**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Hujan turun tanpa ampun
Malam itu hujan turun tanpa ampun, membasahi trotoar dan jalanan di depan kafe yang mulai sepi. Suaranya mengguyur atap seng dan kanopi, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus membuat semua orang terjebak. Para karyawan berdiri bergerombol di depan kafe, menunggu hujan mereda. Beberapa mengobrol, lainnya sibuk dengan ponsel.
Nadra berdiri menyendiri di sudut, memeluk tasnya sambil menatap hujan yang deras. Rambutnya yang setengah tergerai tampak sedikit lembap, dan jaket tipisnya jelas takkan banyak membantu jika harus menembus hujan. Di sisi lain, Cynthia berdiri dengan dua temannya, sesekali melirik ke arah Nadra dan Arven yang berdiri cukup dekat, berbincang seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Cynthia menggigit bibir bawahnya. Hatinya mengumpat. "Apa kurangku? Kenapa dia? Apa yang sebenarnya Nadra punya sampai bisa membuat Arven begitu lembut, bahkan setelah ditolak?" Matanya menyipit, penuh amarah dan iri yang tak bisa ia sembunyikan.
Sementara itu, di antara derai hujan dan sorotan lampu neon yang memantul di genangan air, Arven berdiri di samping Nadra. Mereka tampak santai, ringan berbicara tanpa tekanan, seakan tak pernah terjadi penolakan atau hati yang retak sebelumnya.
"Masih deras," kata Arven sambil menyipitkan mata ke langit malam. Lalu ia menoleh, menatap wajah Nadra yang diterangi cahaya hangat dari lampu depan kafe. "Pulang aku antar, mau?" Itu pertanyaan yang sudah entah keberapa kali dilontarkannya dalam seminggu terakhir.
Dan seperti biasa, Nadra hanya tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Terima kasih, tapi nggak usah. Aku nggak mau merepotkan kamu, Arven."
Arven hanya menatapnya, kali ini lebih lama. "Kamu tahu aku nggak pernah anggap itu merepotkan."
Nadra menunduk sebentar, membenahi ujung lengan jaketnya. Tapi sebelum Arven bisa menambah pertanyaan, ia mendahului dengan suara lembut, "Arven, aku nggak bermaksud menghindar."
Arven mengangguk sekali, tak ingin mendesak. Tapi tetap saja, hatinya menahan banyak rasa yang belum reda. Ia mencoba mengganti topik. "Beberapa hari lalu, aku lihat kamu dijemput seseorang. Mobilnya mewah, pria dewasa. Siapa dia?"
Pertanyaan itu meluncur pelan, tapi sarat makna. Nadra sempat terdiam, lalu perlahan tersenyum. Ada rona merah yang samar muncul di pipinya. Arven menangkap ekspresi itu. Hatinya tercekat, senyum itu bukan biasa, itu senyum orang yang sedang jatuh cinta.
Nadra mengalihkan pandangannya padanya. Mata mereka bertemu sejenak sebelum akhirnya Nadra berkata dengan polos, jujur, tanpa beban apa pun, "Sebagai seorang pria yang aku anggap seperti saudara, menurutmu, aku cocok nggak bersanding dengan pria seperti Om Agra?"
Pertanyaan itu menghantam Arven seperti petir yang tak terdengar. Ia sempat membeku. Hanya memandang wajah gadis itu, gadis yang pernah ia harapkan akan berbalik menatapnya, bukan sebagai saudara. Tapi sebagai seseorang yang bisa mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Hujan masih turun deras, tirai air mengalir di luar sana seperti irama yang menggema dalam dada yang tak tenang. Di depan kafe yang mulai sepi, lampu-lampu neon memantul di genangan air. Dan udara dingin mulai merayap di kulit. Tapi di antara semua itu, ketegangan halus dan hangat justru menyelimuti dua orang yang berdiri cukup dekat, saling menatap dalam jarak yang hampir terlalu akrab.
Mendengar pertanyaan polos Nadra barusan, Arven mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Rahangnya mengeras, dan rahasia rasa yang telah lama dipendam nyaris tumpah hanya karena satu kalimat itu.
Tapi hanya sesaat, dalam hitungan detik, ia memaksa dirinya berubah. Ekspresinya melunak, suaranya dibuat serileks mungkin, meski di dalam dadanya bergemuruh. "Jadi, gadis kecilku sekarang sedang jatuh cinta ya," ucap Arven lirih, setengah menggoda, sambil mengangkat tangannya dan mengelus puncak kepala Nadra dengan lembut. Helaian rambut Nadra yang lembap dan tertata rapi jadi berantakan seketika karena usapan itu.
"Hei!" Nadra segera menepis tangan Arven dari kepalanya dengan cepat, matanya melotot kesal. "Rambutku jadi kayak singa sekarang!"
Tapi Arven hanya terkekeh pelan, ekspresinya sama sekali tidak menyesal. Ia mengubah posisinya, berdiri tepat di hadapan Nadra, lalu sedikit membungkuk, wajahnya kini hanya beberapa jengkal dari wajah gadis itu. Tatapannya hangat, namun mengandung sedikit luka yang ia sembunyikan rapat.
"Oh, jadi kamu benar-benar jatuh cinta pada pria dewasa itu?" ujarnya dengan nada menggoda. "Bahkan dia lebih dewasa dari aku. Wah, selera gadis kecilku meningkat drastis, ya."
Wajah Nadra langsung merah padam. Ia tersipu, tapi enggan mengakuinya. Dan karena tak tahan digoda, ia melayangkan tangannya ke dada Arven, seolah ingin memukulnya, tapi gerakannya terlalu lemah, hanya mengenai angin.
Arven tertawa, menangkis pukulan imajiner itu dengan santai, lalu menatap Nadra dengan pandangan yang tak lagi menggoda, tapi penuh rasa yang belum sempat tersampaikan. "Aku cuma ingin kamu bahagia, Nadra," gumamnya kemudian. "Siapa pun prianya."
Nadra sempat terdiam, senyum di wajahnya perlahan meredup, digantikan oleh sesuatu yang lebih lembut, lebih tulus. Hatinya terasa hangat dan entah mengapa, sedikit bersalah.
Nadra memandang Arven dengan pandangan yang tidak biasa, lebih dari sekadar teman, lebih dari sekadar rekan kerja. Ia menatap pria yang selalu ada, selalu mendukung, dan selalu tersenyum meski hatinya barangkali tidak pernah benar-benar utuh. "Arven," Nadra membuka suara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh gemericik hujan. "Apa kamu beneran menyukaiku?"
Pertanyaan sederhana itu seketika memudarkan senyum hangat di wajah Arven. Sorot matanya berubah, tidak sedih, tapi juga tidak bahagia. Bibirnya terbuka sedikit, namun tak satu pun kata keluar. Hanya napasnya yang tertahan, menekan perasaan yang selama ini ia kubur dalam diam.
Beberapa detik kemudian, ia menunduk, mengatur napasnya, lalu berkata dengan suara parau namun jujur, "Iya, Nadra. Dari awal aku bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta."
Nadra menatapnya dalam diam, matanya perlahan berkaca-kaca, seolah pernyataan itu datang terlalu telat.
"Tapi aku tahu," lanjut Arven, mencoba tersenyum meski hanya setengah, "rasa cinta tidak selalu harus memiliki. Kadang yang paling tulus justru adalah ketika kita mampu merelakan."
Ia menarik napas panjang, lalu menatap langit yang mendung, seakan berbicara pada takdir, bukan pada Nadra. "Kau tahu, rasanya seperti menggenggam bunga yang indah, lalu saat angin datang dan membawanya terbang, kau hanya bisa menatapnya menjauh, berharap ia mendarat di tempat yang membuatnya tumbuh lebih bahagia." Arven tersenyum getir, menatap Nadra penuh kelembutan yang terluka. "Aku rela, Nadra. Kalau hatimu memilih dia, aku akan tetap di sini. Menjadi seseorang yang akan diam-diam mendoakan mu bahagia, walau bukan denganku."
Nadra terdiam. Hatinya terasa sesak oleh rasa bersalah, oleh kehangatan yang selama ini mungkin ia abaikan. Hujan masih turun deras, tapi tak ada yang lebih deras dari apa yang kini mengalir dalam hati keduanya. Perasaan yang tak pernah disampaikan tepat waktu, dan cinta yang harus belajar melepaskan, meski ia tak pernah benar-benar ingin pergi.
...BERSAMBUNG.........