Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Semalam kamu ke mana? Kok, enggak datang ke alun-alun nonton wayang golek!” tanya Ryan sambil melongok dari jendela kamar Galuh.
Udara siang itu cukup terik. Jam istirahat sekolah memang sering dipakai Ryan dan Dewa untuk mampir ke rumah Galuh. Apalagi sejak Galuh resmi menikah, keduanya makin sering ingin tahu kabarnya.
Galuh yang sedang duduk bersila di lantai, memasukan baju-baju ke dalam koper, menoleh malas-malasan. Keringatnya menetes di pelipis, padahal kipas angin sudah berputar kencang.
“Capek. Habis beres-beres di rumah baru,” jawab Galuh sembari menunjuk sebuah koper besar di dekat pintu. “Ini juga lagi ngepak barang-barang yang mau aku bawa ke sana.”
Dewa yang berdiri di samping Ryan ikut menatap koper itu dengan wajah heran. “Memangnya kamu mau tinggal di mana?” tanyanya penasaran.
“Rumah baru dekat puskesmas, jadi lebih dekat juga ke sekolah,” jawab Galuh santai.
“Hah?!” Ryan dan Dewa berseru bersamaan. Mereka saling berpandangan, seperti baru mendengar kabar heboh.
“Itu rumah kalian?” Ryan menunjuk ke arah jalan besar, meski jelas tidak terlihat dari kamar. “Yang rumah catnya putih itu?!”
Galuh mengangguk sambil tersenyum puas. “Iya.”
“Ya ampun, aku kira punya siapa,” gumam Dewa sambil garuk kepala. “Setiap hari kita lewat sana, tapi enggak tahu kalau itu rumah Bagja.”
Ryan ikut menimpali, “Rumah itu walau kecil, tapi sangat bagus. Mirip rumah-rumah di kota besar. Arsitekturnya modern, atapnya miring minimalis. Aduh, kapan aku bisa punya rumah kayak gitu.”
Galuh terkekeh. Ia ingat betul pertama kali Bagja mengajaknya melihat rumah itu. Ia sendiri sempat bengong karena setahunya tanah di sana milik Haji Dudung. Belakangan baru tahu kalau sudah lama dibeli Pak Wira dan langsung di atasnamakan Bagja.
“Sering-seringlah kalian main ke rumah nanti. Walau belum selesai sesuai konsep Bagja, tapi tempatnya sudah nyaman,” kata Galuh.
Ryan dan Dewa mendelik. Mereka sudah mulai curiga nada suara Galuh bukan sekadar undangan, tapi pancingan.
“Eh, sekalian kalian bantu aku bawa barang-barang ke rumahku, ya!” lanjut Galuh sambil terkekeh kecil.
Dewa langsung melipat tangan di dada. “Nah, ini dia modus!”
Ryan ikut menimpali, “Aku sudah tahu, biasanya kalau kamu senyum-senyum gitu pasti ada maunya.”
“Ya ampun, kalian bawa barang aja kok banyak protes,” balas Galuh dengan wajah tanpa dosa.
Meski menggerutu, keduanya tetap membantu. Ryan mengangkat koper besar yang berisi pakaian, sementara Dewa kebagian kardus berisi buku, alat tulis, dan beberapa peralatan kecil.
Galuh sendiri sibuk ke dapur, memasukkan aneka bahan makanan dan bumbu ke dalam kantong plastik besar. Bukan hanya sayur-sayuran, ikan asin, sampai telur pun disapu bersih. Tidak lupa semua bumbu dapur ikut masuk ke dalam karung.
Beberapa menit kemudian, kulkas di rumah itu benar-benar kosong melompong. Galuh malah tersenyum manis.
Saat Nini Ika membuka pintu kulkas untuk mengambil air minum, matanya terbelalak seakan mau ke luar dari tempatnya. Sedetik kemudian, teriakan melengking pun terdengar.
“Galuuuh! Kenapa isi kulkas kamu kuras habis?!” teriak Nini Ika dengan wajah tak percaya.
Galuh yang baru keluar dari rumah dengan helm terpasang di kepala hanya melambai tangan. “Aku belum belanja, Nin. Biar nanti diisi lagi sama mamah!” jawabnya sebelum kabur naik RX King kesayangannya.
Brummm! Motor tua itu meraung kencang meninggalkan halaman, membuat debu beterbangan. Menyusul Ryan dan Dewa, karena dia yang memegang kunci rumah.
Nini Ika melongo. Sang cucu memang tidak berubah sedikit pun. Katanya hanya mau ambil baju dan beberapa barang pribadi, tapi kenyataannya isi kulkas pun ikut diangkut.
“Dasar bocah! Semoga saja Bagja bisa sabar mendidik Galuh,” gumam Nini Ika sambil geleng-geleng kepala.
Ryan dan Dewa akhirnya berhasil sampai ke rumah baru itu. Begitu pintu dibuka, keduanya spontan berdecak kagum.
“Wih …,” Ryan bersiul pelan. “Rumahnya kecil, tapi isinya kayak rumah orang kota!”
Dewa mengelus dinding ruang tamu yang dicat putih bersih. “Lantai keramiknya mengkilap banget. Sofa empuk, meja kayu jati, bahkan ada hiasan dinding yang elegan.”
Galuh berdiri di tengah ruang tamu dengan wajah bangga. “Bagus, kan?” tanyanya sambil meletakkan tas plastik penuh sayuran di meja makan.
“Ini semua beli pakai uang Bagja?” tanya Ryan takjub.
“Iya,” jawab Galuh tanpa ragu. “Rupanya dia dapat banyak warisan dan pandai mengelolanya. Jadi, bisa menghasilkan uang yang banyak.”
Ryan mendengus iri. “Amalan apa yang kamu buat, Galuh? Sampai punya pasangan pintar, cakep, kaya raya lagi.”
Galuh mengangkat bahu. “Mana aku tahu. Shalat saja aku masih sering diingatkan. Kata Nin, aku kalah sama Rendy, bocah umur lima tahun yang rajin ke masjid begitu dengar azan.”
Dewa menepuk bahunya. “Sekarang kamu sudah jadi istri orang. Harus bisa ubah itu. Kalau bisa, kamu yang ingetin Bagja buat shalat.”
“He-he-he, yang ada malah Bagja yang selalu ingetin aku,” balas Galuh sambil nyengir.
Ryan dan Dewa spontan menepuk kening bareng, seperti sudah pasrah dengan kelakuan sahabatnya itu.
Tentu saja Bagja tahu kalau Nini Ika selalu menyuruh Galuh solat. Dalam sehari entah berapa kali dia dengar suara nenek dari rumah sebelah, seperti toa masjid pribadi yang cuma difokuskan ke cucunya.
Setelah barang-barang diturunkan, Ryan dan Dewa masih belum puas melihat isi rumah. Mereka membuka pintu lemari, menepuk bantal empuk di kamar, bahkan mengetuk meja makan hanya untuk memastikan kayunya benar-benar kuat dan bagus.
“Kamu enggak masak?” tanya Dewa, menoleh ke arah dapur yang masih kosong.
“Enggak. Itu tugas Bagja,” jawab Galuh santai.
“Hah?!” Ryan dan Dewa langsung kompak teriak.
Galuh mengangkat kedua tangan seolah tak bersalah. “Itu keinginan Bagja sendiri. Katanya aku enggak perlu masak, urusan dapur dia yang urus. Aku cukup beres-beres rumah.”
Ryan masih tak percaya. “Tapi, masak itu tugas istri, kan?” katanya hati-hati, takut menyinggung perasaan temannya.
Galuh menunduk sedikit, suaranya lirih. “Rasa masakan aku enggak cocok di lidah dia. Daripada nanti dia sakit perut, mencret-mencret … ya sudahlah. Aku akui dia lebih jago daripada aku. Rasa masakannya jauh lebih enak.”
Ryan dan Dewa spontan nyengir lebar. Mereka ingat betul betapa sering jadi korban masakan Galuh semasa sekolah dulu. Mulai dari nasi goreng gosong, sampai sayur asem yang rasanya lebih mirip kuah obat batuk karena pakai jahe bukan laja. Tidak jarang mereka harus bolak-balik ke kamar mandi setelah mencicipi masakannya.
“Aduh, untung Bagja sadar diri dan ambil alih urusan dapur,” ujar Dewa sambil tertawa terbahak.
Galuh melotot ke arahnya. “Hei! Jangan kebanyakan ketawa. Kalau enggak suka, jangan main ke rumahku lagi!”
Akan tetapi ancaman itu tidak membuat Ryan dan Dewa berhenti tertawa. Justru semakin keras sampai membuat perut mereka sakit.
Galuh akhirnya ikut tertawa juga, meski sambil melempar bantal sofa ke arah keduanya. Suasana rumah baru itu pun dipenuhi canda tawa. Namun jauh di lubuk hati, Galuh merasa hangat. Dia tahu, walau sering disindir sama kedua sahabatnya, mereka benar-benar peduli padanya.
Selain itu, sekarang diam-diam ia juga kagum pada Bagja. Suami yang awalnya ia kira kaku itu ternyata penuh kejutan. Pria itu bisa mengelola harta kekayaannya, bisa masak, bahkan bisa bikin dirinya belajar lebih banyak tentang arti jadi seorang istri.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....