NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SENTUHAN KAELITH

Nayara menarik selimut tipis yang sudah agak usang, menutupi tubuhnya yang masih lelah. Lampu kamar remang, cat dindingnya mengelupas di beberapa bagian, dan suara kendaraan dari jalan terdengar jelas melalui jendela kecil yang hanya ditutupi tirai lusuh.

Ia menghela napas panjang. Begitu berbeda dengan kamar luas di apartemen Kaelith, lengkap dengan ranjang empuk, balkon yang menghadap kota, dan aroma parfum mahal yang selalu menempel di udara. Namun, di tempat inilah kamarnya sendiri ia merasa lebih jujur pada dirinya, meski serba kekurangan.

Matanya menatap langit-langit yang kusam. “Apakah aku bisa terus bertahan dengan keadaan ini?” bisiknya lirih. Ada getir sekaligus rasa lega, karena malam ini ia tidak harus berhadapan dengan aturan Kaelith yang selalu mengekangnya.

Nayara bangkit perlahan dari ranjang sempit itu, tubuhnya masih terasa berat karena pikiran yang penuh sesak. Ia meraih tas lusuh di samping ranjang, tangannya bergetar saat mencari sesuatu di dalamnya.

Botol kecil berwarna bening akhirnya ia temukan. Suara gemericik pil di dalamnya terdengar jelas ketika ia menggoyangkannya sedikit. Obat penenang. Satu-satunya cara yang ia anggap bisa membuat dirinya sedikit tenang, setidaknya untuk malam ini.

Dengan gerakan pelan, Nayara menuangkan satu pil ke telapak tangannya. Ia menatap pil itu cukup lama, seolah sedang menimbang, namun akhirnya tetap memasukkannya ke mulut dan meneguk air dari botol plastik yang sudah setengah kosong.

Setelahnya, ia kembali duduk di ranjang, merapatkan selimut ke tubuhnya. Rasa kantuk mulai menyerang, tapi ada air mata yang lebih dulu jatuh membasahi pipinya.

“Jika saja aku bisa hidup normal… bukan terjebak dalam semua ini,” gumamnya lirih, sebelum pandangannya perlahan mengabur oleh efek obat yang mulai bekerja.

Rasa kantuk menyeret Nayara ke dalam tidur gelisah. Dalam mimpi, ia kembali menjadi anak kecil. Tubuh mungilnya meringkuk di sudut ruangan sempit, sementara suara ayahnya menggema keras dari depan pintu.

“Kau hanya anak dari seorang jalang! Sama sepertinya, tak berguna dan hanya membuat malu!” bentak ayahnya, dengan tatapan penuh kebencian.

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tamparan yang pernah ia terima. Nayara kecil mencoba menggapai sedikit kasih sayang, tapi setiap uluran tangannya selalu ditepis. Yang ia dapatkan hanya dingin, penolakan, dan cacian yang tak pernah berhenti.

Bayangan masa kecil itu berganti cepat saat ia menangis mencari perlindungan, tapi ibunya, Fredricka, hanya menatapnya dengan wajah getir tak ada pelukan hangat, hanya tatapan yang membuatnya semakin merasa asing di dalam rumahnya sendiri.

Suara ayahnya kembali menghantam, bercampur dengan gema suara Kaelith yang dingin, seolah menegaskan bahwa sejak dulu hingga kini, Nayara hanyalah milik laki-laki yang menguasainya, bukan seseorang yang benar-benar dicintai.

Tubuh Nayara dalam mimpi bergetar, lalu tersentak bangun. Nafasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipis. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar kumuhnya.

“Aku... hanya anak dari seorang jalang...” bisiknya lirih, matanya basah oleh air mata yang tak mampu ia bendung.

Pagi datang terlalu cepat bagi Nayara. Ia terbangun dengan kepala berat dan mata sembab. Cahaya matahari yang menembus celah jendela kamarnya membuat rasa lelah itu makin terasa menusuk. Dengan enggan ia duduk, meraih ponsel di meja kecilnya.

Layar ponselnya penuh dengan notifikasi pesan dari Kaelith yang semalam tak ia balas. Dan tepat ketika ia hendak menutupnya, ponselnya bergetar. Nama itu muncul di layar, Kaelith Vemund.

Dengan jantung berdebar, Nayara mengangkat panggilan. Suara pria itu terdengar dingin dan penuh kontrol, seperti biasa.

“Kenapa semalam kau tidak pulang ke apartemen?” suara Kaelith terdengar tegas, tak memberi ruang untuk alasan yang panjang.

“Aku...” Nayara menunduk, menggenggam ujung selimutnya erat-erat. “Aku hanya ingin menghabiskan malam di rumah... sekadar menenangkan diri.”

Hening sejenak di seberang sana, sebelum suara Kaelith kembali terdengar lebih rendah, namun tetap mendominasi.

“Kau tahu aku tidak suka jika kau membuat keputusan tanpa sepengetahuanku, Nayara. Jangan ulangi itu lagi.”

Nayara memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. “Baik...” jawabnya lirih, hampir tak terdengar.

“Bersiaplah. Aku akan menjemputmu sore,” lanjut Kaelith sebelum sambungan terputus begitu saja.

Nayara menatap layar ponselnya yang gelap. Hatinya semakin sesak terhimpit antara mimpi buruk masa kecilnya dan kenyataan yang kini mengikatnya pada Kaelith.

Nayara menghela napas panjang saat melangkah ke dapur sempit itu. Bau tak sedap langsung menyeruak dari piring-piring kotor yang menumpuk di wastafel, bahkan beberapa sudah berulat karena terlalu lama dibiarkan. Ia bergidik, namun tetap menggulung lengan bajunya dan mulai mencuci.

Air mengalir deras, busa sabun menutupi tangannya. Setiap piring yang ia bersihkan terasa seperti menambah beban di dadanya bukan hanya noda minyak, tapi juga noda kehidupan yang ditinggalkan ibunya.

Setelah itu, Nayara membawa dua keranjang penuh berisi cucian kotor ke sudut rumah. Pakaian-pakaian Fredricka menumpuk tanpa henti, seakan tidak pernah disentuh sejak lama. Padahal, Nayara sudah membelikan mesin cuci modern untuk meringankan pekerjaan, tetapi semua tetap sia-sia. Fredricka selalu sibuk dengan egonya sendiri, bahkan sebelum ia jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit sekarang.

Dengan sabar, Nayara mulai memisahkan pakaian, memasukkan satu per satu ke dalam mesin cuci. Keringat bercucuran, rambut panjangnya menempel di pipi. Rumah yang sempit dan kumuh itu sunyi, hanya suara mesin cuci berputar yang terdengar.

“Selalu begini…” gumam Nayara pelan, entah ditujukan pada dirinya sendiri atau pada keadaan yang menjeratnya.

Rumah itu kini berbau sabun dan deterjen, sedikit lebih baik dari sebelumnya. Namun, hati Nayara tetap penuh sesak. Tak peduli seberapa keras ia berusaha merapikan kekacauan, kehidupan yang ditinggalkan ibunya selalu terasa berantakan.

Nayara baru saja selesai menjemur cucian ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu rumah kecilnya. Ia mengernyit, tak menyangka ada tamu pagi-pagi begini. Dengan cepat ia berjalan ke ruang depan, lalu membuka pintu.

Tubuhnya langsung menegang.

Di hadapannya berdiri sosok pria jangkung dengan setelan kasual namun tetap terlihat rapi Kaelith.

“Kaelith…” suara Nayara tercekat, matanya melebar tak percaya.

Pria itu menyandarkan bahunya pada kusen pintu, menatap seisi rumah dengan pandangan tajam penuh penilaian.

Nayara terdiam membeku, pandangannya tidak lepas dari sosok Kaelith yang kini berdiri di ruang tamu rumah kecilnya. Hatinya berdegup kencang, bukan hanya karena terkejut, tapi juga karena kebingungan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Tunggu… bukankah kau bilang akan menjemputku sore nanti?” ucap Nayara dengan suara bergetar. “Baru saja kau menghubungiku lewat telepon, Kaelith. Bagaimana bisa… sekarang kau ada di sini?”

Kaelith menutup pintu pelan, gerakannya tenang namun sorot matanya tajam menusuk. Ia melangkah masuk lebih dalam, menyapu ruangan sederhana itu dengan pandangan yang sulit ditebak.

“Aku berubah pikiran,” jawabnya singkat. Nada suaranya rendah tapi sarat tekanan. “Aku tidak suka ketika kau berlama-lama di tempat seperti ini, sendirian. Jadi aku datang lebih cepat.”

Nayara menggenggam ujung pakaiannya erat-erat, mencoba menata perasaannya yang campur aduk. “Tapi… kenapa kau tidak bilang dulu? Aku benar-benar tidak mengerti, Kaelith. Kau bilang sore, lalu tiba-tiba…”

Pria itu menghampirinya perlahan, jarak mereka semakin dekat hingga Nayara bisa merasakan hawa tubuhnya. Jari Kaelith terulur, mengangkat dagu Nayara dengan lembut tapi tegas.

“Yang perlu kau mengerti hanya satu,” ucapnya dingin, menatap dalam ke mata gadis itu. “Aku selalu tahu di mana kau berada. Dan aku akan selalu datang, kapan pun aku mau.”

Kaelith menunduk dan tanpa memberi ruang bagi Nayara untuk mengelak, bibirnya langsung melumat bibir gadis itu dengan rakus. Ciuman yang menuntut, penuh hasrat, seakan ingin menegaskan bahwa Nayara adalah miliknya sepenuhnya.

Nayara terhuyung, kedua tangannya refleks menahan dada Kaelith, tapi tubuhnya ditarik lebih dekat. Desah kecil lolos dari bibirnya yang terperangkap, sementara Kaelith semakin dalam menuntut rasa manis yang selalu membuatnya candu.

“Aku menginginkanmu, baby…” bisik Kaelith di sela ciuman, suaranya berat penuh gairah. Tatapannya menancap kuat ke dalam mata Nayara, membuat gadis itu tak berdaya.

Jantung Nayara berdetak kencang, wajahnya memerah. Ada getaran halus yang ia rasakan, campuran antara takut, ragu, dan perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Kaelith mendorong tubuh Nayara ke dinding sempit rumah itu, tidak peduli pada tempat dan waktu. Tatapannya tajam, penuh tuntutan, sementara tangannya bergerak di area yang membuat Nayara terperangkap antara rasa takut dan pasrah.

“Tidak… jangan di sini, Kaelith…” suara Nayara bergetar, mencoba menolak meski tubuhnya sendiri sudah tak kuasa melawan kekuatan pria itu.

Namun Kaelith sama sekali tidak peduli. Bibirnya kembali menekan bibir Nayara, menelan penolakannya, lalu dengan suara berat ia berbisik penuh perintah, “Panggil aku daddy… kau paham?”

Tangan besarnya semakin berani menjelajah, membuat Nayara hanya bisa memejamkan mata. Napasnya terengah, dadanya berdebar, sementara pikirannya berperang antara ingin melawan atau menerima kenyataan bahwa Kaelith tidak akan pernah memberi ruang untuk pilihan lain.

Kaelith menahan kedua pergelangan tangan Nayara di atas kepalanya, menatap lurus ke mata gadis itu dengan sorot penuh kuasa. Napasnya berat, tubuhnya menempel erat, tidak memberi celah sedikit pun.

“Tidak perlu ditahan, baby… biarkan keluar. Daddy-mu ini ingin mendengar setiap desahmu,” ucapnya rendah, nyaris seperti perintah.

Nayara menggigit bibir, berusaha menahan, tapi semakin Kaelith mendekap dan mempermainkan titik lemahnya, tubuhnya bergetar hebat. Dada Nayara naik turun cepat, ia tahu ia tak lagi mampu menolak. Suara kecil itu akhirnya lolos juga dari bibirnya, membuat senyum puas terukir di wajah Kaelith.

“Good girl…” bisik pria itu, meresapi kemenangan kecilnya, sekaligus menjerat Nayara lebih dalam kuasanya.

Nafas Nayara makin memburu, tubuhnya kian melemas di bawah tekanan Kaelith. Setiap sentuhan pria itu seolah merampas kendali dirinya. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya justru menjerit minta lebih.

Kaelith menunduk, menggigit pelan cuping telinganya hingga Nayara menegang lalu merintih, “Ahh… daddy…” suaranya pecah, lirih namun jelas.

“Ya, panggil aku begitu terus,” ucap Kaelith dengan nada rendah penuh perintah, jemarinya bergerak lebih jauh, menelusuri area yang membuat Nayara terperangkap antara rasa malu, candu, dan pasrah.

Tubuh Nayara bergetar hebat, jemarinya mencengkeram kuat bahu Kaelith, mencoba bertahan dari gelombang sensasi yang ditimbulkan. Tapi semakin ia mencoba menahan, semakin kuat desahan itu keluar dari bibirnya.

“D-daddy… jangan… ahhh…” suara Nayara pecah, tapi justru itulah yang membuat Kaelith semakin puas.

“Good girl… suaramu candu untukku, baby. Semakin kau memanggilku, semakin kau menjadi milikku seutuhnya,” desis Kaelith di telinganya, sebelum kembali melumat bibir Nayara dengan rakus.

Kaelith mendorong tubuh Nayara perlahan hingga punggungnya menempel pada dinding dingin kamar itu. Kontras sekali, dinginnya tembok beradu dengan panas tubuh mereka. Bibirnya kembali merebut bibir Nayara, kali ini lebih rakus, lebih dalam, seolah ingin menandai bahwa gadis itu hanya miliknya.

Desahan Nayara pecah, terputus-putus di sela ciuman, “D-daddy… ahh…”

Tangannya mencoba mendorong dada Kaelith, tapi tenaga itu menguap menjadi genggaman erat, seolah tubuhnya sendiri tidak ingin pria itu menjauh.

Kaelith tersenyum tipis, penuh kemenangan. Jemarinya melayang ke area sensitif Nayara, memainkan ritme yang membuat tubuh gadis itu melengkung tak terkendali.

“Jangan tahan, baby. Beri aku semua suaramu,” ucapnya sambil menekan lebih dalam.

Tubuh Nayara bergetar hebat, kedua lututnya hampir tak mampu menopang. Kaelith segera menahan pinggangnya, mendekatkan tubuh mereka makin erat.

“Daddy… aku ahhh…” suara Nayara meninggi, penuh lirih candu yang tak sanggup ia sembunyikan lagi.

Kaelith menunduk ke lehernya, meninggalkan jejak basah di kulit putih Nayara. “Kau milikku, hanya milikku. Tak ada satu pun yang boleh mendengar desahan ini selain aku.”

Nayara mengangguk pasrah, kepalanya jatuh di bahu Kaelith, tubuhnya luluh dalam gelombang intens yang terus menghantam. Ia sudah benar-benar terperangkap, baik oleh fisik maupun perasaannya sendiri.

Kaelith mengangkat tubuh Nayara dengan mudah, mendudukkannya di atas meja kayu kecil di sudut ruangan. Jemarinya menahan pinggang gadis itu erat, sementara bibirnya kembali melumat bibir Nayara tanpa memberi kesempatan bernapas.

Nayara terengah, suaranya pecah jadi desahan panjang, “D-daddy… tolong… ahhh..”

Kakinya melingkar erat di pinggang pria itu, tubuhnya bergetar hebat menahan sensasi yang semakin mendominasi dirinya.

Kaelith tersenyum penuh kuasa, matanya menatap liar namun penuh gairah. “Begitu, baby… jangan berhenti memanggilku. Daddy suka mendengar suaramu pecah begitu.”

Gerakannya makin intens, menuntut Nayara mengikuti ritme yang ia ciptakan. Tangan Kaelith menyusuri setiap lekuk tubuh gadis itu, membuat Nayara tak berdaya selain menggenggam kuat bahunya, kukunya menancap di kulit pria itu.

“Ahhh… Daddy… aku… aku...” desahan Nayara meninggi, tubuhnya melengkung, napasnya tersengal, hingga puncak sensasi itu menerjang seluruh dirinya.

Kaelith menahan tubuh Nayara yang hampir ambruk, bibirnya menempel di telinga gadis itu, berbisik lirih penuh kepemilikan, “Ingat ini, Nayara… kau hanya milik Daddy. Tak ada satu pun yang bisa menyentuhmu selain aku.”

Tubuh Nayara masih bergetar, basah oleh keringat dan sisa desah yang belum reda. Ia hanya bisa mengangguk, pasrah, lelah, namun di dalam matanya jelas terpancar candu yang tak bisa ia dustakan.

Kaelith berjalan masuk ke toilet kecil itu, membuka keran dan membasuh wajah serta tangannya, mencoba menurunkan sisa ketegangan yang masih menempel di tubuhnya. Pantulan dirinya di cermin sempit membuatnya menghela napas, rahangnya masih mengeras, namun sorot matanya jelas memancarkan kepuasan.

Sementara itu, Nayara masih terbaring di atas meja. Nafasnya belum sepenuhnya stabil, rambut panjangnya berantakan menutupi sebagian wajah. Tubuhnya masih gemetar kecil, bekas genggaman Kaelith masih terasa jelas di pinggang dan lengannya.

Tatapannya kosong menembus langit-langit kamar yang rendah, pikirannya campur aduk antara letih, malu, dan candu yang baru saja menelan dirinya bulat-bulat. Namun, di balik itu semua, ada satu perasaan yang tak bisa ia sembunyikan ia takut sekaligus membutuhkan pria itu.

Suara pintu toilet berderit saat Kaelith keluar. Ia berjalan kembali dengan tenang, seakan apa yang terjadi barusan hanyalah sesuatu yang wajar baginya. Pandangannya jatuh pada Nayara yang masih tak bergerak.

“Bangun, baby,” ucapnya datar tapi penuh kuasa. “Jangan terbaring seperti itu, kau membuatku ingin mengulanginya lagi sekarang juga.”

Nayara menelan ludah, tubuhnya berusaha bangkit, meski lelah masih membebani setiap gerakannya.

“Ambil barangmu, kita pulang,” ucap Kaelith tegas tanpa memberi ruang untuk bantahan.

Dengan langkah tertatih, Nayara bangkit dari meja, meraih tas kecilnya dan cardigan yang tersampir di gantungan. Gerakannya pelan, seolah tubuhnya masih enggan menuruti perintah.

Sementara itu, Kaelith sudah lebih dulu keluar. Ia duduk santai di balik kemudi mobil hitamnya, kacamata kembali bertengger di wajah. Pandangannya tak lepas dari pintu rumah Nayara.

Gadis itu akhirnya muncul, menunduk sedikit saat memastikan pintu terkunci rapat, sebelum berbalik dan berjalan menuju mobil. Kaelith menatap setiap gerakannya dengan tatapan penuh penguasaan, seakan mengingatkan bahwa Nayara tak punya pilihan lain selain mengikutinya.

Nayara duduk di kursi penumpang, wajahnya masih menyisakan rona hangat dari pertemuan mereka barusan. Nafasnya belum sepenuhnya teratur, tubuhnya masih lelah.

Kaelith membuka laci dasbor, mengambil sesuatu yang membuat Nayara langsung menoleh dengan raut bingung.

“Buka,” ucapnya dingin, matanya lurus menatap gadis itu.

“Kaelith… aku lelah,” suara Nayara lirih, penuh ragu.

Senyum tipis terbit di wajah Kaelith, namun bukan senyum yang memberi ketenangan lebih menyerupai sebuah peringatan. Ia mendekat, memastikan Nayara menurutinya.

“Ini hukumanmu. Nikmati saja sampai kita tiba di apartemen,” ucapnya, nada suaranya tenang namun penuh tekanan, sebelum ia kembali ke posisi kemudi.

Mobil pun melaju meninggalkan pemukiman kumuh, membawa mereka kembali ke dunia Kaelith dunia di mana hanya dia yang menentukan segalanya.

Sepanjang perjalanan, Nayara duduk gelisah di kursi penumpang. Tubuhnya sedikit kaku, tangannya mencengkeram rok yang menutupi pahanya erat-erat. Sesekali ia menoleh ke arah Kaelith, berharap pria itu menghentikan permainannya, namun yang ia dapat hanya tatapan tenang sekaligus menusuk dari balik kacamata hitamnya.

“Jangan berani-berani menahannya,” suara Kaelith terdengar tenang, namun sarat ancaman. “Aku ingin melihat wajahmu menahan diri.”

“D-Daddy…” lirih Nayara, wajahnya semakin panas. Suaranya gemetar, campuran antara malu, lelah, dan pasrah.

Kaelith tersenyum tipis mendengarnya. “Bagus, baby. Tetap panggil aku seperti itu.”

Nayara menunduk, bibirnya digigit dalam-dalam. Mobil melaju menembus jalanan kota, setiap detik terasa panjang dan menyiksa baginya. Rasa lelah semakin bercampur dengan perasaan malu, apalagi saat Kaelith beberapa kali meliriknya dengan senyum samar seakan menikmati penderitaannya.

“Lihat ke arahku, Nayara.”

Dengan ragu, gadis itu mengangkat wajah. Pipinya sudah memerah, matanya berair karena berusaha menahan diri.

“Daddy…” ucapnya lagi lirih, seolah ingin memohon belas kasihan.

“Bagus.” Kaelith mendekatkan wajahnya sedikit, meski tetap fokus menyetir. “Ingat satu hal kau milikku. Dan aku selalu bisa membuatmu tunduk, bahkan tanpa menyentuhmu sekalipun.”

Hening kembali mengisi mobil. Hanya suara mesin dan napas Nayara yang terdengar lebih berat dari biasanya. Kaelith terlihat puas, tangannya santai memegang setir, seolah semua ini hanyalah permainan kecil yang sudah ia menangkan sejak awal.

Tak lama kemudian, gedung apartemen mereka mulai terlihat. Senyum tipis muncul di sudut bibir Kaelith.

Mobil perlahan memasuki area parkiran bawah tanah apartemen. Cahaya lampu redup memantul di kaca, menambah suasana hening yang menekan. Kaelith sempat melirik ke samping, matanya menangkap tubuh Nayara yang sudah terkulai di kursi penumpang. Wajah gadis itu merah, napasnya tersengal, jelas sekali ia sudah kewalahan menahan sensasi yang terus-menerus menyerang sepanjang perjalanan.

Senyum tipis tersungging di bibir Kaelith. Ia terkekeh pelan, penuh kepuasan, seperti seorang pemenang yang tahu dirinya menguasai segalanya.

“Lemas begitu saja, baby?” ucapnya rendah, nada suaranya mengandung ejekan halus sekaligus kemenangan.

Nayara tak mampu menatapnya, hanya menggigit bibir, tubuhnya bergetar kecil.

Kaelith mendekat sedikit, mengusap lembut dagu Nayara lalu menahannya agar menoleh. “Daddy selalu menang, ingat itu.”

Kaelith keluar lebih dulu dari mobil, langkahnya tenang seperti tak ada yang terjadi. Ia kemudian berjalan memutar dan membuka pintu penumpang untuk Nayara.

Tatapannya jatuh pada kursi yang basah, membuat senyum miring terukir di wajahnya. “Kau sampai mengompol sebanyak ini, baby… sungguh memalukan,” ucapnya dengan nada mengejek, namun penuh kepuasan.

Nayara hanya bisa menunduk, wajahnya memerah karena malu sekaligus lelah.

Tanpa memberi kesempatan gadis itu untuk berdebat, Kaelith membungkuk lalu mengangkat tubuh Nayara dengan mudah dalam gendongan bridal style. “Kau butuh mandi dan kemudian tidur. Daddy yang akan memastikan itu,” ujarnya dingin namun tegas, membawa Nayara melangkah masuk ke lift menuju unit apartemen mereka.

Pintu unit apartemen terbuka, Kaelith masuk sambil menggendong Nayara yang sudah hampir terlelap di pelukannya. Dengan lembut namun penuh kendali, ia meletakkan gadis itu di atas ranjang.

“Jangan tidur dulu, baby,” bisiknya seraya menyingkirkan helaian rambut yang menempel di wajah Nayara. “Kau masih harus mandi.”

Nayara menggeleng pelan, matanya setengah tertutup. “Aku lelah, Daddy…” suaranya lirih, seperti memohon.

Kaelith menghela napas, lalu menunduk. Dengan hati-hati, ia meraih ujung rok Nayara, mengangkat sedikit, kemudian mengeluarkan benda kecil yang tadi ia masukkan ke dalam tubuh gadis itu. Senyum tipis terlukis di bibirnya ketika melihat bagaimana Nayara bergetar begitu benda itu lepas.

“Sudah cukup untuk hari ini,” ucapnya pelan, lalu menepuk lembut pipi Nayara yang memerah.

Tanpa banyak bicara lagi, ia mengangkat kembali tubuh Nayara menuju kamar mandi. Air hangat segera memenuhi bathtub kecil. Dengan sabar, ia menanggalkan cardigan dan pakaian Nayara satu per satu, meninggalkan tubuh mungil itu yang tampak rapuh di bawah cahaya lampu.

“Lihat betapa manisnya kau, bahkan ketika tak berdaya begini,” bisik Kaelith, menuntun Nayara masuk ke dalam air hangat. Ia sendiri hanya menekuk lengan kemejanya hingga siku, lalu mulai membantu membasuh tubuh Nayara dengan handuk lembut.

Gadis itu hanya bisa menyandarkan kepala pada dada Kaelith, sesekali mendesah pelan karena kelelahan bercampur dengan rasa nyaman dari sentuhan hangat air dan tangan pria itu.

Setelah memastikan tubuh Nayara bersih, Kaelith mengangkatnya kembali, membalut tubuh mungil itu dengan handuk tebal, lalu menidurkannya di ranjang. Ia menunduk, mengecup kening Nayara.

“Tidurlah, baby. Daddy ada di sini.”

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!