Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 POV RATU
Di ujung telepon, Angkasa menarik napas panjang, suaranya terdengar lebih dalam dan penuh tekanan.
“Ratu, satu hal yang harus kamu ingat. Biarkan mantan suamimu itu menerima akibat dari semua perbuatannya. Dia harus tahu apa artinya kehilanganmu. Jangan pernah goyah lagi.”
Ratu terdiam sesaat, jemarinya meremas ujung kerudung yang ia kenakan. Ada keraguan dalam hatinya, meski ia tahu kata-kata Angkasa ada benarnya.
“Ratu, jangan lupa dengan janji yang sudah kamu ucapkan. Aku yang menolongmu, aku yang membantumu keluar dari pernikahan dengan Erlangga. Kamu tidak boleh mundur setelah semua yang sudah kulakukan.”
Ratu terdiam, hatinya bergetar. Ada rasa tertekan sekaligus berhutang budi.
“Aku tidak lupa, Angkasa. Aku tahu tanpa bantuanmu mungkin aku masih terjebak dalam rumah tangga itu. Tapi aku mohon, jangan memaksaku untuk melanggar aturan. Aku akan penuhi janjiku, hanya saja waktunya belum sekarang.”
Angkasa mengetukkan jarinya ke meja, menahan emosi yang hampir meledak.
“Aku menunggu, Ratu. Tapi jangan biarkan aku merasa ditinggalkan. Aku tidak mau semua yang sudah kukorbankan jadi sia-sia.”
Ratu menarik napas dalam, mencoba meneguhkan hatinya.
“Kamu tidak akan kutinggalkan, Angkasa. Aku hanya ingin melangkah dengan cara yang benar. Percayalah padaku.”
Angkasa akhirnya menghela napas panjang, berusaha menekan egonya.
“Baiklah, aku percaya. Tapi jangan biarkan Erlangga membuatmu goyah lagi. Dia harus benar-benar jadi masa lalu.”
Aku masih menggenggam ponsel dengan tangan bergetar. Suara Angkasa yang barusan kudengar terus terngiang di telingaku.
“Ratu, jangan lupa dengan janji yang sudah kamu ucapkan. Aku yang menolongmu keluar dari pernikahan itu. Kamu tidak boleh mundur setelah semua yang sudah kulakukan.”
Aku terdiam lama. Jujur, aku memang berhutang banyak padanya. Tanpa Angkasa, mungkin aku masih bertahan di rumah itu, terikat dengan Erlangga yang hanya menjadikanku pembantu.
Aku benar-benar tidak menyangka. Laki-laki yang dulu pernah kutolak cintanya saat masih sekolah, kini kembali hadir dalam kehidupanku. Angkasa… dulu ia hanya seorang pemuda biasa yang selalu mencoba mendekatiku dengan caranya yang canggung. Aku masih ingat jelas bagaimana aku menolaknya mentah-mentah, tanpa pernah berpikir bahwa suatu saat aku akan membutuhkan kehadirannya.
Kini, setelah semua luka yang kuterima dari pernikahan dengan Erlangga, justru dia yang muncul sebagai penolong. Saat aku terpuruk, saat aku hampir menyerah pada hidupku, tangan Angkasa terulur. Dia menuntunku keluar dari keterpurukan, bahkan membantuku sampai bisa melepaskan diri dari ikatan pernikahan yang penuh penderitaan.
Hidup memang aneh. Jalan yang dulu kuanggap sudah berakhir ternyata berputar kembali, mempertemukanku dengan seseorang yang tak pernah kubayangkan akan memiliki peran sebesar ini dalam hidupku.
Namun hatiku tetap bimbang. Aku berterima kasih padanya, tapi aku juga takut… apakah aku sungguh mencintainya, atau hanya merasa berhutang?
Untuk saat ini aku harus fokus dengan tujuanku saat ini. Aku akan balas perbuatan Erlangga dan juga ibunya. Bukan hanya itu saja. Ibu dan kakakku Bima juga harus merasakan apa yang aku rasakan saat dipaksa menikah dengan Erlangga.
Aku masih ingat jelas hari itu. Hari ketika aku dipaksa menikah dengan Mas Erlangga. Semua bukan karena cinta, tapi karena satu alasan: hutang. Ibu dan kakakku, Bima, menekanku habis-habisan. Katanya hanya Erlangga yang bisa membantu kami keluar dari jeratan utang. Aku yang saat itu masih rapuh, tidak punya pilihan lain selain menuruti.
Aku masih ingat air mataku yang jatuh saat ijab kabul berlangsung. Bukan air mata bahagia, melainkan air mata keterpaksaan. Aku menikah bukan karena aku ingin, tapi karena aku dijadikan tameng untuk menyelamatkan harga diri keluarga.
Sejak itu, aku hidup dengan rasa sesak. Rasanya seperti terkurung dalam sangkar emas. Dari luar terlihat indah, tapi sebenarnya penuh dengan luka. Dan yang lebih menyakitkan, ibu dan Bima sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka seakan bangga sudah “menyelamatkan” keluarga lewat pengorbananku.
Selama menikah, hidupku berubah menjadi rutinitas tanpa jeda—sebuah daftar tugas yang tak pernah habis. Dari pagi sebelum fajar sampai malam ketika lampu padam, aku seperti mesin yang harus bekerja tanpa catatan istirahat. Piring, pakaian, belanja, urusan sekolah Mira dan Clara, memasak, menyapu, hingga mengurus tamu mertua; semuanya jatuh ke tanganku seakan itu sudah kodrat.
Setiap hari mengikis sabar: tingkah anak-anak Mas Erlangga. Mira dan Clara—dua nama yang dulu kupeluk seperti harapan—sering kali berubah menjadi sumber luka. Mereka bukan sekadar dingin; kadang kata-kata yang meluncur dari mulut mungil itu menusuk sampai ke tulang.
“Jangan panggil namaku!” bentak Mira waktu itu, wajahnya merah padam karena marah kecil. Clara menirukan, “Iya, kita nggak mau punya mamah tiri!” Suara mereka tegas, tanpa jeda. Orang lain mungkin melihatnya sebagai pemberontakan anak kecil; aku merasakannya sebagai penolakan yang tak berujung.
Apa lagi ketika seragam mereka kusut karena mendadak bangun kesiangan, dan aku menegur lembut, “Cepat mandi, kita harus berangkat.” Mira menatapku penuh kebencian. “Nggak usah suruh-suruh, ini bukan rumah kamu!” katanya, lalu menutup pintu kamar keras-keras.
Detik-detik seperti itu membuat perutku mual. Aku ingat malam-malam sendiri menata barang mereka, menempelkan label nama di seragam, membelikan obat ketika demam, menunggu pulang sekolah dengan membawa bekal—semua itu tak pernah dianggap oleh mereka sebagai tanda sayang. Justru segala perhatian seperti beban yang dianggap sebagai kewajiban semata.
Beberapa kali aku mencoba mendekat dengan sabar. Duduk di tepi tempat tidur, menunggu ketika mereka marah. “Mira, Clara,” aku memulai pelan. “Mamah tahu ini sulit. Mamah bukan ibumu kandung, tapi mamah peduli. Mamah di sini bukan untuk menggantikan siapa-siapa, hanya ingin bantu supaya rumah ini nyaman buat kalian.”
Mira hanya membalas dingin, “Kamu cuma pengurus, kan? Nggak usah sok baik. Kalau cuma urus kita berdua itu artinya kamu cuma Baby Sister yang disewa sama papah," ujarnya penuh kebencian, aku meremas dadaku yang terasa sangat sakit. Padahal aku adalah ibu mereka karena mas Erlangga menikahiku walau pun aku terpaksa. Tapi keduanya hanya melihatku sebagai Baby Sister yang wajib mengurus mereka berdua.
Setiap kali kata itu mengalir, ada sesuatu di dadaku yang runtuh. Tapi aku belajar menahan amarah agar tidak melukai lagi. Kalau dulu hanya diam menanggung, sekarang diamku berganti strategi: catat. Dokumentasikan. Bukan untuk balas—untuk bukti bahwa perbuatan mereka bukan sekadar aneka emosi—itulah bahan yang akan berguna ketika hari pembuktian tiba.