NovelToon NovelToon
SANG JENDERAL

SANG JENDERAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Yuna seorang dokter muda jenius di pindah tugaskan ke area baku tembak.. Dan pertemuannya membawa nya pada Kenzi sosok dokter senior yang kaku dan dingin... Serta Jendral dari base musuh, menjadi cinta segitiga yang rumit..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

malam merindu

Tenda medis terasa hampa. Lampu-lampu gantung bergoyang pelan karena angin malam, menebarkan cahaya redup di atas meja operasi yang kini kosong. Yura duduk di kursinya, tangan menutup wajah, matanya berat karena lelah—tapi bukan karena pekerjaan. Sudah empat hari Mark tidak muncul, tidak ada kabar, bahkan Davis yang biasanya muncul untuk menyampaikan pesan pun menghilang.

Setiap suara derap kaki tentara di luar tenda membuat jantung Yura berdegup, berharap itu Mark yang datang… tapi selalu bukan.

Yura memukul meja dengan kedua tangannya, frustrasi.

“Empat hari… dia ke mana sebenarnya?! Dia bahkan tidak pernah pergi selama ini tanpa kabar…”

Fara yang duduk di ranjang perawatan menatapnya khawatir. “Yura, mungkin… dia sedang di medan tempur? Kau tahu Mark, dia bukan tipe orang yang… gampang hilang begitu saja.”

“Tapi biasanya dia selalu kirim pesan. Bahkan kalau dia pergi untuk pertempuran besar, Davis pasti datang bawa kabar. Sekarang… tidak ada siapa pun.”

Yura berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam tenda. Nafasnya mulai tidak teratur, matanya memerah karena gelisah. “Aku… aku bahkan mimpi buruk dua malam terakhir. Mark terluka, berdiri di tengah hujan… entah kenapa rasanya nyata sekali.”

Yuda yang sedang mengatur peralatan medis ikut angkat bicara. “Kalau kau mau, besok kita bisa cari tahu ke pos pengintai. Tapi malam ini, kau harus istirahat. Kalau Mark benar-benar di medan perang, dia tidak mau lihat kau lemah saat dia kembali.”

Tapi Yura tidak bisa tenang. Tatapan matanya kosong, lalu tiba-tiba menoleh ke arah Fara dan Yuda.

“Aku tidak bisa tunggu. Aku akan cari tahu malam ini.”

Malam itu, Yura mengenakan mantel panjang berwarna gelap dan penutup kepala. Angin dingin berhembus dari hutan sekitar Namura, membawa aroma tanah basah. Ia berjalan diam-diam di jalur hutan, menghindari patroli, dengan peta kecil yang diberikan seorang prajurit simpatisan—peta menuju camp utama Mark.

Langkahnya hati-hati, setiap ranting yang patah di bawah kakinya membuat jantungnya berdegup kencang. Setelah satu jam perjalanan, ia sampai di tebing yang menghadap camp militer besar, dengan lampu-lampu sorot berkelip dan menara penjaga di setiap sudut.

Yura berjongkok di balik bebatuan, napasnya tertahan. Dari kejauhan, ia bisa melihat puluhan tenda militer, kendaraan lapis baja, dan prajurit yang berpatroli. Camp itu terlihat seperti benteng yang mustahil ditembus.

Namun ia terus maju, menyelinap di antara pepohonan, mencari celah. Hingga akhirnya, ia mendengar suara dua prajurit berbicara di dekat pagar kawat berduri.

“Jadi, Jenderal Mark masih diisolasi di Canada?” salah satu berkata, suaranya pelan namun jelas terdengar di tengah malam.

“Iya. Setelah lima puluh cambukan disiplin. Dewan benar-benar ingin menghancurkan mentalnya. Tapi… dia tetap tidak bicara apa pun, bahkan setelah itu.”

“Gila… aku tidak bisa bayangkan. Lima puluh kali? Siapa pun pasti sudah roboh.”

“Tapi dia bukan manusia biasa. Mereka bilang dia berdiri tegak sepanjang eksekusi, tidak teriak, tidak jatuh. Hanya berdiri… menatap mereka dengan mata hijau dinginnya.”

Yura membeku. Matanya membelalak, napasnya tercekat.

“Lima puluh cambukan… isolasi… di Canada?” gumamnya pelan, hampir tidak bersuara.

Suara prajurit itu memudar saat mereka berjalan pergi. Yura mundur perlahan, punggungnya menempel pada pohon besar. Dadanya sesak, tangan gemetar. Air mata mulai memenuhi sudut matanya.

“Dia… dihukum… karena aku?” suara itu hampir tidak keluar dari tenggorokannya. Ia menutup mulutnya, menahan isak tangis.

---

Yura berlari kembali ke jalur hutan, mantel panjangnya berkibar di angin. Pikirannya kacau. Setiap langkahnya terasa berat, tapi tekadnya semakin kuat.

Setibanya kembali di pos medis, Fara dan Yuda yang sedang berjaga terkejut melihat wajah Yura yang basah oleh air mata.

“Yura? Hei, kau kenapa?!” seru Fara sambil berdiri.

Yura menatap mereka, matanya merah. “Mark… dia diisolasi. Di Canada. Dia… dia dihukum cambuk. Lima puluh kali…”

Fara menutup mulutnya, terkejut. Yuda memaki pelan, “Astaga… Itu… tidak masuk akal. Dia bisa mati kalau tidak dirawat.”

“Aku tidak bisa tinggal diam,” kata Yura dengan suara bergetar namun tegas. “Besok malam, aku pergi ke Canada. Aku harus melihat keadaannya sendiri. Kalau perlu… aku yang akan menyelinap masuk ke markas pusat itu.”

Fara dan Yuda saling pandang, tahu mereka tidak bisa menghentikan Yura. Yuda akhirnya mengangguk berat. “Kalau itu keputusanmu, kami ikut. Tapi kita butuh rencana… dan bantuan Davis. Hanya dia yang tahu bagaimana cara mendekati Mark tanpa tewas di tempat.”

Yura mengepalkan tangannya, air mata jatuh di pipinya.

“Mark… bertahanlah. Aku akan datang padamu.”

Salju menutupi tanah, memantulkan cahaya bulan yang pucat. Suara helikopter dan derap sepatu prajurit mengisi udara dingin, tapi di balik hutan pinus yang pekat, tiga sosok bergerak perlahan—Yura, Davis, dan Yuda yang bersikeras ikut meski tahu risikonya. Nafas mereka membentuk uap tipis di udara, langkah mereka berhati-hati agar tidak memecahkan keheningan malam.

Yura menarik napas panjang, menatap gerbang baja raksasa markas pusat dari balik teropong kecil. Lampu sorot berputar perlahan, menyoroti pagar berduri setinggi tiga meter. Menara penjaga terlihat di setiap sudut, lengkap dengan senapan laras panjang.

“Mark benar-benar ada di dalam sana?” bisik Yura, suaranya nyaris tak terdengar.

Davis, yang berjalan di depan, hanya mengangguk. Wajahnya serius, tatapan matanya tidak lepas dari jalur patroli para penjaga. “Ya. Dia dikurung di ruang isolasi bawah tanah. Tak ada yang boleh mendekat kecuali petugas Dewan. Bahkan aku… bisa ditembak kalau ketahuan membawa kalian.”

Yuda menelan ludah, menatap Yura. “Kau yakin dengan ini? Kalau ketahuan, kita bisa hilang dari muka bumi. Bukan cuma Mark yang dihukum.”

Yura menggenggam mantel panjangnya erat, tatapannya tegas meski matanya berkaca-kaca. “Aku tidak peduli. Empat hari dia sendirian… setelah lima puluh cambukan. Aku harus melihatnya. Kalau dia mati… aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.”

Davis menoleh sekilas ke Yura. “Dia tidak akan mati. Mark bukan pria yang mudah dihancurkan. Tapi… kalau kau benar-benar mau masuk, kita harus tunggu pergantian penjaga jam tiga. Itu satu-satunya celah. Dan kita hanya punya waktu dua puluh menit.”

Malam semakin sunyi. Tepat pukul tiga, patroli di sisi barat markas berganti. Davis memberi isyarat dengan tangan, dan mereka bergerak cepat. Mereka menyelinap melalui parit bekas latihan tempur, lalu mendekati pagar berduri. Davis memotong salah satu bagian pagar dengan alat khusus yang hampir tak bersuara.

“Lewat sini. Cepat,” bisiknya.

Yura menunduk, merayap masuk lebih dulu, diikuti Yuda. Angin dingin menampar wajahnya, membuat matanya berair, tapi ia tidak berhenti. Dari kejauhan, suara langkah prajurit terdengar mendekat, membuat mereka bersembunyi di balik tumpukan peti amunisi.

Begitu aman, Davis memimpin mereka menuju bangunan beton di tengah markas—ruang isolasi bawah tanah.

Pintu baja dijaga dua prajurit bersenjata. Davis merogoh saku seragamnya dan menunjukkan tanda identitas khusus. “Pemeriksaan rutin medis,” katanya datar. Kedua penjaga itu menatapnya curiga, lalu melirik Yura dan Yuda yang menyamar dengan seragam dokter darurat. Setelah beberapa detik yang menegangkan, mereka mengangguk dan membuka pintu.

Lorong gelap menyambut mereka. Udara di dalam terasa lebih dingin daripada di luar, bau besi dan antiseptik menyengat. Cahaya redup lampu-lampu kecil menyinari koridor panjang dengan beberapa pintu berlapis baja di sisi kiri dan kanan.

“Dia di sel terakhir,” kata Davis pelan. “Hati-hati. Dia… tidak sama seperti biasanya. Setelah hukuman, dia menolak berbicara dengan siapa pun.”

Yura melangkah pelan, setiap detiknya membuat dadanya semakin sesak. Suara langkah kakinya bergema samar di lorong. Hingga ia tiba di pintu terakhir—pintu baja dengan jendela kecil.

Yura mendekat, menempelkan wajahnya ke kaca kecil itu. Di dalam, hanya ada cahaya redup dari lampu sudut ruangan. Dan di sana… Mark duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding dingin.

Kemeja militernya robek parah, punggungnya penuh perban kasar yang sudah berlumuran darah. Rambutnya berantakan, sebagian menutupi wajahnya yang pucat. Kedua matanya tertutup, nafasnya pelan tapi teratur.

Yura mengetuk pelan kaca itu. “Mark…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Mark membuka matanya perlahan. Tatapan hijau dinginnya, meski sayu, segera menemukan Yura di balik pintu. Untuk sesaat, tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya tatapan yang tajam namun letih.

Akhirnya, suara beratnya keluar, serak tapi tegas.

“Kenapa kau di sini?”

Yura menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku harus lihatmu. Mereka bilang kau… lima puluh cambukan… dan sendirian di sini. Aku tidak peduli risiko, aku datang untuk—”

“Buka pintunya,” Mark memotong kalimatnya, suaranya rendah namun penuh perintah. Davis yang berdiri di belakang langsung bergerak, menggunakan kartu akses khusus untuk membuka pintu baja.

Begitu pintu berderit terbuka, Yura berlari masuk. Tanpa ragu, ia berlutut di samping Mark, kedua tangannya gemetar saat menyentuh wajahnya. “Mark… astaga… lihat punggungmu… ini gila. Kenapa mereka—”

Mark menahan pergelangan tangannya, genggamannya lemah namun tetap dominan. “Jangan menangis. Aku masih hidup. Itu saja yang penting.”

Air mata Yura akhirnya jatuh, ia menggigit bibirnya agar tidak terisak keras. “Bagaimana bisa kau bicara seperti itu? Punggungmu… aku harus mengobatimu sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban, Yura membuka tas medisnya. Ia menarik perlahan sisa kemeja Mark dari tubuhnya. Saat kain itu terlepas, Yura menahan napas—punggung Mark penuh luka panjang, sebagian sudah mengering, sebagian masih berdarah. Luka cambuk itu seperti bekas sayatan pisau, membuat dadanya terasa sesak.

Mark menatapnya sekilas, melihat pipi Yura memerah, matanya berair. “Kau gemetar. Takut?”

Yura menggeleng cepat, suaranya bergetar. “Bukan… aku… marah. Pada Dewan. Pada siapa pun yang melakukan ini padamu. Mereka pikir kau binatang?”

Mark menarik napas pelan, matanya menutup sejenak saat Yura mulai membersihkan luka dengan kapas antiseptik. “Mereka… ingin membuatku tunduk. Tapi kau tahu… aku tidak akan pernah tunduk.”

Yura berhenti sejenak, menatap wajahnya. “Dan kalau kau mati sebelum mereka berhasil? Apa kau pikir aku bisa—”

Mark membuka matanya, menatap langsung ke dalam mata Yura. “Aku tidak akan mati. Bukan sebelum semua ini selesai. Dan bukan sebelum aku… memastikan kau tidak pernah meninggalkanku.”

Napas Yura tercekat. Untuk sesaat, dunia terasa sunyi, hanya suara hujan yang jatuh di luar markas. Ia menunduk, melanjutkan perawatannya dengan tangan yang bergetar.

Mark akhirnya bersuara lagi, suaranya rendah, lebih lembut.

“Yura… jangan menangis. Aku benci melihat air mata itu. Tapi kalau itu karena aku… aku akan pastikan mereka membayar.”

Yura menahan isakannya, mengusap luka terakhir dengan perban bersih. “Aku tidak peduli siapa yang harus kau hancurkan. Yang kupedulikan sekarang… hanya kau tetap hidup.”

Mark perlahan mengangkat tangannya yang berotot meski lemah, menyentuh pipi Yura, usapannya kasar namun lembut. “Kau gila… datang sejauh ini hanya untukku. Tapi aku… senang kau ada di sini.”

Yura menggenggam tangannya, merunduk hingga dahinya menyentuh bahunya. “Aku tidak bisa… empat hari tanpa kabar… aku hampir gila, Mark.”

Mark, meski kesakitan, menarik Yura ke dadanya dengan satu tangan, memeluknya erat. Suara beratnya berbisik di telinganya.

“Kalau begitu… jangan tinggalkan aku malam ini.”

Yura tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, air matanya jatuh di dada Mark

1
Anonymous
Lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!