Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Senjata Gendis
Setelah perkenalan singkat dengan Tama, mereka dijadwalkan menginap di sebuah ryokan—penginapan tradisional Jepang—selama tiga malam, sebagai bagian dari riset.
Hari pertama, mereka mengunjungi Gion, distrik tua yang masih memelihara rumah-rumah kayu tradisional dan jalan berbatu. Ivy terlihat sangat tertarik. Sesekali dia memotret setiap detail ruangan menggunakan ponsel.
“Rumah-rumah ini ... bentuk atapnya... sistem ventilasinya ... semuanya dibuat dengan pemikiran yang matang," ucap Ivy sambil tersenyum tipis.
Noah tersenyum memperhatikan istrinya yang begitu fokus. Bahkan Hiro sampai memuji. Gendis yang berjalan di belakang mereka hanya mendengus kesal.
“Ivy-san, Anda memiliki mata yang tajam. Sepertinya Anda benar-benar cocok memimpin proyek ini.”
"Ah, saya bukan ahlinya, Pak Yamamoto. Saya hanya suka mengamati desain interior sebuah bangunan. Di sini saya tidak ikut andil dalam proyek. Saya hanyalah istri sekaligus asisten pribadi dari suami saya." Ivy menoleh ke arah Noah sambil tersenyum lebar.
"Terlepas dari peran Anda, sejujurnya selera Anda tentang rumah sangat bagus! Sepertinya Anda memikiki selera yang baik. Pak Noah, kenapa tidak menyekolahkan istri Anda untuk mendalami ilmu tentang desain interior bangunan? Saya rasa hal ini akan mempermudah pekerjaan Anda ke depannya." Hiro mencoba memberikan saran kepada Noah karena menyadari potensi dan bakat Ivy.
"Terima kasih sarannya Pak Yamamoto. Saya akan mempertimbangkan semua setelah resepsi pernikahan kami digelar." Noah memeluk pinggang Ivy sambil tersenyum lembut.
***
Malam harinya, saat semua kembali ke ryokan, Noah dan Ivy duduk berdua di taman belakang, menikmati suasana. Gendis berdiri di balik pintu geser, mengintip mereka dari dalam.
Mereka terlihat begitu cocok. Terlalu cocok. Seakan-akan mereka bukan pasangan kontrak seperti yang tertulis dalam dokumen itu.
“Apa semuanya hanya sandiwara?” gumam Gendis, matanya meredup. “Atau ... mereka benar-benar jatuh cinta?”
Gendis merasa hatinya teriris melihat cahaya cinta yang terpancar dari mata keduanya. Rasa iri dan hampir menyerah membuatnya sedikit goyah. Akan tetapi, temuan perjanjian kontrak pernikahan keduanya membuat Gendis kembali bersemangat.
Perempuan tersebut menyipitkan mata sambil tersenyum lebar. "Jika aku tidak bisa memiliki Noah, maka akan kuhancurkan keduanya sekaligus!"
Hari kedua, rombongan diajak ke pedesaan di Arashiyama, untuk melihat rumah-rumah kominka—rumah rakyat tua yang telah direnovasi sebagai tempat tinggal modern. Salah satu rumah itu sangat indah dengan beratap jerami, dan memiliki halaman berisi kolam ikan dan taman kecil.
Ivy tidak berhenti mengambil foto dan mencatat detail. Saat makan siang di halaman rumah tersebut, Mereka kembali berbincang. Hiro yang tertarik dengan potensi Ivy pun mengajukan sebuah pertanyaan sederhana.
“Kalau kamu yang mendesain ulang rumah ini, kamu akan mempertahankan bagian mana?” tanya Hiro.
Ivy menjawab mantap, “Saya akan mempertahankan langit-langit kayu terbuka, dan fusuma yang bisa digeser. Lalu menambahkan pencahayaan alami dari skylight, tanpa mengubah fasad depan rumah.”
Hiro mengangguk puas. Gendis hanya bisa mengepalkan tangan di pangkuannya. Bahkan Hiro lebih terkesan pada Ivy daripada dirinya. Malamnya, Ivy dan Noah membahas rencana resepsi pernikahan.
“Setelah proyek ini selesai, kita bisa kembali fokus mengurusi resepsi pernikahan. Kita undang media lokal!” ujar Noah antusias.
Ivy mengangguk. Dia tampak tidak keberatan. Namun, Ivy sempat berkata lirih pada Noah.
“No, kamu yakin ingin mengundang media ke acara resepsi pernikahan kita? Apa hal ini tidak terlalu berlebihan? Aku rasa pesta mewah ekslusif dengan tamu undangan khusus dan terbatas akan lebih berkesan untuk pernikahan kita.”
Noah memandangnya dalam. “Karena aku ingin semua orang tahu bahwa kamu istriku. Aku ingin dunia tahu kalau kamu adalah pilihan terbaik untukku, meski mama tak pernah merestui. Aku ingin meyakinkan dunia bahwa latar belakang seseorang bukanlah hal yang penting untuk menjadikannya pasangan. Mungkin saja pasangan kita memiliki masa lalu kelam, tapi kita menikah untuk membangun masa depan bersama. Bukan karena ini menengok kembali pada masa lalu yang sudah terlewati.”
Ivy menunduk. Entah mengapa, kata-kata itu menyentuhnya lebih dari yang dia akui. Noah menggenggam erat jemari sang istri. Ivy menyandarkan kepala pada dada Noah dan mendapatkan kecupan lembut pada dahinya.
***
Hari ketiga, mereka kembali ke pusat kota Kyoto. Rencana pembangunan rumah percontohan mulai dibahas serius di kantor mitra Hiro. Gendis mencoba ikut menyela dalam diskusi. Akan tetapi, Hiro lebih sering menanggapi Ivy dan Tama.
Hiro merasa Gendis telah melanggar batasan dan tugasnya sebagai seorang sekretaris. Noah sudah mengingatkan Gendis berulang kali, tetapi perempuan tersebut mengabaikannya. Akhirnya dia diminta untuk keluar dari ruang rapat, Ivy menggantikannya mencatat notulen rapat.
Sore harinya, mereka kembali ke ryokan untuk bersiap pulang esok pagi. Ivy yang sudah selesai mandi keluar dari kamar, mengenakan yukata putih sederhana, dan duduk di beranda sambil minum teh. Angin musim gugur berembus pelan, tenang dan damai.
Namun semua ketenangan itu pecah saat suara langkah tergesa terdengar di belakangnya. Gendis muncul, wajahnya penuh amarah.
“Kamu menikmati semua ini, ya?” kata Gendis tajam.
Ivy menoleh malas. “Kalau kamu ingin bertengkar, simpan tenagamu. Aku capek.”
Ivy meletakkan cangkir teh dengan elegan, kemudian melirik Gendis yang terus menatapnya penuh kebencian. Gendis mendekat dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya—dokumen kontrak pernikahan.
“Aku tahu segalanya. Kamu pikir pernikahan ini nyata? Aku punya bukti kalau semua ini hanya kesepakatan. Aku akan membuka ini di acara resepsi kalian nanti!”
Ivy menatap Gendis. Dia terlihat tidak panik sama sekali. Ivy justru terlihat tenang sambil tersenyum tipis.
“Kamu pikir aku tidak tahu kamu akan menemukan itu?”
Gendis terdiam. Ivy berdiri dan mendekat. Perempuan tersebut mencondongkan tubuh ke depan dan mulai berbisik.
“Kamu lupa satu hal, Ndis. Meski pernikahan ini bermula dari kontrak, tetapi perasaan itu tidak bisa dikontrak. Kamu pikir kamu menang karena memegang selembar kertas? Kalau kamu benar-benar ingin menghancurkan kami, kamu sudah kalah sejak awal. Karena aku tidak takut kehilangan sesuatu yang aku perjuangkan.”
Gendis membeku. Ivy menatapnya tajam, lalu berbalik masuk ke kamar, meninggalkan Gendis dengan tangannya gemetar memegang dokumen itu.
Namun saat Ivy menutup pintu, dia bersandar lemas di baliknya. Dadanya sesak. Jelas sekali bahwa ancaman Gendis telah mengguncangnya lebih dalam dari yang dia perlihatkan.
Malam semakin larut. Di sebuah sudut ryokan yang sepi, Gendis menelepon seseorang. Dia terdengar bicara begitu pelan dan hati-hati.
“Ya, aku akan kirim dokumennya padamu. Kita akan main besar. Kalau perlu, kita hancurkan reputasi mereka lewat media. Siap-siap, saat resepsi nanti, kita buat semuanya meledak.”
Sementara itu, Noah yang baru keluar dari ruang makan tanpa sengaja mendengar percakapan itu dari balik sudut dinding. Wajahnya menegang.