Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 — Bisikan yang Tak Terkendali
Hujan deras masih menyisakan tetesan yang jatuh dari atap bambu asrama, menciptakan irama monoton yang seharusnya menenangkan. Namun di dalam kamar Wuyan, ketenangan itu jauh dari tercapai. Ia berbaring di tempat tidur, tubuh lelah setelah ujian, tetapi bayangan samar terus menari di sudut kesadarannya, menunggu kesempatan untuk menembus batas tidur dan menguasai tubuhnya.
Sebelum mata Wuyan sepenuhnya menutup, ia sudah merasakan adanya dorongan asing di tangannya. Perlahan, jari-jarinya menekuk sendiri, hampir menendang meja kecil di samping ranjang. Ia mengerang pelan, mencoba memanggil kembali kesadarannya, namun tubuhnya bergerak lebih cepat daripada niatnya.
“Mengapa kau bergerak tanpa aku?” Wuyan berbisik, napasnya mulai memburu. Namun suara itu bukanlah dari dirinya sendiri. Bayangan di sisi batinnya tertawa samar, dan suaranya seperti menyelinap melalui tulang dan urat saraf. “Tubuhmu bukan lagi sepenuhnya milikmu, Wuyan. Mereka tidak akan mengerti. Mengapa kau takut?”
Wuyan menutup mata lebih erat, mencoba menenangkan Po, menyalurkan gelombang energi ke pusat Hun. Tapi kekuatan wajah pertama sudah memicu impuls agresif, dan seluruh tubuhnya menegang, bergerak sendiri. Ia merasakan detak jantung murid-murid lain yang hampir tidak terdengar dari kamar sebelah, dan seketika panik menguasainya.
Ia menggeliat di atas ranjang, berusaha menghentikan tangan yang menendang udara dan hampir mengenai kaki murid yang sedang berjalan di koridor. Bayangan berbisik lagi, setengah menggoda, setengah menakut-nakuti: “Aku bisa menghentikan mereka jika kau mau. Tapi kau takut menyerah padaku. Aku selalu di sini, Wuyan. Selalu.”
Napas Wuyan menjadi berat, detak jantungnya berdenyut di telinga. Ia merasakan Po liar bergejolak di setiap gerakan, Hun berusaha menyeimbangkan, tetapi retakan kecil di jiwanya membuat kedua energi itu tidak sepenuhnya sinkron. Tangan Wuyan nyaris menabrak rak buku kecil yang berisi gulungan latihan murid lain.
Dalam kepanikan, ia mencoba menjerit, tapi suaranya tercekik di tenggorokan. Ia memutar tubuh, mencoba mengalihkan energi, namun wajah pertama di dalamnya tersenyum samar, seolah menantang. “Lihat, Wuyan. Kau masih bisa menahan sedikit, tapi aku menginginkan lebih. Biarkan aku menguasai untukmu. Mereka tidak akan selamat jika kau menolak.”
Wuyan menelan ludah. Rasa bersalah dan takut bercampur dengan dorongan untuk mempertahankan kendali. Ia merasakan energi Hun mengalir dari dada ke perut, mengalir ke tangan dan kaki. Perlahan, ia berhasil menahan gerakan tak terkendali. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin menetes di pelipis.
Tetapi bayangan tidak berhenti. Ia terus berbicara, menembus ruang batin: “Aku selalu menunggu, selalu di sini. Kau bisa menolak, tapi aku tetap bagian darimu. Kau ingin menjadi manusia? Atau kau ingin menjadi semua yang aku bisa buatkan untukmu?”
Setiap kata memukul Wuyan, membuatnya tersentak. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri dengan pernapasan panjang, merasakan Po beradu dengan Hun, menyatu seolah menahan badai. Ia sadar, satu kesalahan, satu detik lengah, bisa membuatnya melukai orang lain.
Di luar, hujan menetes semakin deras. Angin malam berdesir melalui celah jendela, menambah aroma basah yang anehnya mencekam sekaligus menenangkan. Suara gemerisik daun bambu terdengar seperti bisikan tambahan di telinganya. Wuyan menggenggam selimut, berusaha merapatkan diri, menekan energi liar yang terus menekan.
Tetapi tubuhnya tidak mau menunggu. Seketika, lengan kirinya menendang udara lagi, kali ini lebih kuat. Bunyi rapuh dari rak beradu dengan lantai membuatnya tersentak, dan dari koridor terdengar langkah murid lain yang terkejut. Wuyan panik, matanya terbuka, mencoba mengendalikan setiap gerakan, merasakan tangan dan kakinya bergetar, seakan dua entitas berbeda saling berebut tubuhnya.
Bayangan tertawa, suara bergema di dalam kepalanya: “Semakin kau menolak, semakin aku ingin menguasai. Mengapa kau takut dengan dirimu sendiri?”
Wuyan menundukkan kepala, berusaha menenangkan diri. Ia tahu satu-satunya cara adalah menyalurkan energi ke pusat Hun dan mengikat Po, menahan impuls agresif wajah pertama. Ia menarik napas panjang, merasakan gelombang energi bergerak lambat, menenangkan sedikit. Tapi setiap kali ia melakukan itu, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa puas, terpuaskan karena mampu menunjukkan kekuatan.
Paniknya belum hilang sepenuhnya. Mata Wuyan berkeliling, melihat murid-murid lain mulai bangun, suara mereka berbisik dan langkahnya hati-hati. Satu murid hampir tersandung saat tangan Wuyan menendang di udara lagi, tapi untungnya ia berhasil menahan gerakan itu.
Bayangan menatap, puas dengan kekacauan itu. “Lihat, hanya sedikit lagi, dan kau tidak akan bisa lagi menahan dirimu. Mereka tidak akan memahami. Hanya aku yang mengerti. Hanya aku yang bisa membuatmu utuh, Wuyan.”
Detik-detik terasa membentang seperti jam pasir tak berujung. Wuyan berusaha menenangkan diri, tetapi tubuhnya masih gemetar, setiap otot seakan menolak komando pikirannya. Ia menutup mata, mencoba memusatkan energi Hun di dada, sementara Po liar yang terbawa wajah pertama bergelombang di seluruh tubuhnya, memunculkan sensasi panas dan berat di tulang.
Bayangan muncul lebih jelas di sudut kesadaran Wuyan, matanya redup tapi menembus: “Lihat, aku bisa membuatmu bergerak tanpa izin. Mereka tidak akan mengerti. Mereka tidak akan peduli. Tetapi kau… kau tetap manusia, bukan? Kau masih punya pilihan.”
Wuyan menelan ludah, napasnya tersengal. Ia tahu bayangan itu benar, dan sekaligus menakutkan. Satu gerakan salah, dan murid lain bisa terluka. Ia mengumpulkan kekuatan, menyalurkan energi Hun secara perlahan, merasakan getaran halus di seluruh tubuh. Po menahan, tapi tidak sepenuhnya tunduk; ada bagian wajah pertama yang memberontak.
Sekali lagi, tangannya bergerak tanpa izin, kali ini meninju udara dengan kecepatan berlebihan. Wuyan menjerit di dalam hati, memaksa diri untuk berhenti. Energi Hun dan Po bergesekan, menciptakan aura samar yang berpendar di sekelilingnya. Lilin di ruangan menari-nari, bayangan di dinding bergerak mengikuti ritme gelombang energi yang tak stabil itu.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah berat di koridor. Elder Ming Zhao muncul, mata guru menyala penuh kekhawatiran namun tetap tegas. “Wuyan!” Suaranya menembus keheningan malam. Seketika, tubuh Wuyan terasa kaku, tetapi energi Po masih mencoba melepaskan diri.
“Guru… aku—aku… tidak bisa mengendalikan…” Wuyan hampir terputus kata-katanya, tubuhnya gemetar.
Elder Ming Zhao melangkah lebih dekat, menyalurkan aura ketenangan. “Tenang… kendalikan Hun-mu. Po harus kau arahkan, bukan kau tekan. Jangan lawan, tetapi pandu. Kau harus belajar bekerja sama dengan dirimu sendiri, bukan melawan bagian-bagian yang ada di dalam.”
Bayangan bersiul pelan di dalam kepala Wuyan, nada menggoda: “Kau bisa menyerah, dan aku akan menenangkan semuanya. Mereka tidak akan tahu apa-apa. Aku bisa membuatmu utuh lagi… atau setidaknya utuh dalam caraku.”
Wuyan menutup mata, berfokus. Ia merasakan tangan dan kakinya perlahan kembali ke kendali. Po bergetar liar, tetapi Hun memegangnya stabil, dan seluruh tubuhnya bergetar hebat karena ketegangan yang dilepaskan. Ia membuka mata, menatap guru. Elder Ming Zhao tidak tersenyum, tetapi ekspresinya penuh perhatian: campuran ketegasan dan kekhawatiran tersembunyi.
“Jika kau terus seperti ini, Wuyan, suatu saat kau tidak akan bisa membedakan mana dirimu dan mana yang berasal dari wajah lain. Aku takut kau tidak bisa kembali ke jalurmu,” kata guru, suaranya lembut tapi menusuk ke dasar hati.
Wuyan menelan ludah. Kata-kata itu membuatnya terdiam. Ia tahu, wajah pertama yang diserapnya bukan sekadar energi atau kekuatan, tapi bagian dari jiwa lain yang hidup di dalam dirinya. Setiap kali ia menolak, ada konflik yang muncul, dan semakin besar energi Po yang memberontak.
Bayangan mencondongkan diri, seakan tertawa pelan di dalam kepalanya: “Dengar? Bahkan guru-mu pun takut padamu. Mereka tidak akan mengerti. Hanya aku yang bisa menunjukkan kebenaranmu, Wuyan.”
Wuyan mengerang pelan. Ia tahu bayangan itu benar, dan sekaligus berbahaya. Satu langkah salah, dan ia bisa kehilangan kendali sepenuhnya. Namun, kali ini, ia mencoba untuk tidak melawan, melainkan menerima. Ia menyalurkan energi ke pusat Hun, membiarkan Po dan wajah pertama berinteraksi secara sadar. Gelombang energi berputar di sekelilingnya, menciptakan aura redup yang berpendar lembut.
Tubuhnya berhenti bergerak liar. Tangannya kini berada di pangkuan, kaki menekuk rapi di lantai, napasnya mulai teratur. Wuyan menatap bayangan, yang kini tampak tersenyum samar, puas namun tetap misterius. “Langkah pertama sudah kau ambil. Tapi ingat, Wuyan… ini baru permulaan. Kau akan terus diuji. Dan setiap kali kau menolak, aku akan semakin kuat.”
Elder Ming Zhao mendekat, meletakkan tangannya di bahu Wuyan. Suaranya tetap rendah: “Sekarang kau tahu seberapa jauh batasmu. Jangan biarkan wajah lain mengambil alih tanpa kontrol. Kau harus belajar menyeimbangkan, bukan menekan. Ini bukan tentang seberapa kuat kau bisa, tapi seberapa sadar kau menjalani kekuatanmu.”
Wuyan menunduk, keringat dingin masih menetes. Tubuhnya lelah, tapi lebih dari itu, pikirannya berputar tanpa henti. Ia sadar, ancaman fragmentasi jiwa bukan sekadar teori. Ini nyata. Setiap bisikan wajah pertama, setiap gerakan tak terkendali, adalah pengingat bahwa kekuatan ini memiliki konsekuensi — bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga bagi orang lain di sekitarnya.
Bayangan kembali berbisik di kepala: “Aku menunggu, Wuyan. Tidak ada jalan untuk kembali. Kau bisa mencoba menolak, tapi suatu saat, kau akan memerlukan aku.”
Wuyan menghela napas, menatap lilin yang berpendar lembut di ruangan. Ia tahu satu hal: malam ini, ia selamat. Tapi malam-malam berikutnya, bayangan dan wajah pertama akan terus menguji batasnya. Fragmen jiwa yang mulai bergerak sendiri menuntut pengakuan, perhatian, dan kendali. Dan Wuyan harus belajar, bukan hanya untuk bertahan, tetapi untuk tetap menjadi dirinya sendiri.
Dengan itu, suasana malam kembali sunyi. Hujan masih menetes, aroma basah menyelimuti kamar, tetapi kini Wuyan duduk bersila, menenangkan Hun dan Po, sedikit lebih sadar akan keberadaan bayangan, wajah pertama, dan retakan kecil di dalam jiwanya.
Kalau malam ini adalah ujian, ia berhasil melewati yang pertama. Namun Elder Ming Zhao menatapnya dengan mata yang menembus, dan bayangan di sudut kesadaran tersenyum penuh makna. Kata-kata guru bergema di pikirannya:
“Aku takut kau tidak bisa kembali ke jalurmu.”
Dan itu bukan ancaman kosong. Itu adalah peringatan yang harus ia bawa, setiap malam, setiap detik, saat bayangan dan wajah-wajah lain menunggu untuk mengambil alih.