Dipaksa Menjadi Istri Kedua
“Pak, saya izin ke kali yah. Cucian udah numpuk, jadi mungkin agak sore baru balik,” pamit seorang gadis muda sambil menjinjing buntelan besar berisi pakaian kotor.
Pria yang dipanggil bapak itu menoleh, wajahnya penuh keringat karena sejak pagi ia sibuk memupuk jagung di ladang.
Dia menyeka keningnya dengan ujung lengan baju sebelum bertanya pelan, “Kenapa mesti nyuci di kali, Nak? Kan bisa di sumur saja. Jauh sekali jalannya.”
Nisa, putri semata wayangnya, hanya tersenyum tipis. “Banyak orang ngantri di sumur, Pak. Kalau ditunda, cucian makin menumpuk. Lagi pula ada Dea yang temanin, jadi nggak sendirian,” jawabnya lirih.
Pak Daud menghela napas, sorot matanya sendu. “Kalau begitu hati-hati, Nak. Jangan terlalu lama, selesai langsung pulang.”
“Iya Pak, Nisa pamit dulu,” sahutnya sambil menyambut kedatangan Dea, sahabatnya sejak kecil, yang juga menenteng tumpukan cucian.
Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan tanah yang menurun ke arah kali. Musim kemarau membuat banyak sumur mengering.
Warga tak punya pilihan lain selain memanfaatkan air kali yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman.
Di sepanjang perjalanan, canda ringan terdengar di antara mereka. Dea bercerita tentang rencana pernikahannya bulan depan dengan Ikram, kekasihnya yang seorang prajurit TNI.
“Undangan sudah jadi?” tanya Nisa hati-hati menuruni jalan setapak.
“Alhamdulillah, sudah. Besok mulai disebar,” jawab Dea dengan mata berbinar.
“Terus, nanti kamu ikut Ikram ke Makassar?” selidik Nisa lagi sambil meletakkan buntelan cucinya di atas batu besar.
Dea menggeleng. “Belum tentu. Ikram masih tugas di sini. Kalau pindah barulah saya ikut.”
Sambil mencuci, percakapan mereka mengalir santai, kadang diselingi tawa kecil. Namun, waktu berjalan cepat. Matahari sudah condong ke barat, langit berubah jingga.
Dea sudah menyelesaikan cucian, sementara Nisa masih berkutat dengan beberapa helai baju yang kotor sekali.
“Nisa, saya udah selesai. Kamu masih lama?” tanya Dea.
“Masih ada sedikit. Kamu pulang dulu nggak apa-apa kok,” jawab Nisa lembut.
Dea menolak, tapi kemudian teringat sesuatu. “Saya ke rumah Tante Ratna sebentar yah, mau buang air. Dekat sini kok.”
Nisa mengangguk. “Ya sudah, saya tunggu. Paling pas kamu balik, cucian saya sudah selesai.”
Senja makin pekat. Jam sudah menunjukkan lewat pukul lima. Kali mulai gelap, suasana hening. Nisa membereskan cuciannya, tapi Dea tak kunjung kembali.
“Kenapa lama sekali? Masa dia langsung pulang? Tapi cucian Dea masih di sini,” gumamnya gusar.
Ia mondar-mandir gelisah. Tiba-tiba, teriakan pecah dari kejauhan.
“Tolooong!”
Nisa terperanjat. Jantungnya berdegup keras. “Astaghfirullah… suara siapa itu? Ya Allah, jangan-jangan ada orang celaka yang butuh bantuan, tapi siapa?”
Ia menajamkan pendengaran, lalu melangkah cepat menyusuri pinggiran kali. Dalam remang senja, matanya menangkap bayangan samar sesosok tubuh terapung.
“Allahu Akbar! Itu orang!” jeritnya, lalu tanpa pikir panjang ia terjun ke kali.
Air dingin menyergap tubuhnya, namun ia terus berenang sekuat tenaga hingga berhasil meraih tubuh pria itu. Dengan susah payah, ia menyeretnya ke tepi kali.
“Apa bapak baik-baik saja?” Nisa menepuk pipi pria itu.
“Sa…ya… baik,” suaranya lirih, terputus-putus.
Begitu sampai di darat, Nisa baru menyadari tangan pria itu berlumuran darah. Luka dalam, seperti sabetan senjata tajam.
“Ya Allah!” desisnya panik. Kepalanya langsung berkunang. Sejak kecil ia phobia darah, tubuhnya otomatis gemetar.
Tapi ia menahan diri. “Saya nggak boleh pingsan. Nyawa orang ini harus diselamatkan.”
Dengan langkah goyah, Nisa mencari dedaunan yang bisa digunakan sebagai penahan darah. Ia menumbuknya, lalu kembali ke sisi pria itu.
“Pak, tahan yah. Sakit sedikit, tapi semoga darahnya berhenti,” bisiknya sambil menempelkan ramuan daun dan mengikatnya dengan sobekan gamisnya.
Pria itu meringis, namun matanya menatap Nisa penuh syukur. “Kamu… baik sekali. Kita nggak saling kenal, tapi ka-mu mau menolong sa-ya.”
Nisa tersenyum samar walau wajahnya pucat. “Sesama manusia harus saling bantu nggak usah dibahas itu sudah kewajiban, Pak.”
Belum sempat ia berdiri tegak, kepalanya terasa semakin berat. Tubuhnya limbung.dan jatuh menimpa paha pria itu.
Brukk!
Saat itulah, suara langkah tergesa datang. Pak Daud, Pak Torik, dan Dea muncul bersamaan.
“Nisaa!!” teriak Pak Daud histeris melihat putrinya tergeletak.
Pak Torik matanya membelalak, lalu menunjuk pria itu dengan geram.
“Hei! Apa yang kamu lakukan pada anaknya Pak Daud!”
Pria itu tergopoh, mencoba menjelaskan. “Pak, demi Allah, saya tidak,”
“Jangan bawa-bawa nama Allah!” potong Pak Torik. “Kami bertiga lihat sendiri kau memeluknya dalam keadaan tak sadarkan diri! Ini jelas-jelas perbuatan aib!”
Dea ikut menjerit kaget saat melihat noda darah di gamis Nisa. “Astaghfirullah ada bercak darah di bajunya! Apa yang kamu lakukan ke temanku!”
Pak Daud lemas, air matanya jatuh. “Ya Allah… Nisa… Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?”
Pak Torik menghela napas panjang lalu menatap Pak Daud. “Kalau begini, sebelum kabar ini tersebar, lebih baik dinikahkan saja malam ini juga. Supaya tidak menimbulkan fitnah.”
“Tapi… saya sudah menikah, Pak,” lirih pria itu, tubuhnya semakin lemah.
Kalimat itu membuat semua orang terdiam. Pak Daud menatap kosong, semakin putus asa.
“Menikah atau tidak, kau tetap harus tanggung jawab! Kalau tidak, kami laporkan kau ke polisi atas tindakan asusila!” bentak Pak Torik.
Pria itu terengah-engah, menahan sakit di lengannya yang terus mengucur darah.
“Pak… sungguh ini kesalahpahaman saya berani bersumpah tidak melakukan hal-hal yang tidak baik,” protesnya pria itu yang tak terima dituding melakukan perbuatan jelek.
Belum selesai kalimatnya, tubuhnya ambruk tak sadarkan diri.
“Argh tidak!!”
Semua orang sontak panik. Dea berteriak, Pak Daud berlutut sambil mengguncang tubuh Nisa yang masih pingsan, sementara Pak Torik mengusap wajahnya dengan gusar.
Suasana senja di tepi kali itu mendadak berubah mencekam antara darah, tuduhan, fitnah, dan nyawa yang dipertaruhkan.
Pak Daud berlari mendekat, napasnya tersengal. Ia melihat putrinya yang terkulai di pangkuan seorang lelaki asing yang sudah lemah penuh darah.
“Nisa! Ya Allah, kenapa anakku bisa begini?” serunya dengan mata yang memerah.
Dea ikut panik, langsung memeluk sahabatnya. “Pak, Nisa pingsan. Lihat pakaiannya, ada darah di sini,” ucapnya terbata.
“Cepat kita bawa pulang dulu. Kalau dibiarkan di sini bisa tambah parah,” ujar Pak Daud sambil mengangkat tubuh putrinya dengan hati-hati.
Sementara itu, pria yang ditolong Nisa hampir tidak sanggup bergerak setelah pingsan beberapa saat dan sadar karena dibangunkan dan tatapannya kabur dan pendengarannya samar-samar. Pak Torik menatapnya dengan curiga.
“Kenapa dia bisa bareng sama Nisa di tempat sepi begini? Jangan-jangan memang ada yang dia lakukan,” ujarnya dengan nada tajam.
Pria itu mencoba bicara, suaranya lemah, “Pak… saya tidak… ini semua salah paham.”
“Diam! Kalau bukan karena kamu, anaknya Daud nggak mungkin sampai kayak gini,” bentak Pak Torik.
Pria itu kembali pingsan setelah tersadar beberapa saat.
Dengan kondisi genting, mereka beramai-ramai membawa Nisa dan pria itu ke rumah Pak Daud. Suasana rumah sederhana itu berubah panik. Beberapa tetangga yang melihat mulai berbisik-bisik, bisikan yang mengiris hati.
“Kenapa ada laki-laki asing diangkat masuk rumah Daud?” tanya seorang ibu yang kebetulan lewat.
“Lihat tuh baju anaknya, penuh bercak darah. Jangan-jangan…” sahut yang lain dengan wajah penuh tanda tanya.
Bisikan itu sampai ke telinga Pak Daud. Ia terdiam, hatinya semakin berat. Di dalam rumah, Nisa direbahkan di atas kasur. Dea sibuk menempelkan kain basah di kening sahabatnya.
“Pak, kita harus cepat bawa lelaki itu ke puskesmas. Kalau tidak, lukanya bisa makin parah,” ucap Dea.
Akhirnya dengan tenaga seadanya, Pak Daud dan Pak Torik menggotong lelaki itu menuju puskesmas terdekat. Perjalanan malam itu terasa panjang. Sesampainya di sana, perawat langsung sigap menolong.
Namun, saat menunggu di ruang tunggu, ketegangan semakin terasa.
Pak Torik bersuara lantang, “Daud, kamu sadar nggak? Kalau orang-orang tahu anakmu ditemukan pingsan bareng lelaki asing, ditambah ada darah di bajunya, pasti mereka berpikir macam-macam.”
“Jangan asal bicara, Torik. Aku tahu anakku,” jawab Pak Daud lirih tapi penuh tekanan.
“Tahu? Kalau kamu benar kenal anakmu, kenapa bisa terjadi hal begini? Orang-orang bisa saja menuduh yang tidak-tidak. Nama baik keluarga kita bisa rusak. Jalan satu-satunya ya cuma satu, nikahkan mereka!” tegasnya.
Dea yang duduk di samping Nisa ikut menimpali, “Tapi Pak, gimana kalau benar ini cuma salah paham? Saya yakin Nisa nggak mungkin macam-macam.”
“Dea, bukannya kamu tadi sendiri yang lihat ada noda darah di bajunya Nisa? Itu bukti nyata! Apa mau bilang semua itu kebetulan?” sahut Pak Torik makin keras.
Pak Daud menunduk, wajahnya kusut. Pikirannya campur aduk antara menyelamatkan nama baik keluarga atau mempercayai putrinya.
Tidak lama, seorang perawat keluar membawa kabar. “Lelaki itu kondisinya stabil, tapi butuh perawatan lebih lanjut. Kalau terlambat sedikit tadi, bisa kehilangan banyak darah,” ujarnya.
Pak Torik malah memanfaatkan kabar itu untuk menekan. “Lihat kan, dia bersama anakmu saat kejadian. Orang bisa menuduh Nisa yang jadi penyebab. Sebelum gosip makin liar, kita selesaikan malam ini juga. Nikahkan mereka, biar jelas!”
Pak Daud terdiam lama, matanya berkaca-kaca. Ia menatap pintu ruang perawatan, lalu menoleh ke arah putrinya yang masih lemah. Hatinya seperti diiris.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?” lirihnya penuh sesak.
Suasana ruang tunggu itu mencekam. Kata-kata Pak Torik menggantung berat di udara, dan setiap orang tahu, keputusan malam itu akan mengubah seluruh hidup Nisa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments