NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:759
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Semakin Terasa Nyata

Sudah seminggu sejak malam itu—malam saat Nick mengantarku pulang dan mengatakan bahwa ia senang aku bergabung dalam klub, karena kami akan lebih sering bertemu. Perkataan dan senyumannya malam itu terus membekas di ingatanku. Seperti sebuah rekaman yang sengaja diputat berulang-ulang. Anehnya, semakin aku mencoba untuk tidak memikirkannya, justru semakin sering wajahnya muncul dibenakku—saat berada di kamar, saat berjalan ke kelas, saat mencoba untuk fokus membaca. Bahkan saat aku mencuci mukaku pagi ini, bayangannya sempat menyelinap dalam pantulan kaca. Sepertinya, aku tidak bisa menghindar dari satu fakta sederhana—aku merindukannya.

Entahlah, bisa jadi yang kurasakan ini adalah cinta. Aku belum benar-benar bisa memastikannya. Tapi, yang jelas ada sesuatu yang hangat dan menenangkan setiap kali aku mengingat Nick.

Memasuki bulan semptember ini, Gainesville mulai terasa lebih teduh dibandingkan pekan-pekan sebelumnya. Cahaya matahari tak lagi terlalu menyengat, namun wajah langit masih cukup cerah untuk beraktivitas di luar ruangan.

Hari ini klub sosial kami akan mulai menjalankan program Green Campus. Kami akan membuat produk ramah lingkungan—tas kain, sabun organik, dan botol minum daur ulang—untuk dibagikan kepada para mahasiswa sebagai bagian dari kampanye kesadaran lingkungan. Semua anggota klub diwajibkan berkumpul di aula kegiatan sejak pukul delapan pagi.

Kali ini aku datang bersama Nina. Dia tidak ikut dalam proyek ini—hanya membantu secara sukarela untuk mendokumentasikan kegiatan kami.

Begitu tiba di aula, Nina langsung melakukan aksi memotretnya dari satu sudut ke sudut lainnya. Sementara aku langsung menghampiri Nick di ujung sana—mengenakan kaos berwarna hijau yang bertuliskan 'Green is the New Cool'. Rambutnya tampak sedikit berantakan seperti terburu-buru datang, tapi tetap terlihat menawan. Entah kenapa aku langsung merasa gugup saat pandangan kami bertemu.

"Hai, Nora!", sapanya hangat, sambil tersenyum lebar.

"Hai!", balasku cepat, langsung mengalihkan pandanganku dari sosok Nick ke beberapa bahan dan perlengkapan yang sudah disiapkan di atas meja panjang—tidak ingin pipiku yang mungkin sudah memerah ini tertangkap basah oleh Nick.

Kami terbagi menjadi beberapa kelompok untuk membuat produk ramah lingkungan yang berbeda-beda. Dan, kali ini Nick memintaku untuk bergabung dengannya—membantunya menyiapkan cat untuk melukis tas kain. Nick menuang cat hijau tua ke wadah besar, dan aku mengaduknya.

Saat aku sedang memindahkan cat tersebut ke dalam cetakan, tanpa sengaja wajahku terkena cipratan cat.

"Aw!", seruku. Refleks berkedip.

Nick menoleh cepat, lalu bertanya. "Apa semuanya baik-baik saja, Nora?"

"Ya. Wajahku hanya terkena cipratan cat.", jawabku, sambil berusaha mengusap noda cipratan cat di pipiku.

Nick menatapku lagi, lalu tertawa. Kamudian ia melangkahkan kakinya, menghampiriku. "Kamu mengusap di tempat yang salah. Biar aku bantu!", katanya.

Nick mengangkat tangannya, dan dengan lembut mengusap cat yang menempel pada wajahku. Tangannya menyentuh pipiku—hangat, lembut, nyaman dan... terlalu lama. Degup jantungku pun seperti berubah irama. Aku bisa mencium samar aroma harum dari kulit tangannya, juga keringatnya. Dan aku tahu wajahku pasti sudah berubah merah.

Kami saling menatap dalam diam. Matanya seakan menyelam begitu dalam. Pada detik berikutnya, aku langsung memalingkan wajah, berharap jantungku tidak benar-benar meledak.

"Ehm, trims, Nick.", kataku.

Nick tidak membalas ucapan terimakasihku. Hanya menganggukkan kepala dan tersenyum hangat.

"Ayo kita lanjutkan!", ajaknya, lalu kami pun melanjutkan kegiatan kami untuk melukis tas kain dengan cat yang sudah disediakan.

Setelah sesi produksi selesai, kami semua bergegas membawa produk ramah lingkungan buatan tangan kami menuju area di tengah kampus yang sudah disiapkan pagi-pagi tadi—segera membagikannya kepada para mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar sana, sambil menjelaskan sedikit tentang kampanye kami.

Berdiri di bawah matahari siang ini selama lebih dari satu jam—meskipun tidak terlalu terik, tapi cukup membuatku berkeringat dan merasakan dahaga. Aku melirik ke arah Nick yang masih tampak bersemangat dengan kegiatan kami hari ini. Ia tampak sedang menjelaskan tentang kampanye kami, di tengah kerumuman para mahasiswi, yang aku yakin pasti alasan mereka berada disana bukanlah kesadaran mereka akan lingkungan, melainkan sosok Nick yang memang mempesona.

Aku pun memutuskan untuk beristirahat sebentar—melangkahkan kaki menuju stan yang berada tidak jauh di belakang kami untuk meneguk segelas minuman dingin yang sudah disediakan secara gratis.

Tepat di atas meja di samping stan, ada sebuah wadah dispenser besar berisi air dingin untuk minum, dengan tumpukan gelas kertas di sebelahnya. Aku mengambil satu gelas dari tumpukan tersebut, lalu mengisinya penuh dengan air dingin yang cukup untuk menghempaskan dahaga yang kurasakan.

Saat aku hendak membuang gelas kertas bekas minumku ke dalam tong sampah di samping meja, tiba-tiba sebuah tangan menghentikanku. Ia merebut gelas kertas tersebut dari tanganku, lalu mengisinya penuh dengan air dingin dan meneguknya habis.

"Nick!", seruku.

"Aku kehausan.", katanya, setelah menghabiskan gelas pertama, dan sedang mengisinya penuh kembali.

Aku menatapnya, sedikit terpaku. Bukan apa-apa, Nick baru saja minum dari gelas bekas minumku, sementara di atas meja sana masih banyak tumpukan gelas kertas yang masih baru. Memang hal sepele, tapi tiba-tiba saja aku merasakan ribuan kupu-kupu terbang memenuhi perutku. Dan, aku tiba-tiba teringat hari itu, saat Nick hampir saja menciumku.

"Tepat di atas meja di sebelahmu masih banyak tumpukan gelas yang masih baru, Nick. Barangkali kamu tidak menyadarinya.", kataku.

Nick kembali meneguk habis gelas bekas minumku sambil tersenyum—nakal. "Aku tahu. Tapi minum dari gelasmu rasanya lebih... menyenangkan.", jawab Nick, lalu pergi. Meninggalkanku dengan tanda tanya besar—apa maksud dari perkataannya itu? Bukankah itu terdengar sedikit... mesum? Atau hanya pikiranku saja yang berlebihan?

Aku mencoba mengabaikan apa yang baru saja kudengar, lalu kembali melanjutkan apa yang sebelumnya sempat kutunda.

Kegiatan pertama klub sosial kami hari ini selesai sekitar pukul lima sore. Setelah itu, kami beristirahat sejenak, sebelum akhirnya kembali berkumpul di ruangan milik klub sosial untuk melaksanakan rapat evaluasi atas kegiatan kami hari ini.

Seperti biasa, Nick berdiri di depan kami untuk memimpin jalannya rapat sore ini. Wajahnya tampak sedikit lelah, dengan kaos yang sebagian besar terlihat basah oleh keringatnya. Namun, hal tersebut justru membuatnya terlihat semakin mempesona—semakin seksi.

Aku buru-buru membuyarkan lamunanku yang rasanya semakin mesum ini. Entah apa yang salah dengan diriku. Apa aku sudah benar-benat terpikat akan pesona yang dimiliki Nick? Mungkinkah semua mahasiswi yang mengaguminya, bahkan menggilainya juga merasakan apa yang kurasakan saat ini? Jika benar begitu, maka Nick adalah pria yang berbahaya—dalam arti yang baik.

Wajah langit yang semula didominasi oleh warna jingga, kini berubah didominasi oleh warna hitam, saat rapat evaluasi selesai dilaksanakan. Aku menghampiri Nick untuk langsung berpamitan, sebab tubuhku rasanya sudah cukup lelah hari ini.

Namun, di tengah perjalanan menuju asrama, aku tiba-tiba teringat akan ponselku yang masih berada di dalam ruang klub sosial. Aku baru ingat kalau setelah kegiatan tadi, aku mengisi daya ponselku disana dan belum sempat menyimpannya lagi ke dalam tasku.

"Kenapa aku jadi pelupa seperti ini! Sepertinya aku terlalu banyak memikirkan Nick.", gerutuku sambil melangkahkan kakiku cepat menuju ruang klub sosial.

Dari kejauhan terlihat ruang klub sosial yang sudah tampak sepi. Beberapa anggota klub yang tadinya masih berada di halaman depan ruangan kini sudah tak terlihat seorangpun. Namun, dari luar terlihat lampu di dalam ruangan yang masih menyala. Jadi, kemungkinan masih ada seseorang di dalam sana.

Saat sudah berada tepat di depan pintu, aku langsung membuka pintu yang tertutup—mendorongnya hingga terbuka. Dan, aku pun terdiam, waktu pun seakan terhenti.

Ternyata masih ada Nick di dalam ruangan–sedang berganti baju. Ia berdiri membelakangiku. Kaos hijaunya yang tadi tampak basah baru saja terlepas. Menampilkan kulit punggungnya yang berkeringat dan sedikit berkilau karena lampu neon. Dan ketika ia membalikkan badan, otot dadanya yang cukup terbentuk pun sontak merampas perhatianku. Dia menoleh ke arahku, dan mata membelalak. Begitupun denganku.

"Nora!", serunya, suaranya rendah dan dalam. Kami sama-sama terdiam. Aku ingin berkata sesuatu—apa saja, tapi lidahku seakan membatu.

Nick buru-buru mengambil kaos lain yang bersih dari dalam ranselnya, dan memakainya. "Kupikir semua sudah pulang.", katanya lagi, sepertinya mencoba mencairkan suasana yang masih membeku ini.

"Aku... ehm... aku mau mengambil ponselku yang tertinggal. Maaf.", jawabku, gagap.

"Oh, ini milikmu?", tanya Nick, mencabut ponsel dan alat pengisi daya dari soket listrik di sebelahnya.

"Ah, benar.", jawabku, lalu menghampirinya untuk mengambilnya.

Namun, saat aku berjalan menghampirinya–hampir sampai di hadapannya, tanpa sadar aku tersandung sesuatu di bawah sana, hingga membuatku terhuyung ke depan. Beruntung dengan sigap Nick menangkap tubuhku. Sehingga tubuh kami kini berjarak sangat dekat, bahkan hampir menempel. Dan pandangan mata kami pun bertemu.

Aku terdiam sejenak, membeku, terhanyut dalam tatapan matanya yang hangat. Dan, kurasa dia pun begitu. Kami membeku dalam posisi yang tidak berubah selama beberapa detik. Sebelum akhirnya kami sama-sama tersadar dan saling membenarkan posisi.

"Maaf. Kurasa aku kurang hati-hati.", kataku, tampak kikuk.

"Tidak masalah. Mungkin kamu sudah lelah, Nora. Seharian ini kita sudah bekerja keras.", kata Nick, berusaha tersenyum.

"Ya, sepertinya begitu. Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Trims untuk ponselku dan–menangkapku."

Nick tersenyum, menatapku hangat. "Sama-sama, Nora."

Dengan langkah cepat, aku keluar dari ruang klub sosial menuju asrama. Tapi, hati dan pikiranku rasanya jauh lebih lambat. Nick, Nick dan Nick. Hanya bayangan Nick yang memenuhinya. Entahlah. Aku belum tahu pasti, apa yang akan terjadi di antara kami. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak lagi bisa mengabaikan perasaanku padanya.

1
Yellow Sunshine
Hai, Readers! Happy reading 😊 Jangan lupa kasih ulasannya juga ya 😊
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!