NovelToon NovelToon
DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Romansa / Office Romance
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. RENZO SUKA GOMBAL

Udara pagi belum terlalu panas, tapi aroma nasi yang baru matang sudah mengisi dapur.

Renzo masuk dengan langkah mantap, dasinya belum terpasang, rambut rapi, tapi matanya langsung mencari Nadhifa—istri yang sedang menata sarapan dengan hati-hati. 

Dia memperhatikan gerakan istrinya, bagaimana Nadhifa memindahkan telur mata sapi ke piring, menata roti panggang dan irisan buah, dengan senyum kecil yang muncul tanpa disadari.

“Aromanya bikin laper,” ujarnya berat, dan Nadhifa menoleh.

Renzo melangkah mendekat, tapi pandangannya tidak langsung tertuju ke piring sarapan. Ia lebih lama menatap wajahnya.

Dia mencuri satu potong roti dari piring itu, tersenyum tipis. “Karena pengin sarapan buatan istri. Cuma ini yang bisa bikin semangat kerja,” ucapnya.

Renzo sempat menoleh ke cermin kecil di ruang makan, merapikan dasinya sebentar, tapi matanya terus mencuri pandang ke arah Yuda yang keluar dari kamar. 

Anak laki-laki itu—nyaris setinggi Renzo—melangkah pelan sambil membawa jaket kampus dan masih separuh mengantuk.

“Bundaaa,” gumam Yuda, mendekat ke meja makan. “Udah masak ya?”

Renzo memperhatikan Nadhifa mengacak rambut anak itu pelan. Yuda tertawa kecil, masih tampak canggung saat matanya bertubrukan ke arah Renzo.

Yuda duduk, mengatakan terima kasih sambil menyinggung rumah kecil di belakang panti. 

Renzo menatap Nadhifa sejenak, melihat bagaimana rasa sayang itu mengalir tanpa harus melalui ikatan darah. Ia mengamati keduanya—istri dan anak itu—dan merasakan kedamaian aneh di dadanya.

Renzo menatap Nadhifa saat ia duduk di sampingnya, menatap wajahnya tanpa kata-kata. Ia tahu Nadhifa sedang memperhatikannya juga. Ada diam yang penuh makna di antara mereka.

“Ada rapat jam berapa, Mas?”

“Jam delapan. Tapi aku berangkat bareng Gibran, jadi harus standby di lobby sebelum jam tujuh,” jawab Renzo.

Dia lalu melirik Yuda. “Kalau kamu nanti perlu diantar, bilang. Ay … Ayah bisa nitip supir buat nganter.”

Yuda tersenyum sopan. “Nggak perlu, Yah. Makasih.”

Renzo duduk, mengambil roti, tapi matanya tetap tertuju pada Nadhifa, memperhatikan gerak-gerik kecilnya.

...***...

Motor sport hitam yang diberikan Renzo bergetar pelan di bawah tangan Yuda. Masih terasa aneh saat dia menyebutnya ‘ayah’, tapi hangat di dada saat Renzo sendiri yang mengizinkan. 

Yuda memegang erat stir saat lampu merah menyala, jalanan pagi cukup lengang, tapi dadanya berdesir antara semangat dan gugup. 

Hari pertama kuliah di kota baru, dengan Ayah dan Bunda yang baru benar-benar tinggal serumah.

Tiba-tiba, motor sport berhenti persis di sampingnya. Visor helm setengah terbuka, dan wajah yang tajam itu langsung dikenalnya.

“Arshen?” gumam Yuda.

Arshen menatapnya cepat, mata tajam seperti menilai, lalu berkata, “Yuda, naik motor juga?” ujarnya melihat motor hitam Yuda, sementara motornya merah.

“Jangan bilang lo kuliah di Universitas Alverio juga?”

Yuda mengangguk. “Iya, bener.”

Arshen menyeringai. “Gue juga. Semester satu. Meski udah boleh langsung naik semester enam.”

Yuda menatap Arshen sebentar, campuran kagum karena Arshen jenius dan dia aja baru semester satu tapi pusing. Dalam benaknya, Arshen tetap tampak sombong, tajam, tapi ada aura misterius yang membuat siapapun ingin tahu lebih banyak. 

Arshen nanya lagi, “kayaknya lo jurusan yang normal ya?”

Yuda balas tertawa. “Manajemen. Lo jurusan apa?”

“Cyber Security. Gue bisa ngacak-ngacak sistem negara, tapi disuruh cuci piring di rumah masih nolak.”

Lampu hijau menyala. Dua motor melaju berdampingan. Hari kuliah baru saja dimulai, tapi interaksi singkat di lampu merah ini sudah cukup memberi warna aneh di pagi yang biasa.

...***...

Jam istirahat telah tiba, dan lantai sebelas terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin karena Renzo sudah memutuskan untuk turun ke lantai tujuh, bukan untuk rapat atau evaluasi kinerja, tapi untuk melihatnya—Nadhifa. Istrinya, sekaligus CFO perusahaan, yang meski jarang terlihat, tetap mengisi pikirannya setiap kali ia melewati lorong.

Lift berhenti di lantai tujuh. Renzo melangkah keluar, melewati beberapa staf yang langsung menunduk, pura-pura sibuk, padahal jelas mereka saling menatap penuh rasa ingin tahu.

Ia mengetuk pintu ruangannya. Nadhifa menoleh dari layar laptop, senyum kecil muncul di ujung bibirnya, tapi matanya tetap profesional.

“Masih jam kerja,” ujarnya pelan.

Renzo mendekat, tangan di belakang punggungnya. “Aku cuman mau memastikan CFO kita sudah makan siang,” bisiknya.

Dia tertawa pelan, menggeleng. “Kamu ini…”

“Boleh kalau aku curi lima menit?” lanjut Renzo.

Nadhifa menoleh, matanya melembut. “Mas … jangan mulai,” ucapnya sambil menepis cubitan ringan di pipinya.

Renzo tersenyum nakal. Ia mencoba menunduk untuk mencuri ciuman cepat di pipinya, tapi Nadhifa menepuk dadanya dengan dokumen. 

“Eh, jangan di kantor,” katanya, tapi rona merah tetap tampak di pipinya.

“Oke. Tapi aku tetap bakal ngajak makan siang. Jangan bilang sedang diet, ya?” bisik Renzo sambil menyeringai.

Nadhifa mengangguk, merapikan berkasnya. Renzo mengambil tas kecil Nadhifa, dan mereka keluar bersama. Suara bisik-bisik staf terdengar begitu mereka melewati lorong.

Renzo hanya tersenyum. Tak peduli. Karena baginya, tak ada yang lebih menyenangkan daripada berjalan beriringan dengan perempuan yang dicintai—bukan hanya di rumah, tapi juga di tengah hiruk-pikuk dunia kerja.

Nadhifa sebenarnya tahu ini ide buruk. Makan siang di kafetaria kantor bersama Renzo—suaminya sendiri, sekaligus CMO perusahaan, sumber utama gangguan fokus setiap jam kerja.

Tapi, seperti biasa, dia kalah. Renzo datang dengan gaya andalannya. Tenang, rapi, dan penuh tatapan yang menyimpan terlalu banyak kode rahasia. 

Mereka sudah duduk di kafetaria lantai dasar dengan senampan menu yang mereka ambil dari prasmanan.

“Aku bisa suap sendiri,” gumam Nadhifa ketika Renzo menyodorkan sendok berisi tumis bulgogi ke arahnya.

Renzo mengangkat alis. “Kalau begitu, kamu juga bisa berhenti pura-pura malu setiap kita duduk di sini.”

Nadhifa melirik sekitar. Beberapa staf HR duduk tak jauh dari mereka. Jelas sedang mendengar, bahkan mungkin merekam. “Kita ini pejabat perusahaan,” bisiknya. “Bisa tolong jaga imej, Pak CMO?”

Renzo justru terkekeh, matanya menyipit nakal. “Seluruh lantai perusahaan ini tahu aku suamimu, Nadhifa. Dunia tahu. Bahkan petugas keamanan di lobi tahu. Tapi kamu masih bertingkah seperti kita baru PDKT.”

Nadhifa menusuk tahu isi dengan garpu. “Mungkin karena kamu kadang sok mesra di waktu yang … nggak ideal.”

“Seperti sekarang?” Renzo menggoda, bersandar sedikit lebih dekat. “Kamu tahu, kalau kita buat jadwal … mungkin Senin, Rabu, Sabtu. Biar adil.”

Nadhifa langsung menyumpal mulutnya dengan tahu isi. “Kamu tuh …,” katanya setengah tertawa, setengah kesal. Lalu buru-buru menoleh ke rekan kerja di meja seberang yang menatap mereka. “Maaf, dia lupa lagi hari ini masih kerja.”

Renzo mengunyah tahu sambil tersenyum tak berdosa. “Tapi serius, itu tahu enak. Kayak kamu.”

Nadhifa memejamkan mata sejenak. “Mas…”

“Ya?”

“Kalau kamu masih terus begitu, tahu isi itu akan pindah jalur, langsung ke jas barumu.”

Renzo tertawa. “Ancaman dari seorang CFO ternyata mengandung protein kedelai.”

Nadhifa menggeleng, tak tahan ikut tertawa kecil. Dalam hati, dia bahagia.

Seisi kantor, dunia, dan jagat raya boleh tahu mereka suami istri. Tapi hanya dia yang tahu betapa menyebalkannya pria ini bisa membuat makan siang sederhana terasa seperti bulan madu yang manis di Los Angeles.

...***...

Langkah kaki Renzo menyusuri lorong apartemen, beriringan dalam diam yang nyaman bersama Nadhifa. Ia mendengar istrinya berbicara pelan tentang laporan keuangan divisi anak perusahaan. 

Renzo hanya mengangguk, setengah mendengarkan, setengah menikmati suara lembut itu, yang selalu terasa seperti musik yang familiar dan menenangkan.

Tiba-tiba terdengar langkah cepat. Pintu unit mereka terbuka lebar, dan sosok laki-laki berlari keluar. Rambutnya agak berantakan, kemeja cukup rapi, tapi senyum lebar menutupi segalanya.

“Bunda!” teriak Yuda, dan tanpa aba-aba, ia memeluk Nadhifa sekuat tenaga. 

Dalam satu gerakan penuh semangat, dia membopong Nadhifa, memutar pelan di udara seperti anak kecil menemukan mainan favoritnya kembali.

Renzo berhenti beberapa langkah di belakang mereka, menahan nafas. Bukan karena cemburu, tapi … mungkin sedikit iya.

“Yuda! Astaga, Nak, kamu ini … bundamu bisa jatuh lho!” Nadhifa tertawa, memukul lengannya.

“Ah, masa sih? Dulu waktu aku TK, Bunda yang bawa aku keliling komplek. Sekarang ganti dong!” Yuda terkekeh, menurunkan Nadhifa dengan hati-hati.

“Waktu SD, kamu masih naik ke punggung Bunda kalau nggak mau sekolah.” Nadhifa menimpali.

Mereka tertawa bersama. Suara tawa itu terdengar seperti lagu rumah.

Renzo berdiri diam, memandangi mereka. Ada perasaan yang sulit dijelaskan di dadanya. Bahagia, tentu. Tapi juga … sedikit tersingkir. Seolah dia menjadi penonton dalam hubungan yang telah terbangun lama, bahkan sebelum dirinya ada dalam hidup Nadhifa.

Yuda menoleh, menyadari kehadiran Renzo. “Om—eh, Ayah!” katanya, ragu tapi bersemangat.

Renzo tersenyum kecil. “Kamu kuat juga, ya.”

Nadhifa menoleh, menangkap ekspresi Renzo. “Mas?” katanya lembut.

Renzo mengangguk. “Nggak apa-apa. Cuma … aku belum pernah dibopong kamu aja.”

Nadhifa tersenyum geli, menutupi mulut dengan tangan. “Maaf, aku belum sekuat Yuda.”

Yuda tertawa. “Nanti aku latih Bunda biar bisa, Yah!”

Renzo ikut tertawa. “Bagus. Biar adil.”

Mereka berjalan lebih dulu ke pintu apartemen. Renzo menyusul pelan, memandangi punggung dua orang yang kini—tanpa ia sadari kapan tepatnya—telah menjadi keluarganya. 

Dunia boleh berputar. Tapi selama ada mereka di depan matanya, Renzo tahu, ia berada di tempat yang benar.

1
Esti Purwanti Sajidin
syemangat kaka,sdh aq vote👍
Marsshella: Makasi semangatnya Kaka, makasi udah mampir ya. Selamat datang di kisah Renzo dan Nadhifa 🥰
total 1 replies
kalea rizuky
najis bgt tau mual q thor/Puke/ kok bs alarik suka ma cwok pdhl dia bersistri apakah dia lavender marrige
Marsshella: di Alunala Alaric dia udah tobat kok dan punya anak kesayangan. Ini giliran ceritanya si Renzo 😭😭😭😭😭
total 1 replies
kalea rizuky
njirr kayak g ada perempuan aja lubang ta.... *** di sukain jijik bgt
kalea rizuky
gay kah
Wina Yuliani
tah ge ing ketahuan jg brp umur.mu nak
Marsshella: dah jadi pria matang ya 😭
total 1 replies
Wina Yuliani
emangnya mereeka beda berapa tahun ya thor?
Marsshella: seumuran mereka 😄. Kakeknya Renzo tuh punya simpanan muda dan itu Nadhifa anaknya Kakek Renzo ... ikutin terus ceritanya, ya, ada plot twist besar-besaran 🥰
total 1 replies
Wina Yuliani
ternyata ada kisah cinta terlarang yg nambahin kerumitan hidup nih
Marsshella: ada plot twist ntar 🔥
total 1 replies
Wina Yuliani
baru baca tapi udah seru, keren
Marsshella: Welcome to kisah Renzo dan Nadhifa, Kak. Ikutin terus ceritanya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!