum berguguran.
Almaira mendongak, menatap kelopak bunga yang bergoyang ditiup angin. Di antara kepingan kelopak yang jatuh, sosok seorang suami melintas dalam pikirannya, membuat pipinya memerah tanpa sadar.
Menghela napas dalam-dalam, dia menatap Ayah Pratama dan Ibu Rita yang sedang menggelar tikar piknik. Seperti biasa, tugasnya dalam acara ini adalah membawa kotak bekal berwarna hijau daun yang warnanya tetap sama. Saat masih kecil, dia akan memeluk kotak itu erat-erat di antara kakinya, takut ada yang mencurinya. Hingga kini, orang-orang di sekelilingnya tetap sama, dan dia merasa lega. Hanya saja..., sosok Anita tidak ada disini.
"Almaira sayang, cepat duduk. Ibu lapar." Dipanggil oleh ibu Rita, Almaira berjalan, meletakkan bekal di atas tikar, lalu duduk dengan bantuan Pratama.
Ibu Rita dengan cepat membuka kotak bekal. Satu lapis kotak, berisi nasi putih hangat, satu lapis lagi berisi lauk pauk, satu lapis berisi martabak telor, satu lapis berisi buah-buahan, dan satu lapis berisi strawberry dessert. Susunan yang sama selama 16 tahun.
Mungkin terlihat sederhana bagi sebagian orang, tetapi bagi mereka, bekal ini selalu dirindukan setiap musim dingin.
"Wahh, rasanya luar biasa."
"Sayang, kamu sudah bekerja keras. Ini, minumlah."
Pratama tertawa kecil dan mengeluarkan sebotol fanta strawberry dari kantong plastik, menuangkannya ke dalam cangkir yang dia bawa. Dia menuangkan untuk Rita terlebih dahulu, lalu meletakkan satu mangkuk di depan Almaira juga.
"Ah, ini segar sekali."
Ibu Rita menyeruput fanta dalam sekali teguk dan menggigil karena sodanya.
Almaira mengambil hp nya dan memotret bekal yang tersaji. Saat itu, Pratama menatapnya dengan heran.
"Sejak kapan kamu jadi suka foto-foto Almaira?"
Memang, kalau bukan karena permintaan Yaga, dia pasti sudah lebih dulu makan daripada mengambil foto. Sempat terdiam, Almaira tidak tahu harus bilang apa, tapi Ibu Rita segera membelanya.
"Biarkan saja sayang, tidak apa-apa. Suka-suka dia."
"Iya jug ya, kalau begitu, aku juga mau mengambil foto untuk dikirim ke Anita."
Saat dua orang itu sibuk dengan urusan masing-masing, Almaira dengan cepat mengirim pesan pada Yaga lalu membalikkan hp nya, meletakkannya menghadap ke bawah.
Menyadari bahwa dirinya kini melakukan hal yang dulu sering dia ejek dari Anita, tengkuknya terasa panas. Mungkin untuk saat ini, dia belum siap untuk membicarakan hal ini secara langsung.
Ketika waktu berlalu, dia meneguk minuman di depannya dan menghela napas.
"Ayah ibu, Aira ingin mengatakan sesuatu."
"Hmm?"
Dua pasang mata segera beralih padanya. Almaira tiba-tiba teringat bagaimana Ayah kandungnya menyebut mereka sebagai keluarganya. Memang benar. Bagi Almaira, mereka lebih dari sekadar keluarga dibanding siapa pun yang memiliki hubungan darah dengannya. Jika bukan karena permintaan mereka, dia mungkin tidak akan pernah kembali ke kota ini setelah ibu kandungnya meninggal dunia.
Musim dingin tujuh tahun lalu, setelah akhirnya ayahnya setuju untuk menyerahkan putri satu-satunya.
Segera Ibu Rita menyiapkan kamar untuknya. Lalu, ketika dia kembali, Ayah Prtama berseru bahagia.
Bagi Almaira, yang dia rindukan bukanlah kota ini, tetapi kedua orang ini. Mereka selalu menjadi tempat dia bersandar. Dia menatap mereka berdua sebelum akhirnya membuka mulut.
"Ayah ibu, Aira berjanji, Aira tidak akan pernah membahas soal perceraian lagi. Dan maaf.."
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Seperti biasa, orang pertama yang memecahnya adalah Ayah Pratama
"Hoho... Aira, setiap kamu ingin membahasnya. Ayah dan ibu bahkan tidak pernah menganggap mu serius."
"Eh?"
"Benar sayang, lagipula. Ibu juga tidak akan melepaskan kamu dengan mudah. Ayah, Ibu, Anita dan suami mu. Kami semua sudah menganggap mu lebih dari sekedar keluarga. Kamu tahu?''
"Ah, begitu ya. Hehe Aira jadi malu."
"Hm, begini saja. Almaira, daripada kamu berpikir yang tidak-tidak. Mari kita jalan-jalan di taman. Bunganya indah sekali kan?"
"Benar Almaira, ayo kita pergi_"
"Baiklah.."
* * *
Pada akhirnya, meskipun mereka hanya jalan-jalan di taman bunga, keduanya tampak begitu bersemangat, seolah sedang melakukan perjalanan besar.
Almaira kembali dengan wajah yang tampak lelah. Setelah membersihkan diri dengan cepat, Almaira duduk di pagar balkon kamarnya, mengayunkan kakinya pelan.
Kedua pipinya memerah, dan tanpa sadar, dia tersenyum lebar. Menekan pipinya dengan punggung tangan, tapi wajahnya tetap terasa panas.
Dia bukan tipe gadis yang memiliki kebiasaan buruk saat di mabuk kepayang, tapi juga tidak menyukai perasaan menjadi begitu ceroboh seperti ini.
Namun, malam ini berbeda.
Langit begitu cerah, dan dia dikelilingi oleh orang-orang yang disayanginya. Jika ingin merasakan momen seperti ini lagi, mungkin butuh waktu lama. Karena itu, dia ingin menikmatinya sebaik mungkin.
Malam masih terasa dingin, cukup untuk menyejukkan pipinya yang memanas. Almaira mengembuskan napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke pilar penyangga di sampingnya.
Saat itu, hp nya bergetar beberapa kali, menandakan panggilan masuk. Masih dalam posisi bersandar, Almaira melirik layar hp nya. Nama yang muncul di layar membuat waktu rasanya melambat.
[Suamiku]
Dia menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang, seolah akan melompat kapan saja.
Almaira menarik nafasnya beberapa kali, mencoba menenangkan diri, sebelum akhirnya menekan tombol jawab.
"Hallo?"
_ Kamu sudah pulang?
"Ya."
Jawabannya sedikit lebih panjang dari yang seharusnya. Seperti gadis kecil yang mencoba bersikap manja, suaranya terdengar sedikit berayun di akhir. Menyadari itu, dia segera mengerucutkan bibirnya dan mengembuskan napas pelan.
_ Kamu lelah?
Nada suaranya terdengar geli. Mungkin Yaga sudah melihat bagaimana perjalanannya di foto yang dikirimkan Almaira tadi, jadi pertanyaannya masuk akal. Dan benar juga.
"Sedikit."
_ Sepertinya, aku harus segera pulang menemui mu.
Nada suaranya tetap santai, tidak terburu-buru.
Almaira menutup mata sejenak, membiarkan dirinya memberikan sedikit keberanian kepadanya sebelum kembali membuka mulut.
"Aira sudah memberitahu mereka kalau Aira tidak akan bercerai."
_ Mereka pasti bahagia.
"Mm, Kak Yaga tahu? Kalau sebenarnya, Aira menunggu Kak Yaga setiap tahun. Tapi... Ah, sudahlah, yang penting sekarang. Aira tidak akan pernah meragukan perasaan Kak Yaga lagi.
Setelah berkata begitu panjang, tidak ada jawaban dari Yaga.
Apakah panggilannya terputus? Mungkin sedikit mengantuk, sampai tidak mendengar apa yang dia katakan.
Almaira segera membuka matanya lebar-lebar dan melihat layar hp nya. Tapi panggilan masih tersambung. Mungkin Yaga tidak menyukainya.
Saat dia kembali mendekatkan hp ke telinganya, dia melihat sesuatu dari sudut mata.
Bayangan seseorang muncul di ujung pandangannya.
Kelopak matanya berkedip sekali, dan dalam sekejap, dia mengenali sosok laki-laki yang berdiri dengan postur santai namun tajam. Jantungnya yang sudah berdetak kencang semakin tak terkendali. Senyumnya yang tadi tampak ceroboh kini menghilang begitu saja.
"Jadi kamu benar-benar sudah pulang ya"
"....Kak Yaga di sini?"
"Ya."
Yaga mengulurkan tangan dan merapikan rambut Almaira yang sedikit berantakan.
Almaira tahu, dia selalu melakukan itu, tetapi malam ini, rasanya berbeda. Sentuhannya terasa lebih dalam, seolah menyentuh sesuatu yang lebih dari sekadar helaian rambut.
Mungkin karena kini Almaira menganggap hubungan ini bukan sekedar saling mencintai, tapi lebih ke saling percaya.
"Kamu diam diluar untuk menghilangkan penat?"
Almaira menggeleng pelan. Yaga tertawa kecil dan duduk di sampingnya, begitu dekat hingga bahunya hampir menempel pada Almaira.
Almaira yang terkejut, menatapnya dengan sedikit waspada, tetapi ekspresi Yaga tetap tak tergoyahkan. Saat itu, sesuatu terlintas di pikiran Almaira.
"Tunggu sebentar."
"Hm?"
Dengan hati-hati, dia mengangkat kakinya kembali ke teras, menggunakan pilar sebagai penopang untuk turun dari pagar, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Di atas mejanya, di atas selembar tisu, tergeletak sekuntum mawar merah yang telah dia simpan dengan hati-hati.
Dia membawanya kembali dan duduk di samping Yaga.
"Sepertinya, kamu benar-benar penat."
Yaga menatapnya dengan ekspresi geli. Almaira menggenggam tangannya, kemudian perlahan membuka telapak tangannya di depan Yaga.
"Apa ini, Almaira?"
Saat Yaga menyentuh jemarinya, Almaira membuka kepalan tangannya dan membiarkan mawar merah jatuh ke telapak tangan laki-laki itu.
Yaga menatapnya sebentar, lalu beralih menatap Almaira.
"Aira memetiknya saat piknik." Sekuntum mawar itu tampak begitu kecil di tangan besarnya.
Almaira, kalau kamu memetik bunga mawar yang baru mekar, lalu di berikan pada orang tersayang, maka cinta mu akan terwujud.
Itulah yang dikatakan Ibu Rita kepadanya sewaktu kecil.
Tentu saja, itu hanya takhayul kekanak-kanakan yang tidak jelas asal-usulnya. Tapi saat masih kecil, dia benar-benar percaya pada hal itu. Setiap musim semi, dia dan Ibu Rita suka memetik bunga bersama.
Setelah tumbuh dewasa, dia tidak pernah memikirkannya lagi. Tapi entah kenapa, hari ini, kenangan itu kembali. Di tengah perjalanan pulang, dia dan Ibu Rita kembali memetik bunga, seperti yang mereka lakukan saat dia masih kecil.
Mungkin hanya karena dorongan hati, dia memberikannya kepada Yaga. Saat menyadari betapa kentara tindakannya, wajahnya mulai memanas. Tiba-tiba, Yaga menyipitkan mata sebelum tertawa kecil.
"Almaira."
"…Ya?"
"Terima kasih. Aku akan menerimanya dengan senang hati."
Yaga mengepalkan tangannya, menggenggam mawar merah itu erat. Ekspresinya seolah sedang menghadapi sesuatu yang sangat menggelikan, seperti sedang menerima hadiah paling aneh yang pernah dia terima.
"Kalau tidak suka, berikan padaku lagi."
Almaira merengut, mencoba mengambilnya kembali, tapi Yaga menariknya lebih dekat, merangkulnya dengan satu tangan. Dia mengecup pelan keningnya, sekali, dua kali. Hanya dengan itu saja, ketegangan dalam hati Almaira sedikit mereda.
Saat dia mendongak, mata mereka bertemu. Lalu, Yaga menunduk dan mengecup bibirnya, singkat. Dalam sekejap, tubuhnya terasa panas.
Almaira membuka mata, napas yang keluar pun rasanya lebih cepat. Lalu, Yaga menyentuh wajahnya, memiringkan kepalanya sedikit, dan kembali mencium bibirnya.
***
Sakit..."
Di pangkuan laki-laki yang duduk di atas kasur, Almaira mengeluh. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana, terjebak dalam dekapan Yaga begitu mereka masuk ke dalam kamar.
"Sepertinya, kamu masuk angin." Yaga menariknya lebih erat. Dari sudut pandangnya, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana telinga Almaira memerah karena sakit kepala, membuatnya terkekeh kecil.
"Begini, apa masih sakit?"
"Sedikit." Melihat bagaimana ucapannya masih terdengar sedikit lamban, tampaknya memang hanya sedikit pusing.
Yaga mengecup belakang kepalanya dengan ringan.
"Kelihatannya kamu terlalu bersenang-senang."
"Hmm, begitulah."
"Almaira, ada sesuatu yang ingin ku tanyakan."
"Mm?" Almaira menoleh dan menatapnya,
"Kamu tidak tertipu olehnya kan?"
"Tertipu soal apa?"
"Amera."
"Eh?"
"Meski aku sendiri aku yang sendiri menyuruhnya dulu untuk menemani mu dan melapor pada ku. Aku tidak akan terkejut kalau dia selalu memanfaatkan mu untuk menipu ku. Di luar itu, kalau ada masalah, aku juga bisa menempuh jalur hukum."
"Tidak! Tidak ada masalah! Kak Yaga juga tahu kan? Amera orang yang baik."
Tunggu! Menipu? Jalur hukum? Ya Tuhan, apa Kak Yaga tahu kalau sebenarnya, Aira punya perjanjian dengan Amera dulu, kalau Aira berpura-pura punya pacar?
Kepalanya langsung jernih seketika. Dengan panik, Almaira berbalik dan menggenggam lengan Yaga erat-erat. Meski begitu, ekspresi laki-laki itu masih belum sepenuhnya tenang.
"Teman yang kamu anggap baik justru lebih berbahaya, Almaira."
"Aira tahu, hanya saja… Katanya dulu uang yang Aira berikan sudah digunakan untuk hal lain."
"Hal lain apa? Kamu rela mengundurkan diri dari kuliah mu, hanya untuk menipu ku?"
Degh,
Almaira menelan ludah. Bibirnya terasa kering, melihat Yaga menatapnya dengan tatapan menuntut jawaban.
"… Tiga tahun lalu Amera sakit parah. Selama beberapa tahun terakhir, dia harus menjalani beberapa operasi besar dan sering dirawat di rumah sakit. Itu yang di katakan ibunya dulu pada Aira."
"Jadi?"
Suara Yaga terdengar tenang, tapi ekspresinya semakin sulit ditebak.
"Jadi… Aira yang membantu biaya rumah sakitnya."
Almaira menatap Yaga dengan hati-hati. Laki-laki itu tampak terkejut, lalu mendesah panjang.
"Kamu ini… Kamu bodoh ya?"
"Tapi... Itu kan uang Aira sendiri." Almaira langsung membela diri.
"Bukan itu masalahnya. Kenapa kamu membayar biaya rumah sakit orang lain yang bahkan bukan keluarga kandungmu?"
"Kak Yaga tidak tahu apa-apa."
"Apa yang tidak kutahu?"
Yaga menghela napas panjang. Mendengar kenyataan yang membuat dadanya terasa sesak. Semua yang Almaira katakan, rasanya seperti titik lemahnya sendiri, dan dia tidak suka hal itu.
Melihat ekspresinya, Almaira membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya.
Namun, Yaga dengan santai menariknya ke dalam pelukannya. Terkejut, Almaira berusaha mundur, tetapi laki-laki itu menariknya lebih dekat.
"Almaira, kita memang tidak banyak bicara, tapi aku bahkan belum pernah menipu mu sekali pun."
Suara Yaga terdengar pelan, hampir seperti gumaman.
Almaira berpikir suaminya tidak tahu apa-apa. Tapi laki-laki itu, tanpa diminta, memeluknya dengan begitu erat. Tangan yang merayap ke pipinya, rasanya hangat, mengikis bekas luka lama di hatinya.
"Kecelakaan?"
"…"
"Saat kamu masih kuliah?"
"Ya."
"Kapan kejadiannya?"
"Saat Aira berlari ke supermarket."
"Masih sulit untuk diceritakan?" Yaga tidak ingin Almaira terlihat menyedihkan. Tapi untuk pertama kalinya, dia ingin berbagi.
"Saat Aira terjatuh di tengah jalan." Kata-kata itu keluar begitu saja. Dia menatap ke jendela, membiarkan pikirannya kembali ke hari itu.
Hujan deras. Jalan aspal yang basah dan licin. Dan air hujan yang turun deras, mengguyur sepenuhnya.
"Hujannya sangat deras hari itu. Bahkan setelah orang-orang melihat, tidak ada satupun orang yang berani untuk menyelamatkan Aira. Semua orang mengira Aira akan tertabrak dan mati. Tapi Aira tidak menyangka, kalau Bagas akan datang dan menyelamatkan Aira saat itu. Dan..."
Yaga tidak mengatakan apa pun. Tidak ada belas kasihan berlebihan di matanya, hanya kehangatan yang tenang. Tangan yang sebelumnya menyentuh pipi, kini diam di atas kepalanya, seolah memastikan dia masih ada di sana.
"Baru keesokan paginya, Bagas di nyatakan meninggal dunia. Sejak saat itu, Aira tidak bisa kuliah dengan normal lagi."
"Kenapa kamu berlari ke supermarket saat hujan deras?"
"Untuk berteduh."
"Berteduh? Bagaimana, dengan sopir yang mengantar mu?"
"Ah, kebetulan, hari itu Pak Baim tidak tahu kalau Aira pulang cepat."
"Begitu ya."
Dia tidak menceritakan semuanya. Mungkin suatu hari nanti. Atau mungkin tidak. Tapi untuk sekarang, ini sudah cukup. Almaira menyandarkan kepalanya di dada Yaga.
***
"Tuan Muda."
Begitu masuk ke ruang kerjanya, Yaga memberi isyarat pada Sekretaris Gan yang sudah menunggunya.
"Ayah dan Ibu sudah pulang?"
"Ya, beliau tiba di rumah satu jam yang lalu. Saya bisa begadang malam ini untuk membantu Anda. Mau kopi?"
"Ya, buatkan."
Yaga duduk di depan meja yang dipenuhi setumpuk dokumen. Sambil menunggu, dia melirik ke arah punggung Sekretaris Gan, yang sedang membuat kopi. Kecurigaan yang muncul setelah percakapannya dengan Almaira terus mengganggunya.
"Gan."
"Ya, Tuan Muda."
"Tiga tahun tahun lalu, jumlahnya sekitar satu miliar, kan? Uang yang diterima Pak Bram dari Ayah ku."
Dengungan mesin kopi mengiringi suara Yaga. Sekretaris Gan, yang sedang mengamati buih lembut di atas kopi, tersentak dan berbalik. Bukankah dia bilang tidak tertarik dengan cerita itu? Dengan rasa ragu, Sekretaris Gan mengangguk.
"Ya, benar."
Dia meletakkan cangkir kopi di nampan dan membawanya ke arah Yaga. Laki-laki itu meraihnya dan menyesap seteguk kopi panas. Seorang gadis yang terjatuh di tengah jalan dan seorang pemuda yang di kabarkan meninggal dunia.
Satu miliar yang diberikan Pak Bram kepada para pemain basket, berkaitan dengan kematian pemuda itu?
Apakah ini hanya kebetulan? Segera setelah insiden itu terjadi, seseorang melaporkannya. Mungkinkah uang itu diberikan kepada saksi? Jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan masalah pada saat itu.
"Apa Manajer Bian yang menceritakan itu padamu, Gan?"
"Ya, benar. Tapi, kenapa tiba-tiba Anda menanyakan hal ini?"
"Katakan padanya aku ingin bertemu besok. Sebaiknya, hindari melapor pada Ayah ku. Dia tidak akan tidur malam ini, jadi pasti masih bisa dihubungi."
"Ah, saya dengar besok dari siang hingga malam akan ada resepsi pernikahan Tuan Bobi."
"Bagus. Aku juga sudah mengosongkan jadwalku, jadi aku bisa pergi. Beri tahu ibuku juga, katakan ada masalah mendesak."
Yaga memotong ucapan Sekretaris Gan, seolah hal itu tidak penting.
"Baik, saya akan menghubungi Manajer Bian sekarang." Setelah memberi hormat, Sekretaris Gan dengan cepat meninggalkan ruang kerja.
Yaga menyesap kopinya lagi. Namun, aroma kopi yang pekat pun tidak bisa menghilangkan rasa pahit yang menempel di lidahnya.
Almaira dan Bagas memang pernah saling berhubungan, tapi Yaga sama sekali tidak pernah menyangka bahwa hubungan mereka tidak nyata.
Lantas, kenapa laki-laki itu rela mengorbankan dirinya?
Di tambah lagi, baru-baru ini, kasus pembullyan itu terkuak. Bahwa kejadiannya sama persis di hari yang sama dengan hari kematiannya.
Dan kemudian, ayahnya malah menghindar dan menolak kunjungan dari keluarga ku seolah mengasingkan diri.
Ada dengan semua ini?
Apakah itu hanya kebetulan? Atau ada alasan di balik mengapa kasus yang dulu begitu besar itu ditutup-tutupi seolah semuanya tidak pernah terjadi?
Dia perlu jawaban yang jelas. Namun, jika ternyata kedua hal itu benar-benar berhubungan…
Yaga terdiam.
Semoga tidak.
Semoga kamu tidak menjalani hidup yang begitu sunyi dan menyedihkan selama tiga tahun ini. Hingga akhirnya kamu ingin memilih bercerai dengan ku, Almaira...
Semoga alasan kamu yang sesungguhnya, bukan karena dipenuhi dengan kesepian dan keputusasaan.
Untuk pertama kalinya, Yaga benar-benar berharap demikian.
***