NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:410
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Angin malam di Aedhira malam itu nggak main-main. Rasanya kayak kombinasi kipas angin level maksimum dan AC bocor di kamar kos sempit. Lyra meringkuk di balik tudung jubah, duduk di dekat api unggun kecil yang mulai kehabisan kayu. Wajahnya serius, tapi matanya nggak bisa bohong—dia lagi mikirin sesuatu. Sesuatu yang berat. Bukan hutang, sih, tapi bisa dibilang hampir sama bikin dada sesak.

Kaelen duduk di seberangnya, mainin belatinya yang udah diasah sampai bisa motong ego. Cowok itu kalau diem bisa bikin suasana tambah dingin, tapi malam ini dia tampak gelisah juga. Tangannya refleks mainin cincin besi di jarinya, simbol lama dari Ordo Cahaya. Simbol masa lalu yang sekarang lebih mirip kenangan pahit.

“Kamu nggak tidur?” tanya Kaelen tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi cukup buat Lyra terkaget sedikit. Dia langsung gelagapan, kayak orang ketahuan nyemil tengah malam.

“Eh? Enggak, belum. Banyak yang harus kupikirin,” jawab Lyra, mencoba santai.

Kaelen mengangguk. “Aku juga. Dunia ini makin aneh. Kita dikejar-kejar bayangan, ada monster yang bisa muncul dari dalam tubuh orang, dan—” dia menatap Lyra tajam, “—ada rahasia yang belum kamu ceritakan.”

Nah lho.

Lyra menggigit bibir bawahnya. “Rahasia? Yang mana dulu? Soalnya aku punya beberapa,” katanya sambil nyengir, mencoba bercanda. Tapi Kaelen nggak senyum. Nggak ketawa juga. Dia tatap Lyra seperti lagi nge-zoom wajahnya pakai mata tajam itu.

“Yang ada hubungannya sama ayahmu,” ucapnya, dingin.

Deg.

Oke. Itu bukan jenis rahasia yang bisa dihindari pakai senyum manis atau gombalan murahan.

“Kaelen… aku nggak tahu dari mana harus mulai,” gumam Lyra.

Kaelen mendekat. “Mulailah dari kebenaran. Kita sudah terlalu banyak dibohongi. Aku butuh tahu siapa kamu sebenarnya. Dan kenapa dunia seakan berputar di sekelilingmu.”

Lyra menatap api, nyalanya memantul di matanya seperti serpihan kenangan yang terbakar perlahan. “Namaku Lyra Caellum. Tapi sebelum aku jadi gadis desa dari dunia luar itu… aku adalah putri dari Auron Draveil. Sang Raja Kegelapan.”

Suara itu meluncur dari bibirnya, pelan tapi jelas. Rasanya seperti mengucapkan kutukan sendiri.

Kaelen nggak bereaksi secara dramatis. Dia hanya diam, tapi matanya menyala—kayak otaknya lagi bikin 10 teori konspirasi dalam sekali proses.

“Kamu anaknya... Auron?” gumam Kaelen, pelan.

“Dulu… ya. Tapi aku bukan dia, Kaelen. Aku bukan seperti dia.” Nada suara Lyra melembut, nyaris seperti bisikan, “Aku kabur dari semua itu. Dari dunia yang penuh kebohongan, darah, dan pengkhianatan.”

Kaelen menarik napas panjang, seperti menelan seluruh beban percakapan. “Dan kamu baru bilang sekarang?”

“Kalau aku bilang dari awal, kamu pasti udah lempar aku ke jurang sambil baca mantra pembersihan dosa,” balas Lyra, setengah bercanda. Tapi nada suaranya menyimpan luka yang dalam.

Keheningan turun lagi. Tapi bukan keheningan nyaman kayak di film romansa. Ini kayak keheningan sebelum badai. Atau sebelum monster bayangan muncul dari kegelapan dan nyeruduk semuanya.

“Jadi itu sebabnya kamu bisa buka Gerbang Aedhira,” kata Kaelen pelan. “Darahmu... darah penguasa Dunia Bawah.”

Lyra mengangguk. “Tapi aku nggak tahu semuanya. Ibu menyembunyikan sebagian besar rahasia itu dariku. Dan sekarang... semuanya muncul satu per satu.”

Kaelen menatapnya lama, lalu akhirnya bersandar ke batang pohon. “Kamu tahu apa yang lebih parah dari kegelapan? Kebohongan. Tapi entah kenapa, aku percaya kamu nggak akan jadi seperti dia.”

Lyra memalingkan wajahnya, takut air matanya kelihatan. “Terima kasih… udah percaya sama aku.”

Mereka kembali diam. Tapi diam kali ini… sedikit lebih damai. Kayak dua orang yang berdiri di pinggir jurang, tapi tahu mereka nggak sendiri.

Tiba-tiba suara keras meledak di kejauhan. Ledakan sihir. Cahaya merah menyambar langit malam kayak kembang api pesta akhir tahun—kalau pesta itu dihadiri monster dan penyihir gila.

Kaelen berdiri, refleks. “Mereka menemukan kita.”

Lyra bangkit juga, tangannya meraih tongkat sihir dari balik jubah. “Kayaknya malam yang tenang udah resmi dibatalkan.”

Dari balik pepohonan, muncul siluet-siluet gelap. Pasukan bayangan. Mata mereka menyala merah. Mulut mereka berdesis dalam bahasa kuno yang bikin telinga gatal.

“Waktunya jadi pahlawan… atau korban,” gumam Lyra, menyiapkan mantra.

Kaelen menghunus pedangnya. “Kita lihat siapa yang terakhir berdiri.”

Dan mereka menyerbu—dunia gelap, darah, dan takdir menunggu di balik bayangan.

Dari antara kegelapan hutan, makhluk-makhluk itu muncul. Bukan cuma bayangan biasa—mereka bentuknya kayak kombinasi antara kelelawar steroid, anjing galak, dan mantan yang belum move on. Mata mereka merah menyala, dan aura sihir gelap bergetar di udara seperti bass konser rock underground.

Kaelen mengayunkan pedangnya lebih dulu. Satu tebasan bersih, satu bayangan langsung buyar kayak mie instan disiram air panas. Lyra mengangkat tongkat sihirnya dan menggumamkan mantra dalam bahasa kuno—yang entah kenapa selalu terdengar kayak kalimat patah hati versi elf.

“Luxerium Ignis!”

Cahaya menyala dari tongkatnya dan meledak ke arah tiga bayangan sekaligus. Mereka meleleh seperti plastik kepanasan. Tapi jangan senang dulu, karena dari belakang mereka muncul lagi. Banyak. Seperti diskon makanan di akhir bulan—semua tiba-tiba nongol.

“Berapa jumlah mereka?!” Lyra berteriak sambil menembak bola api ke kiri.

Kaelen mendesis. “Cukup banyak untuk bikin kita nyesel kenapa nggak tidur aja barusan.”

“Gue juga nyesel kenapa nggak lari bawa bantal dan pura-pura mati,” sahut Lyra sambil menepis bayangan yang melompat ke arahnya.

Salah satu bayangan berhasil mencakar Kaelen di bahu. Dia meringis, tapi langsung membalas dengan tendangan yang kalau dilihat pelan pasti kayak adegan film kungfu.

Sementara itu, Lyra mendadak melihat sesuatu yang aneh. Di antara semua bayangan itu, ada satu yang nggak ikut nyerang. Dia berdiri diam, matanya beda. Bukan merah, tapi biru pucat. Dan dia... seperti memperhatikan Lyra. Nggak dengan benci, tapi... rasa penasaran.

“Kaelen! Yang di sana! Yang diam itu! Lihat!”

Kaelen melirik. “Yang kayak model rambut aneh itu?”

“Ya, yang kayak habis bangun tidur terus nggak sempet sisiran!”

Makhluk itu menunduk... lalu bicara. Dengan suara berat dan dalam, tapi jelas: “Putri Auron... waktumu hampir habis.”

Glek.

Lyra melangkah mundur, keringat dingin membasahi tengkuknya. “Oke. Kita punya monster yang bisa ngomong. Ini level baru dari kekacauan.”

Makhluk itu mendekat. “Kau membuka gerbang yang tidak seharusnya dibuka. Dan kami akan memastikan kau menyesal.”

Kaelen melangkah maju, pedang di tangan. “Kalau kamu nyentuh dia, aku potong lidahmu.”

Bayangan itu hanya tersenyum miring. “Bahkan darah ksatria pun bisa menghitam, jika dicampur dengan dosa lama…”

Oke, ini udah terlalu filosofis buat malam yang penuh monster. Lyra, dengan emosi campur aduk antara takut, marah, dan pengen ngupil karena stres, mengangkat tongkat sihirnya.

“Kalau kau mau ngajak ngobrol, bisa nanti. Sekarang... diem atau meledak!”

Dan dengan itu, dia mengucapkan mantra yang baru dia pelajari dari kitab kuno peninggalan ibunya.

“Thess’ariel Ventrum!”

Cahaya putih menyilaukan meledak dari tongkatnya. Angin kencang menyapu sekeliling mereka, menghancurkan sebagian besar pasukan bayangan—dan membuat rambut Kaelen berdiri kayak kena balon listrik statis.

“Aku… aku harus belajar cara ngontrol itu,” kata Lyra terengah-engah.

Kaelen melihat sekeliling. Tanah penuh abu, tapi makhluk yang bicara tadi… menghilang.

“Dia kabur,” gumam Kaelen.

“Bukan kabur. Dia mundur. Dan itu beda banget. Orang yang kabur biasanya ketakutan. Dia tadi? Tenang banget, kayak tahu dia bakal ketemu kita lagi.”

Kaelen mengangguk. “Dan aku nggak suka itu.”

Lyra menatap langit. Bintang-bintang bersinar samar, seolah menyaksikan semua kekacauan ini tanpa bisa membantu.

“Kita harus segera ke Kuil Terakhir. Semua jawaban ada di sana. Termasuk kenapa si monster tadi bisa sebut namaku.”

Kaelen merapikan jubahnya, lalu menatap Lyra. “Kamu sadar nggak, kita udah kayak tim RPG sekarang? Ada petualangan, monster, dialog misterius, dan kutukan yang belum beres.”

Lyra nyengir. “Kita tinggal butuh soundtrack dramatis dan side quest buat nyari kucing yang hilang.”

Kaelen ketawa. Untuk pertama kalinya malam itu, dia kelihatan benar-benar lega.

Namun sebelum tawa itu benar-benar usai, tanah di bawah mereka sedikit bergetar. Lyra dan Kaelen saling berpandangan.

“Jangan bilang… ini belum selesai?” bisik Lyra.

Dan dari dalam bayangan pohon, suara langkah kaki berat menggema.

Langkah kaki… satu makhluk lagi. Tapi kali ini, bukan bayangan. Sosok berzirah hitam, matanya menyala seperti bara. Di dadanya, terukir simbol kuno: lambang keluarga Draveil.

“Lyra Caellum,” suara itu dalam, berat, dan membawa gema. “Sudah waktunya kamu kembali ke asalmu.”

Kaelen berdiri di depan Lyra. “Kau tak akan menyentuhnya.”

Pria berzirah itu tertawa pelan. “Bukan aku yang akan menyentuhnya. Takdir yang akan menjemputnya.”

Dan dengan itu, langit malam Aedhira terbakar lagi—menyambut konflik baru yang lebih besar.

Satu hal yang Lyra pelajari malam itu: kalau seseorang bersuara berat dan muncul dari kegelapan dengan armor hitam mengilap... lari adalah respons yang masuk akal. Tapi sayangnya, jadi tokoh utama berarti lo gak punya hak istimewa buat kabur seenaknya.

Makhluk berzirah itu masih berdiri, penuh aura misteri. Kaelen maju setengah langkah, pedang di tangannya bergetar pelan.

“Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya, tajam.

Zirah hitam itu mengangkat kepalanya. “Namaku sudah lama dilupakan. Tapi para leluhurmu menyebutku... Seraphor.”

Lyra mengerutkan kening. “Itu... kayak nama malaikat yang nyasar ke film horor.”

Seraphor tertawa. Suaranya dalam, dan jujur aja, agak mirip suara tukang iklan yang kelamaan pake efek reverb.

“Aku adalah penjaga gerbang terakhir. Kau tidak akan bisa melangkah ke Kuil Aether tanpa melewati aku.”

“Denger, bang. Kita capek. Satu malam dikejar bayangan, dilempar kutukan, dan dengerin pidato mengancam. Bisa gak kita skip bagian ‘tanding sampai mati’-nya?” protes Lyra.

Seraphor menatapnya. “Sayangnya... tidak.”

Dan tepat saat dia mengangkat tangan kirinya, tanah di sekeliling mereka berguncang. Pilar batu kuno menjulang dari bawah tanah, membentuk arena yang mengurung Lyra dan Kaelen. Ya, arena. Seperti pertunjukan gladiator, cuma ini bukan Roma, dan nggak ada penonton kecuali bintang-bintang yang kepo.

Kaelen merapat ke Lyra. “Kita harus kerja sama. Seraphor ini bukan musuh biasa.”

Lyra menarik napas. “Gue tahu. Dia kayak boss terakhir... tapi belum akhir cerita.”

Seraphor mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dan dari tubuhnya, muncullah senjata: tombak bercahaya ungu tua, dikelilingi aura sihir kuno. Tombak itu... familiar.

“Kaelen,” Lyra berbisik, “itu... senjata yang diceritain di kitab kuno. Tombak Aethegris. Dulu dipakai Ayah buat ngelindungin Aedhira.”

Kaelen menggertakkan gigi. “Kalau dia yang bawa, berarti tombak itu udah terkutuk.”

Seraphor melompat ke arah mereka—dan mulai pertarungan.

Ledakan sihir, tebasan pedang, dan gerakan akrobatik terjadi cepat banget. Kalau ini film, kamera pasti goyang-goyang dramatik.

Kaelen menangkis tombak itu sambil bergerak mundur. “Lyra! Cari titik lemahnya!”

Lyra menggulirkan mantra di otaknya, mencoba mengingat satu kutipan penting dari kitab tua. “Senjata cahaya hanya bisa dilawan dengan bayangan yang murni…”

“Gue butuh… sesuatu yang gelap tapi... murni?” gumam Lyra. “Apaan tuh? Coklat hitam?”

Kaelen ketawa meski berdarah. “Bukan waktunya mikir cemilan!”

Tiba-tiba Lyra teringat sesuatu: Kaca Jiwa. Cermin kuno yang pernah digunakan ibunya untuk melawan Seraphor di masa lalu. Tapi... cermin itu ada di Kuil Aether!

Seraphor menusuk ke arah Kaelen. Hampir kena. Hampir. Tapi Kaelen berhasil memutar dan menendang dada zirah musuhnya hingga sedikit mundur.

“Lyra! Cepat! Aku gak bisa tahan dia selamanya!”

Dengan panik, Lyra menunduk, menekan tangannya ke tanah, mencoba menghubungi jejak sihir di dalam batu-batu suci yang membentuk arena itu.

“Spiritus Terran… Audite vocem meam…”

Getaran lembut muncul. Tanah merespons. Sebuah lubang kecil terbuka, dan di dalamnya—seperti keajaiban—sepotong batu kristal ungu mengapung.

Lyra menggenggamnya. “Ini bukan cermin… tapi ini inti dari kuil.”

Saat Seraphor melompat untuk serangan terakhir, Lyra melempar kristal itu ke arah tombaknya dan mengucapkan:

“Anima Vindictae!”

Seketika, cahaya putih meledak dari titik kontak. Seraphor memekik—untuk pertama kalinya suaranya tak terdengar menyeramkan, tapi... kesakitan.

Dia terlempar ke belakang, terkapar. Tombaknya menghilang jadi debu cahaya.

Kaelen segera memeluk Lyra. “Kau luar biasa…”

Lyra kehabisan napas. “Dan gue... hampir kencing.”

Kaelen ketawa kecil, masih memeluknya erat. “Itu manusiawi. Tapi jangan sampai kaos gue kena, ya.”

Sementara tubuh Seraphor mulai larut jadi cahaya, dia berbisik: “Kalian… masih bisa gagal. Kuil Aether… bukanlah jawaban. Tapi… kebenaran yang menyakitkan.”

Dan dengan itu, dia lenyap.

Sunyi menggantung. Arena runtuh. Malam kembali hening.

Lyra menatap Kaelen. “Satu hal yang kupelajari malam ini…”

“Apa?”

“Gue butuh tidur panjang dan terapi. Banyak banget terapi.”

Kaelen tertawa. “Dan mungkin shampoo baru. Rambutmu sekarang penuh abu monster.”

Mereka tertawa bersama, lelah, penuh luka, tapi masih hidup.

Dan dengan langkah berat tapi pasti, mereka mulai berjalan menuju puncak bukit, ke arah kuil yang tertutup kabut... tempat semua jawaban—dan rahasia tergelap Aedhira—menunggu.

Langkah mereka pelan namun mantap. Di depan, Kabut Aether yang legendaris, yang konon menyembunyikan jalan menuju kuil, menunggu mereka dengan aura misterius. Di sepanjang perjalanan, suasana semakin suram—langit yang tadinya cerah, kini perlahan berubah menjadi kelam. Seperti semesta itu sendiri merasa berat hati karena kedatangan mereka.

Lyra dan Kaelen berjalan berdampingan, tapi satu hal yang masih terasa, seperti ada semacam jarak yang tak terucapkan di antara mereka. Mungkin karena rasa takut, atau mungkin karena mereka tahu bahwa perjalanan ini bisa mengubah segalanya—termasuk mereka berdua.

Lyra memandang Kaelen yang berjalan di sampingnya. "Dulu, kamu bilang kita harus menghadapi Aether bersama. Kamu masih ingat itu?"

Kaelen mengangguk. “Tentu saja. Tapi Aether bukan hanya tentang bertarung, Lyra. Ini tentang menghadapi kebenaran yang terkubur. Kebenaran tentang keluargamu.”

“Dan tentang Ayah,” lanjut Lyra. “Aku nggak tahu kalau aku siap untuk itu.”

“Tidak ada yang pernah siap. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya,” jawab Kaelen sambil menatapnya dengan tatapan yang serius. “Kau sudah melewati banyak hal. Ini cuma satu lagi ujian yang harus kamu lewati.”

Lyra mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya ada keraguan yang tak bisa dia hilangkan. Kebenaran tentang ayahnya, Auron Draveil, adalah salah satu rahasia terbesar di Aedhira. Tak ada yang tahu mengapa Auron menghilang begitu saja atau apa yang sebenarnya terjadi pada kerajaan mereka sebelum kejatuhan itu. Apakah ayahnya memang seorang pahlawan, ataukah dia bagian dari rencana yang lebih gelap?

Ketika kabut semakin tebal, suasana berubah semakin mencekam. Ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang mengintai dalam bayang-bayang kabut tersebut.

Kaelen berhenti sejenak. “Kita nggak sendirian,” katanya, suaranya parau.

Lyra mengangkat alis. “Apa maksudmu?”

“Perasaan ini... kabut ini... bukan hanya ilusi. Aku merasakannya, Lyra. Ada yang memantau kita.”

Tiba-tiba kabut mengedipkan cahaya biru yang menyilaukan, seperti ada ribuan mata yang sedang mengawasi. Lyra merasakan seluruh tubuhnya tegang. Dengan hati-hati, dia mengambil pedangnya. Kaelen juga sudah bersiap dengan pedang di tangannya. Mereka tahu, perjalanan ini belum selesai. Bahaya masih mengintai mereka.

Tiba-tiba, suara lirih terdengar dari kejauhan, seperti bisikan yang terdistorsi. “Kalian tidak akan bisa keluar dari sini. Aether tidak akan membiarkan kalian.”

Lyra menatap ke arah suara itu, tetapi hanya ada kabut yang semakin tebal. “Siapa yang berbicara?” tanyanya, suara sedikit bergetar. “Tunjukkan dirimu!”

Tidak ada jawaban. Tapi suara itu kembali terdengar, lebih keras kali ini, lebih jelas.

“Kalian akan kehilangan semuanya. Aether akan menuntut bayaran yang lebih besar dari sekedar darah.”

Kaelen memegang erat pedangnya. “Ini harusnya sudah selesai. Kita sudah mengalahkan Seraphor. Kenapa dia kembali?”

“Bukan Seraphor,” kata Lyra sambil mendekat ke Kaelen. “Ada sesuatu yang lebih kuat dari Seraphor. Sesuatu yang mengendalikan semua ini.”

Tiba-tiba, kabut menghilang seketika, dan di hadapan mereka muncul sosok bayangan hitam yang begitu besar. Sosok itu menghadap mereka dengan senyum lebar yang menyeramkan.

“Selamat datang di dunia yang tidak kalian pahami,” ujar sosok itu dengan suara seperti gemuruh petir. “Kalian sudah memasuki wilayah yang sudah lama dilupakan oleh dunia ini.”

Lyra dan Kaelen menatap sosok itu dengan cemas. “Siapa kamu?” Lyra bertanya, menegaskan.

Sosok itu tertawa kecil. “Aku adalah penjaga antara dunia ini dan yang lainnya. Aku adalah kunci dari Aether.”

Lyra merasa ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya. “Apa yang kamu inginkan dari kami?”

“Apa yang aku inginkan?” sosok itu bertanya balik, “Apa yang kalian inginkan dari Aether?”

Kaelen mencekik nafasnya. “Kami hanya ingin mengetahui kebenaran. Apa yang terjadi dengan kerajaan ini. Apa yang terjadi dengan ayah Lyra.”

Sosok itu terdiam, lalu tertawa lagi. “Kebenaran? Hahaha... kebenaran adalah harga yang paling mahal. Dan harga itu akan kalian bayar dengan nyawa.”

“Tidak!” seru Lyra, merasa terpojok. “Kami datang untuk menghentikan kehancuran ini!”

“Setiap langkah kalian mendekat ke Aether, kalian semakin jauh dari keselamatan. Kalian akan melangkah ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Dan kalian akan menyesalinya,” jawab sosok itu, suaranya kini menggema.

Tiba-tiba, kabut itu kembali, kali ini lebih tebal dan lebih menakutkan dari sebelumnya. Suara itu semakin mendalam, seolah berasal dari dalam tanah.

Kaelen menggenggam tangan Lyra. “Tidak ada jalan mundur. Kita harus terus maju, Lyra.”

Lyra menatap Kaelen, matanya penuh tekad. “Tidak akan ada yang menghentikan kita, Kaelen. Kita akan temukan kebenaran tentang Aedhira. Aku janji.”

“Baiklah,” Kaelen berkata, sedikit tersenyum. “Mari kita buktikan itu.”

Mereka melangkah maju, menyusuri kabut yang semakin pekat. Setiap langkah mereka terasa berat, penuh ancaman. Tapi mereka tahu satu hal: ini adalah perjalanan yang tidak bisa mereka tinggalkan begitu saja. Kebenaran harus ditemukan.

Dan di hadapan mereka, sebuah pintu besar, hitam pekat, terbuka perlahan. Sebuah suara menggelegar terdengar, “Selamat datang di Kuil Aether.”

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!