Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai Ilusi
Elaina menatap pantulan dirinya yang masih kecil di balik cermin. Matanya yang sendu berubah tajam. Sorot mata seorang wanita yang telah menelanjangi kebohongan ribuan manusia selama hidupnya. Ia mendekat, ujung sepatunya beradu pelan dengan lantai cermin. Lalu, dengan satu desahan panjang, ia berbisik lirih,
“Lucu… bahkan ilusimu pun tak bisa meniru aroma kesedihan yang sebenarnya.”
Cermin itu bergetar. Sosok kecil itu memudar, seperti asap yang disapu angin.
Sekejap kemudian, seluruh labirin cermin bergetar lagi. Gelombang energi berwarna merah muda menyebar dari ujung ke ujung, dan dari dalam kegelapan, Huli Jing muncul kembali, kali ini wajahnya sedikit berubah. Senyum manis yang tadi menawan kini terganti guratan kesal yang samar.
“Cerdas sekali, manusia,” desisnya, ekor-ekor panjang di belakangnya menari dengan ritme marah. “Tapi permainan ini belum selesai.”
Ia menjentikkan jarinya. Sekejap, seratus bayangan manusia muncul di sekitar Elaina melingkarinya.
Wajah-wajah itu bervariasi. Ada yang bengkak penuh amarah, ada yang matanya dipenuhi dendam, ada yang menangis, ada pula yang menatap kosong. Semua satu suara, berteriak dari arah berbeda-beda, suaranya memantul di ruang ilusi yang tak lagi memiliki batas:
“KAU YANG MERUSAK HIDUPKU!”
“KAU YANG MENJEBAKKU DENGAN FITNAH!”
“AKU TAK PERNAH BERSALAH!”
Ratusan tudingan itu menghujam seperti panah.
Suara mereka membentuk badai kebencian, menyelimuti Elaina di tengah pusaran wajah-wajah masa lalunya.
Virgo di tribun atas tampak menegang, menatap dengan tatapan prihatin. Bahkan Presiden dan The Ancient One yang duduk di singgasana khusus terlihat terpaku. Menyadari bahwa serangan ini bukan sekadar pertarungan kekuatan, melainkan perang batin dan moralitas.
Namun Elaina… tetap berdiri.
Tubuhnya tenang, hanya matanya yang menatap lurus ke depan dengan tatapan menelusuk, seperti pisau yang menguliti ilusi menjadi kebenaran.
Ia menarik napas panjang, menatap ke arah Huli Jing dengan senyum sinis yang sangat tipis. Senyum khas seorang mentalist yang tahu lawannya sudah kehabisan trik.
“Ini lebih buruk dari sebelumnya, rubah,” ucapnya pelan namun jelas, suaranya menembus riuh suara ilusi.
“Mereka memang bersalah. Dan kau malah repot-repot memanggil wajah-wajah yang bahkan aku sudah lupa siapa saja mereka.”
Ia tertawa kecil, ringan namun menusuk.
“Konyol sekali.”
Seolah tersentak oleh kata itu, satu per satu wajah ilusi di sekelilingnya mulai retak. Suara tudingan yang semula keras kini memudar, berganti gema kosong yang hampa makna. Dalam hitungan detik, seluruh sosok itu meledak menjadi serpihan cahaya dan lenyap di udara. Meninggalkan Huli Jing yang kini berdiri seorang diri, napasnya tersengal, matanya menyipit menahan amarah.
Kipas emas kecil di tangannya terbuka, menutupi sebagian wajahnya. Tapi dari balik lipatan kipas itu, senyum getirnya kembali muncul.
“Kau wanita yang menarik, Elaina Voss…” katanya dengan suara lembut namun beracun. “Namun setiap pikiran memiliki retakan. Dan aku akan menemukannya.”
Elaina menjawab dengan nada datar, menegakkan tubuhnya sedikit.
“Silakan coba, rubah. Tapi jangan kaget kalau saat kau mencarinya, yang kau temukan hanyalah pantulan dari ketakutanmu sendiri.”
Hening.
Hanya suara angin tipis di antara cermin yang memantulkan langit dari atas awan.
Virgo memandangi keduanya dengan sorot mata yang dalam. Bibirnya menyunggingkan senyum lembut. Seakan baru saja menyaksikan dua dunia yang begitu berbeda, namun sama kerasnya menegakkan keyakinan mereka.
Suasana di Colosseum seolah membeku setelah ledakan ilusi terakhir menghilang.
Udara yang semula bergetar oleh sihir dan jeritan kini mendadak sunyi. Sunyi yang bukan menenangkan, melainkan mencekam.
Ribuan pasang mata dari segala penjuru dua dunia terpaku pada dua sosok di tengah arena.
Tak ada darah yang tertumpah, tak ada pedang yang beradu, namun semua yang menyaksikan tahu… pertarungan barusan lebih menakutkan daripada duel fisik mana pun.
Dari tribun umat manusia, wajah-wajah tegang menyelimuti barisan mereka. Beberapa ilmuwan yang sebelumnya mencatat data pertandingan kini berhenti menulis. Pena mereka terjatuh tanpa sadar.
Para prajurit yang biasa menghadapi pertempuran dan letusan granat menatap kosong. ereka tahu betapa berbahayanya peperangan pikiran.
Seorang ibu di antara penonton menutup mulutnya dengan kedua tangan, air matanya menetes tanpa ia tahu mengapa. Ia seperti bisa merasakan luka batin Elaina saat melihat ilusi masa lalunya.
Sedangkan di sisi lain, tribun ras mitologi dipenuhi ekspresi campur aduk.
Para elf, dengan mata tajam mereka, menatap penuh kekaguman. Tak menyangka manusia memiliki kekuatan mental sedemikian teguh.
Bangsa dwarf yang biasanya sinis kini terdiam, janggut mereka terangkat ringan oleh angin, mata mereka sedikit melebar.
Bahkan para siren (makhluk laut yang dikenal mampu memanipulasi emosi manusia dengan suara mereka sendiri) tertegun menatap Elaina. Seolah menyadari, bahwa kali ini ada manusia yang sanggup melawan pesona dan tipu daya dengan kekuatan hati yang murni.
Namun paling mencolok adalah reaksi dari para Huli Jing yang duduk di tribun kehormatan sebelah timur. Mereka saling berbisik dengan bahasa yang hanya mereka pahami. Suara berdesis lembut bagai desir angin.
Beberapa dari mereka tampak tidak senang, ekor mereka bergerak resah, sementara yang lain justru tersenyum tipis, mengakui bahwa manusia di tengah arena itu bukanlah mangsa yang mudah.
Salah satu Huli Jing tua menggumam lirih,
“Dia bukan hanya manusia, dia adalah refleksi dari kebenaran yang tidak bisa kami tipu.”
Di singgasana atas, The Ancient One bersandar pada kursinya yang terbuat dari batu langit dan logam kuno. Tatapan matanya, tajam seperti elang, menatap ke arah Elaina dengan rasa hormat yang jarang ia tunjukkan pada manusia.
Ia berucap pelan kepada Presiden di sampingnya,
“Wanita itu… melawan bukan dengan kekuatan, tapi dengan kesadaran. Sebuah sihir yang bahkan dunia kami pun sulit menandingi.”
Presiden menatap ke bawah, mata birunya redup namun bangga.
“Dia adalah lambang kami,” ucapnya lirih. “Manusia yang rapuh… tapi tak bisa dipatahkan.”
Sementara itu, Virgo (sang pengadi) menundukkan wajahnya sedikit, mata ungunya berpendar lembut bagai nebula di langit jauh.
Ia menatap Elaina dan Huli Jing dengan tatapan campuran antara kekaguman dan haru. Suaranya berbisik halus, hanya cukup terdengar oleh dirinya sendiri,
“Pertarungan tanpa darah, namun menggetarkan langit… Begitu banyak kebenaran yang tersingkap dari dua hati yang bertabrakan.”
Di bawah, angin mulai berhembus pelan, membawa sisa-sisa debu cahaya dari ilusi yang baru saja sirna. Langit di atas Colosseum yang mengambang tampak berguncang samar, seolah ikut merasakan beratnya makna pertarungan itu. Antara akal dan tipu daya, antara logika dan fantasi, antara kejujuran dan kebohongan yang sempurna.
Dan di tengah semua itu…
Huli Jing menunduk perlahan, menatap Elaina dari balik bayangan kipas emasnya.
Wajahnya tenang, tapi di balik tatapan itu tersimpan bara amarah yang mulai menyala.
Ia tidak lagi tersenyum manis. Ia akan menunjukkan bahwa ilusi bukan hanya permainan mata, tapi juga senjata yang bisa menyusup ke dalam jiwa.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !