NovelToon NovelToon
Godaan Kakak Ipar

Godaan Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Pembantu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 - Reuni menyakitkan

Restoran The Dining Room di kawasan Mall tampak megah dengan interior klasik yang dipenuhi lampu kristal berkilauan. Suasana siang itu cukup ramai dengan para eksekutif muda yang sedang business lunch. Aroma steak dan pasta yang harum memenuhi ruangan ber-AC yang sejuk, bercampur dengan suara musik jazz lembut yang mengalun dari speaker tersembunyi.

Samudra baru saja keluar dari private dining room di lantai dua setelah menyelesaikan meeting dengan klien penting dari Singapura. Meeting itu berjalan lancar, kontrak senilai dua miliar rupiah berhasil ditandatangani. Seharusnya dia merasa senang dan puas, tapi entah kenapa hatinya masih terasa hampa.

"Pak Samudra, apakah ada yang perlu saya siapkan lagi?" tanya Doni, asistennya yang setia menemani meeting tadi.

"Tidak, sudah cukup. Kamu bisa kembali ke kantor duluan," jawab Samudra sambil merapikan jasnya. "Aku mau makan siang dulu di sini."

"Baik, Pak. Selamat makan siang."

Setelah Doni pergi, Samudra berjalan menuju area restoran utama untuk memesan makan siang. Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap dua sosok familiar yang sedang duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap ke arah Bundaran HI.

"Samudra?" seru salah satu dari mereka sambil bangkit dari kursi. "Samudra Wijaya?"

Samudra menoleh dan langsung tersenyum lebar ketika mengenali kedua pria itu. "Andi? Reza? Oh my God, kalian!"

Andi Rahman dan Reza Pratama, dua sahabat baiknya semasa kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia. Sudah hampir dua tahun mereka tidak bertemu sejak Samudra terlalu sibuk dengan bisnis keluarga dan pernikahan yang menyita waktu.

"Bro!" Andi langsung memeluk Samudra dengan erat. Pria berpostur tinggi dengan rambut cepak itu masih terlihat sama seperti dulu, hanya sedikit lebih berisi. "Lama banget kita nggak ketemu!"

"Gila, udah berapa lama ya?" Reza, yang berkulit lebih gelap dengan kacamata hitam bertengger di kepala, ikut memeluk Samudra dengan antusias. "Kayaknya terakhir ketemu waktu resepsi pernikahan lo, kan?"

"Iya, berarti udah hampir tiga tahun," jawab Samudra sambil tersenyum. Melihat wajah sahabat-sahabat lamanya membuat hatinya sedikit lebih ringan. "Kalian lagi meeting juga?"

"Baru selesai," jawab Andi sambil menepuk bahu Samudra. "Lo sendiri?"

"Sama. Baru selesai meeting sama klien dari Singapore."

"Wah, sibuk banget ya CEO muda kita ini," goda Reza sambil tertawa. "Duduk sini dong, kita ngobrol-ngobrol. Udah lama banget nggak ngumpul."

Samudra melirik jam tangannya, masih pukul satu siang. Dia memang belum ada jadwal sampai sore nanti. "Oke deh. Kebetulan aku juga belum makan."

Mereka bertiga duduk di meja bundar dekat jendela. Pelayan datang mengambil pesanan Samudra, ribeye steak medium dengan mashed potato dan salad. Andi dan Reza sudah memesan lebih dulu dan sedang menunggu makanan mereka datang.

"Jadi, gimana kabarnya, Bro? Udah lama banget kita nggak ngobrol," tanya Andi sambil menyeruput orange juice-nya.

"Baik," jawab Samudra sambil tersenyum, meski senyumnya tidak sampai ke mata. "Masih jalanin bisnis keluarga. Lumayan berkembang sih."

"Gue udah denger kok," kata Reza dengan nada kagum. "PT. Samudra Megah Properties makin ekspansif sekarang. Kemarin gue lihat billboard kalian di Alam Sutera. Proyeknya gede banget!"

"Ah, biasa aja," jawab Samudra dengan rendah hati. "Kalian sendiri gimana?"

"Gue sekarang kerja di konsultan struktur," jawab Andi. "Lumayan sih, banyak proyek. Tapi ya gitu deh, masih jadi karyawan."

"Gue di kontraktor," tambah Reza. "Udah mulai handling proyek sendiri. Capek, tapi seru."

Mereka tertawa dan mulai bernostalgia tentang masa-masa kuliah dulu. Cerita tentang dosen killer yang selalu bikin mereka begadang ngerjain tugas, tentang kontrakan kumuh yang mereka tempati bertiga di daerah Depok, tentang malam-malam nongkrong di warung kopi sambil ngomongin mimpi masa depan.

"Inget nggak waktu lo ngajak kita bolos kuliah Struktur Beton cuma buat nonton bola?" tanya Reza sambil tertawa keras. "Terus kita ketangkep sama Pak Hartono di kantin!"

"Astaga, itu embarrassing banget!" Samudra ikut tertawa. "Kita di-lecture habis-habisan sama beliau."

"Tapi worth it sih," kata Andi sambil tersenyum. "Pertandingan Indonesia vs Thailand waktu itu seru abis!"

Makanan mereka datang dan obrolan berlanjut dengan lebih santai. Untuk sejenak, Samudra melupakan semua masalah rumah tangganya dan menikmati momen berkualitas dengan sahabat-sahabat lama.

"Oh iya, Ren," panggil Andi, nama panggilan Samudra sejak kuliah, singkatan dari Samudra. "Lo udah punya anak berapa sekarang?"

Pertanyaan itu membuat Samudra yang sedang memotong steak-nya terhenti. Jantungnya berdegup lebih cepat, dadanya tiba-tiba terasa sesak.

"Belum," jawabnya dengan nada yang berusaha tetap ringan. "Belum punya anak."

"Serius?" Reza menatap Samudra dengan mata membelalak. "Tapi lo kan udah nikah hampir tiga tahun?"

"Iya, belum dikasih," jawab Samudra sambil melanjutkan memotong steak-nya, berusaha terlihat tidak terganggu meski hatinya mulai perih.

"Wah, santai aja, Bro," kata Andi sambil menepuk bahu Samudra. "Rezeki anak mah nggak bisa dipaksain. Gue aja nikah baru setahun, udah dikasih. Mungkin lo belum waktunya."

"Lo udah punya anak?" tanya Samudra, berusaha mengalihkan perhatian dari dirinya sendiri.

"Iya dong!" Andi langsung mengambil ponselnya dan menunjukkan foto seorang bayi laki-laki yang gemuk dengan pipi tembam. "Ini anak gue, Arka. Umurnya baru enam bulan. Gemes banget kan?"

Samudra menatap foto itu dengan perasaan campur aduk. "Lucu banget. Mirip lo."

"Gue juga baru punya anak bulan lalu," kata Reza sambil ikut menunjukkan foto di ponselnya. "Anak perempuan, namanya Kayla. Cantik kan?"

"Cantik," jawab Samudra sambil tersenyum, meski senyumnya terasa sangat berat di bibir.

"Lo harus cepet nyusul nih, Ren," kata Andi sambil memasukkan ponselnya kembali. "Enak lho rasanya punya anak. Setiap pulang kerja, lihat dia senyum, semua capek langsung hilang."

"Betul banget," sambung Reza dengan antusias. "Meski sering begadang gara-gara nangis tengah malam, tapi happy banget rasanya. Complete gitu hidupnya."

Samudra mengangguk sambil makan steak-nya yang tiba-tiba terasa hambar di mulut. Setiap kata yang keluar dari mulut sahabat-sahabatnya bagaikan jarum yang menusuk hatinya perlahan-lahan.

"Tapi bener lo belum punya anak?" tanya Andi lagi dengan nada penasaran. "Maksud gue, lo kan yang paling cepet nikah di antara kita. Gue pikir lo udah punya anak dua atau tiga."

"Belum," jawab Samudra dengan suara yang mulai serak. "Sepertinya belum rezeki."

"Atau jangan-jangan ada masalah kesehatan?" tanya Reza dengan nada khawatir. "Lo udah cek ke dokter, Ren?"

Samudra meletakkan pisau dan garpunya dengan gerakan yang lambat. Napasnya mulai berat, dadanya sesak. Dia tidak siap menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

"Bukan masalah kesehatan," jawabnya dengan nada yang berusaha tetap tenang. "Cuma... belum rezeki aja."

"Istri lo gimana? Dia mau punya anak kan?" tanya Andi dengan polos.

Pertanyaan itu bagaikan tamparan keras di wajah Samudra. Dia terdiam lama, menatap steak yang sudah terpotong-potong di piringnya.

"Dia..." Samudra menelan ludah dengan susah payah. "Dia masih... belum siap."

"Oh, gitu," kata Reza sambil mengangguk mengerti. "Mungkin dia takut ya? Wajar sih, banyak cewek yang takut melahirkan."

"Kasih pengertian aja, Ren," saran Andi. "Sooner or later pasti dia siap kok. Apalagi kalau udah liat temen-temennya pada punya anak, biasanya jadi pengen juga."

Samudra hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya terasa seperti diremas keras-keras. Kedua sahabatnya ini tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, bahwa istrinya tidak hanya "belum siap", tapi terang-terangan menolak untuk hamil karena alasan yang sangat egois.

"Gue sih yakin lo bakal jadi bapak yang baik," kata Reza dengan tulus. "Dulu pas kuliah aja lo udah kayak bapak-bapak kita. Selalu ngasih nasihat, ngajarin kita kalau ada yang nggak ngerti."

"Iya, inget nggak waktu gue putus cinta, lo yang nemenin gue sampai pagi sambil kasih motivasi," tambah Andi. "Lo punya kemampuan nge-care orang lain yang luar biasa, Ren. Anak lo nanti pasti beruntung banget."

Kata-kata pujian itu justru membuat dada Samudra semakin sesak. Dia menundukkan kepala, berpura-pura fokus pada makanannya supaya air mata yang mulai menggenang tidak terlihat.

"Thanks, Guys," bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Eh, lo kenapa?" tanya Andi yang mulai menyadari perubahan mood Samudra. "Lo oke?"

"Iya, cuma... mata gue kayak ada yang masuk," jawab Samudra sambil menggosok matanya dengan punggung tangan.

Reza dan Andi saling bertatapan, mulai menyadari bahwa mereka mungkin sudah menyinggung topik yang sensitif.

"Sorry ya, Ren," kata Reza dengan nada yang lebih hati-hati. "Gue nggak bermaksud ngebuat lo uncomfortable."

"Nggak apa-apa," jawab Samudra sambil tersenyum paksa. "Kalian nggak salah apa-apa. Gue yang lagi sensitif aja."

Suasana di meja mereka berubah menjadi sedikit canggung. Andi dan Reza mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik lain, tentang rencana gathering alumni, tentang teman-teman seangkatan yang lain, tentang rencana bisnis masa depan.

Tapi Samudra sudah tidak bisa fokus lagi. Pikirannya melayang jauh, membayangkan bagaimana rasanya memiliki anak seperti Andi dan Reza. Bagaimana rasanya pulang ke rumah dan disambut oleh senyuman polos seorang anak yang memanggilnya "Papa". Bagaimana rasanya menggendong anak sendiri, mengajari mereka berjalan, mendengar tawa kecil mereka yang menggemaskan.

Semua itu... semua mimpi yang sepertinya tidak akan pernah terwujud selama dia masih bersama Luna.

"Ren, lo yakin lo oke?" tanya Andi lagi dengan nada khawatir. "Lo kayak... kayak ada beban berat."

Samudra mengangkat kepalanya dan menatap kedua sahabatnya. Untuk sesaat dia ingin bercerita, ingin membagi beban yang selama ini ditanggungnya sendirian. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan, dia tidak mau terlihat lemah di depan sahabat-sahabatnya.

"Gue baik-baik aja," jawabnya dengan senyum yang dipaksakan. "Cuma lagi banyak pikiran soal kerjaan."

"Kalau lo butuh ngobrol, gue selalu available, Bro," kata Reza dengan tulus. "Lo kan temen baik gue. Apapun masalahnya, gue siap dengerin."

"Gue juga," tambah Andi sambil menepuk bahu Samudra dengan hangat. "Kita kan bro sejak kuliah. Jangan sungkan kalau butuh bantuan atau sekedar curhat."

Samudra merasakan dadanya menghangat mendengar perhatian sahabat-sahabatnya. Meski tidak bisa bercerita tentang masalah rumah tangganya, setidaknya dia tahu bahwa dia tidak sendirian.

"Thanks, Guys," katanya dengan senyum yang kali ini sedikit lebih tulus. "Gue appreciate banget."

Mereka melanjutkan makan siang dengan obrolan yang lebih ringan, menghindari topik sensitif tentang anak. Setelah selesai, mereka bertukar nomor telepon yang baru dan berjanji untuk lebih sering bertemu.

"Jangan lupa ikut gathering alumni bulan depan ya," kata Andi sambil memeluk Samudra sebelum berpisah. "Kita harus lebih sering ngumpul kayak gini."

"Pasti," jawab Samudra. "Thanks buat lunch-nya hari ini."

"Anytime, Bro," kata Reza sambil menepuk punggung Samudra. "Dan Ren, semoga lo segera dikasih momongan ya. Gue yakin lo bakal jadi bapak yang hebat."

Samudra hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah Andi dan Reza pergi, dia berdiri sendirian di lobby restoran dengan perasaan yang sangat berat.

Pertemuan dengan sahabat-sahabat lama yang seharusnya menyenangkan justru membuka luka lama yang belum sembuh. Melihat kebahagiaan mereka dengan anak-anak mereka membuat Samudra semakin menyadari betapa hampa hidupnya saat ini.

Dia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di basement dengan langkah gontai. Di dalam mobil, sebelum menyalakan mesin, dia menatap foto wallpaper ponselnya, foto Luna di hari pernikahan mereka, tersenyum cantik dengan gaun pengantin yang megah.

"Kenapa kamu tidak mau memberiku anak, Luna?" bisiknya dengan suara serak. "Apa salahku sampai kamu tidak mau membangun keluarga bersamaku?"

Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah. Samudra menangis sendirian di dalam mobil, melampiaskan semua frustrasi dan kesedihan yang sudah bertahun-tahun dipendamnya.

1
Ariany Sudjana
semoga samudra lekas tahu bahwa Luna selama ini selingkuh dari samudra, dan selama ini hanya ingin harta samudra saja. dan setelah samudra tahu yang sebenarnya, jangan sampai senja yang jadi sasaran Luna, kasihan senja dan samudra, ga tega lihatnya selalu jadi sasaran kemarahan Luna , yang sudah ga waras
Ariany Sudjana
eh Luna udah gila yah, yang buat samudra jadi ilfil kan Luna juga, selama ini ga mau melayani samudra, bahkan suami sakit, Luna milih jalan-jalan ke Bali, sama selingkuhannya. yang urus samudra sampai sembuh ya senja sendiri. jadi jangan salahkan senja dong. ini samudra belum tahu istrinya selingkuh, kebayang kalau tahu, seperti apa reaksinya samudra
Ariany Sudjana
bagus samudra, jangan mau masuk dalam jebakan Luna, dia tidak mencintaimu, hanya ingin harta saja, dan sekarang dia butuh 500 JT itu. dan di hati Luna hanya ada Arjuna , pasangan selingkuhnya
Ariany Sudjana
Luna juga kan selingkuh, jadi maling jangan teriak maling dong
Ariany Sudjana
saya sih ga salahkan senja atau samudra yah, kalau Luna bisa menghormati samudra selaku suami, mungkin ga akan terjadi. tapi Luna juga malah selingkuh, belum tahu saja Luna, kalau dia juga hanya dimanfaatkan saja sama selingkuhannya
Ariany Sudjana
di rumah ada cctv kan? coba samudra lihat kelakuan Luna terhadap senja, kalau Luna pas di rumah
Ariany Sudjana
semoga saja Dewi bisa menemukan dengan siapa Luna di restoran itu, dasar Luna bodoh, belum sadar hanya dimanfaatkan sama Arjuna
Bunda SB: namanya juga cinta kak🤭
total 1 replies
Ariany Sudjana
samudra harusnya jujur sama mama kandungnya, jangan takut nanti irang tuanya akan membenci Luna. kan memang selama ini Luna yang ga mau punya anak? kalau memang nanti orang tuanya samudra jadi benci sama Luna, ya itu urusan Luna
Ariany Sudjana
semoga samudra bisa melindungi senja, karena Luna begitu jahat dan licik, dan kalau Luna tahu apa yang terjadi selama dia di Bali, pasti senja akan disiksa habis sama Luna
Ariany Sudjana
saya sih ga menyalahkan kalau sampai samudra dekat sama senja. lha punya istri, tapi istri ga pernah memperhatikan dan mengurus suami, apalagi pas suami lagi sakit. Luna malah sibuk dengan selingkuhannya.
Ariany Sudjana
apa Luna punya selingkuhan? sehingga begitu dingin sama samudra, suaminya sendiri.
Ariany Sudjana
di rumah ga ada cctv? sampai samudra begitu percaya sama Luna
Ariany Sudjana
samudra jangan percaya begitu saja sama Luna, senja sampai pingsan karena ulah Luna, si nenek lampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!