Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 24 - Kirain... Ups!
Tok tok tok!
“Arghhh!!,” teriak Rangga. Kemudian ia memeluk Azura lagi hingga mencengkeram bahu Azura lebih erat dari sebelumnya.
“Rangga… sakit…!,” erang Azura dengan wajah yang tegang karena menahan perih.
Sementara dari luar kamar, dua penjaga pribadi yang memang ditugaskan menjaga sekitar kamar, mereka mulai saling menatap karena khawatir.
“Kau dengar itu?,” bisik salah satu dari mereka.
“Iya… suara Nona Azura. Tadi dia seperti… meringis kesakitan.
“Apa kita masuk?”
“Tapi… kalau tidak apa-apa, kita bisa disalahkan karena lancang menerobos…”
Mereka nampak ragu. Tapi dari dalam kamar, suara Azura kembali terdengar. “Rangga… tenanglah! Tolong…! Aku tidak bisa bernapas!,” pekik Azura lirih sambil terengah.
Namun Rangga tidak mendengar. Ia seolah terjebak dalam ketakutan yang mengubah perilakunya.
Tatapannya kosong namun liar. Nafasnya terengah. Lalu dengan gerakan yang buas, ia mulai mengendus dan menciumi Azura dari puncak kepala, ke sisi wajah, lalu ke leher.
“Jangan! Rangga hentikan… jangan begini…” suara Azura mulai terdengar panik, tubuhnya berusaha menghindar tapi cengkeraman Rangga sangat kuat dan tidak melonggar sedikitpun.
Yang lebih mengejutkan, Rangga mulai ‘menggigit’ lembut sisi leher Azura, seperti seekor binatang yang takut kehilangan mangsanya.
“Argh! Rangga, lepaskan! Ini menyakitiku!,” pekik Azura lagi.
Akhirnya, dua penjaga yang berada di luar kamar tidak bisa menunggu lebih lama lagi karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk.
Brakk!
Pintu kamar pun dibuka dengan paksa. Keduanya pun langsung masuk dan...
Terpaku.
Mereka melihat Rangga tengah mendekap Azura dari belakang, dengan tangan yang mencengkeram bahu dan dada Azura sehingga membuat bajunya terbuka sebagian, serta kepala Rangga yang masih menempel di sisi leher Azura.
Semuanya tampak seperti... sesuatu yang tidak pantas dilihat oleh para penjaga itu.
“T-Tuan Rangga! Kami… Kami mohon maaf!.”
Keduanya spontan membalikkan badan, wajah mereka pun nampak pucat dan panik.
“Kami hanya khawatir dengan kondisi Nona Azura… mohon… mohon maaf! Kami akan keluar sekarang!.”
Ckrek!
Pintu pun segera ditutup kembali oleh mereka, dan tak lama suara langkah yang tergesa terdengar menjauh di luar kamar.
Sementara itu, Azura yang masih dalam pelukan Rangga kini mulai bisa bernafas lagi dengan lega. Pelukan Rangga sudah melonggar dan pria itupun langsung terduduk di lantai.
Azura lalu berbalik dengan perlahan dan menatap pria di hadapannya yang kini tengah duduk di lantai dengan kepala tertunduk, seperti anak kecil yang habis dimarahi.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Rangga? Apa yang membuatmu begitu takut…?.”
**
Azura memperhatikan Rangga yang duduk seperti itu dengan cukup lama. Lalu tiba-tiba ekspresi Rangga berubah yang tadinya ketakutan tapi kini tertawa begitu saja seperti sedang bermain dengan seseorang.
Azura hanya bisa menghela napas. Ia sadar bahwa Rangga memang seperti ini, tidak bisa diprediksi, dan sulit dipahami. Mungkin, inilah takdir yang harus dia jalani.
Dengan hati yang berat, Azura pun membenahi bajunya yang terbuka, merapikan rambutnya yang tadi sempat berantakan karena insiden itu.
Setelah siap, Azura pun beranjak keluar dari kamar. Begitu keluar, ia melihat beberapa penjaga dan asisten yang telah berdiri di sekitar kamar yang tampak seperti berjaga-jaga.
Mereka saling berpandangan dan saling tersenyum dengan pemikiran masing-masing tentang apa yang terjadi pada kedua majikannya itu.
“Tuan Rangga pasti sedang lebih tenang sekarang, ya?,” bisik salah satu asisten di balas oleh asisten yang lain.
Tapi dua penjaga tadi, yang sudah menerobos masuk kini mereka hanya menunduk karena nampak ragu dan canggung. Mereka merasa bersalah atas apa yang mereka lihat sebelumnya.
Sedangkan Azura, ia hanya tersenyum tipis karena ia tahu apa yang mereka pikirkan, tapi ia tidak peduli. Yang penting sekarang adalah mengatur pikirannya.
Begitu mendekat, Bu Sari sang kepala asisten langsung menyambutnya dengan tersenyum ramah.
“Nona Azura, sarapan sudah siap, silakan turun.” kata Bu Sari.
"Terima kasih, Bu Sari."
Namun, saat Azura berbalik menuju tangga, langkahnya langsung terhenti begitu mendengar percakapan dua asisten yang sedang berdiskusi di sudut ruangan.
“Nona Azura pasti tidak tahu, Tuan Rangga selalu harus dibantu mandi oleh kita. Biasanya begitu.”
“Ya, kita sudah terbiasa, kan. Tapi... kalau Nona Azura yang melakukannya, mungkin akan lebih baik.”
Kata-kata itu membuat Azura tersentak. Membantu Rangga mandi? Tentu saja, itu adalah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Setelah beberapa saat berpikir, Azura pun menoleh ke Bu Sari yang sedang berdiri tak jauh darinya, dan berkata dengan suara yang pelan, “Bu Sari, apakah hari ini aku yang harus membantu Rangga mandi?.”
Bu Sari pun terkejut sejenak, namun segera merespons dengan sopan, “Nona, sebaiknya memang begitu. Tuan Rangga memang membutuhkan perhatian ekstra. Kami hanya bisa membantu sebisa kami, namun mungkin Tuan Rangga akan lebih nyaman jika Nona Azura yang melakukannya.”
Azura menunduk sedikit dan mencoba memahami situasi tersebut. Dia tahu ini bukan hal yang mudah, tapi ia juga harus bisa menerima kenyataan.
Akhirnya, Azura mengangkat kepalanya dan tersenyum dengan canggung. “Baiklah, jika itu yang terbaik. Maksudku, aku harus terbiasa membantu segala keperluan Rangga. Jadi pekerjaan kalian akan berkurang sedikit.”
Tentu saja, kalimat itu membuat para asisten dan penjaga terkejut. Mereka saling berpandangan satu sama lain dan terlihat senang dengan keputusan Azura, meski mereka sadar betapa besar beban yang Azura harus tanggung.
“Nona Azura, Anda luar biasa…” bisik salah satu asisten, yang hanya bisa memujinya dalam hati karena keberaniannya.
“Nona, semoga semuanya berjalan dengan baik," ucap Bu Sari.
Azura akhirnya kembali menuju kamar dengan hati yang sedikit ragu.
Tapi ia yakin bahwa keputusannya untuk membantu Rangga adalah langkah besar, dan mungkin ini adalah saatnya untuk lebih memahami peranannya dalam hidup Rangga.
Saat Azura membuka pintu kamar, Rangga sudah duduk di ranjang dengan menghadap ke arah jendela tanpa ekspresi apapun.
"Rangga, aku akan membantumu mandi."
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong