Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Yang Hidup
Semua menjadi putih.
Putih menyilaukan, putih yang menelan segalanya—tanah, udara, bahkan suara.
Aku tidak tahu berapa lama aku terdiam di tengah cahaya itu.
Yang kutahu, ketika pandanganku mulai kembali, aku tidak lagi berdiri di dunia yang kukenal.
Langit di atas kepalaku berwarna abu-abu pucat, tanpa matahari.
Tanahnya seperti cermin, memantulkan wajahku di setiap langkah.
Dan di sekelilingku, kabut tebal menutupi pandangan sejauh beberapa meter.
“Ryou?” panggilku pelan.
Hening.
“...Aki?”
Tak ada jawaban.
Aku berjalan perlahan, setiap langkah meninggalkan gema lembut yang anehnya terdengar seperti napas sendiri.
Tiba-tiba, dari balik kabut, terdengar suara langkah lain—pelan, ragu, tapi familiar.
“Siapa di sana?” suaraku sedikit bergetar.
Tak ada jawaban, hanya langkah yang makin dekat.
Aku mundur satu langkah, tapi sosok itu terus maju.
Ketika kabut terbuka, aku terdiam.
Sosok di depanku bukan orang asing.
Dia aku.
Bayangan itu menatapku dengan mata kelam—mata yang sama, tapi tanpa cahaya kehidupan.
Wajahnya datar, dingin, tanpa senyum.
Dia mengenakan pakaian yang sama seperti aku saat pertama kali datang ke dunia Akira: jas dokter putih, sedikit kotor oleh lumpur.
“Aku…?” suaraku hampir berbisik.
Bayangan itu mengangguk perlahan. “Ya. Aku adalah kau.”
Aku menelan ludah, menahan gemetar. “Apa maksudmu?”
“Aku adalah bagian yang kau tinggalkan,” jawabnya tenang. “Ketika kau memilih cinta daripada waktu. Ketika kau memutuskan untuk melupakan siapa dirimu di dunia asal.”
Aku menggeleng cepat. “Tidak… Aku tidak melupakan siapa pun. Aku hanya—”
“Kau kabur.”
Kata itu menamparku seperti cambuk.
“Kau kabur dari kesalahan, dari kehilangan, dari kenyataan bahwa dunia tidak bisa disatukan hanya dengan cinta.”
Aku ingin membantah, tapi kata-katanya… benar.
Selama ini, aku memang selalu lari—dari rumah sakit di masa kini, dari badai waktu, dari rasa bersalah karena membiarkan Akira menghilang.
Aku menunduk. “Kalau memang kau bayanganku, kenapa muncul sekarang?”
Bayangan itu tersenyum kecil, dingin. “Karena waktu memanggil kami semua kembali. Kau bisa menipu orang lain, tapi tidak bisa menipu waktu.”
Tiba-tiba, dari balik kabut muncul suara tangisan kecil.
Aku menoleh cepat.
Aki berdiri di kejauhan, memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar hebat.
“Aki!” aku berlari ke arahnya, tapi langkahku terhenti oleh dinding tak terlihat.
Bayanganku berjalan melewatiku, mendekati Aki.
“Lihat?” katanya sambil menatapku. “Dia keturunan waktu. Tapi dia tidak lahir untuk menyelamatkan dunia. Dia lahir untuk menggantikanmu.”
Aku menatapnya dengan marah. “Jangan sentuh dia!”
Bayanganku tertawa pelan. “Kau begitu takut kehilangan, sampai tidak sadar… dia adalah versi dirimu yang baru. Waktu tidak menciptakan keturunan. Waktu hanya mendaur ulang jiwa.”
Aku menatap Aki, dan untuk sesaat, aku melihat sesuatu di matanya—pantulan wajahku sendiri, tapi lebih muda, lebih polos, dan… tanpa rasa takut.
Seketika, aku mengerti.
Aki bukan hanya “anak waktu.”
Dia adalah bagian dari diriku yang lahir kembali.
Bagian yang masih bisa bermimpi tanpa beban masa lalu.
Bayanganku menatapku datar.
“Sekarang kau tahu, kan? Dunia tidak butuh dua Mika. Satu harus pergi.”
Aku maju selangkah. “Kalau memang begitu, aku tidak akan membiarkanmu mengambil dia. Biarlah aku yang lenyap.”
Dia terdiam. “Kau rela menghapus dirimu?”
Aku mengangguk. “Kalau itu bisa membuatnya hidup dengan bebas, ya.”
Tapi sebelum aku sempat melangkah, Aki menjerit.
“Jangan, Sensei!”
Tubuhnya diselimuti cahaya putih terang.
Dia menatapku sambil menangis. “Kalian berdua bukan musuh. Kalian satu.”
Bayangan itu memicingkan mata. “Apa yang kau tahu, anak kecil?”
Aki menggeleng cepat. “Aku bukan anak kecil! Aku waktu yang kalian berdua buat bersama!”
Langit bergetar.
Cahaya putih di tubuh Aki berubah menjadi biru, lalu menyebar ke seluruh permukaan tanah.
Bayanganku terlempar mundur, tapi tidak lenyap—malah berubah menjadi kabut, lalu menyelimuti tubuh Aki.
Aku menjerit. “Aki!”
Namun cahaya itu berhenti tiba-tiba, menyatukan dua sosok—Aki dan bayangan itu—menjadi satu bentuk.
Dari dalam kabut, muncul sosok baru: gadis muda berambut perak, matanya campuran biru dan abu-abu, mengenakan jubah dengan simbol spiral di dada.
Dia menatapku, suaranya lembut tapi bergema.
“Sekarang aku utuh.”
Aku mundur satu langkah. “Aki…?”
Dia tersenyum kecil. “Bukan hanya Aki. Aku adalah Waktu yang Hidup.”
Ryou muncul dari balik kabut, wajahnya pucat.
“Mika, mundur!”
Tapi aku menggeleng. “Tidak. Aku harus bicara dengannya.”
Aku mendekat pelan. “Kau bilang kau waktu yang hidup… berarti kau punya kehendak sendiri?”
Dia mengangguk. “Ya. Dan kehendakku sederhana — aku ingin berhenti berputar.”
Aku menatapnya kaget. “Berhenti?”
“Selama ini, waktu hanya berjalan untuk melayani cinta, takdir, atau sejarah. Tidak pernah untuk dirinya sendiri.”
Dia menatap tangannya yang bercahaya. “Tapi sekarang aku punya tubuh. Aku bisa memilih. Dan aku memilih diam.”
Tanah mulai bergetar.
Langit retak semakin besar, serpihan cermin jatuh seperti hujan kaca.
Ryou berteriak. “Kalau dia berhenti, seluruh dunia juga berhenti!”
Aku menatapnya. “Dia bukan musuh, Ryou. Dia… anakku.”
Dia menatapku bingung. “Apa?”
Aku mengulurkan tangan ke arah Aki—atau waktu, atau apapun dia sekarang.
“Kalau kau ingin diam, diamlah di sisiku. Jangan diam sendirian.”
Matanya melebar, dan untuk pertama kali, aku melihat air mata mengalir di wajahnya.
Dia melangkah maju, menyentuh tanganku.
Begitu kulit kami bersentuhan, cahaya biru menyelimuti kami berdua.
“Kau tidak takut berhenti?” bisiknya.
Aku tersenyum lemah. “Aku sudah berhenti berkali-kali. Tapi setiap kali hujan turun, aku selalu mulai lagi.”
Cahaya itu menelan kami, hangat, tidak menyakitkan.
Dunia bergetar keras sekali, lalu segalanya membeku.
Ketika aku membuka mata lagi, aku berdiri di padang bunga plum yang familiar.
Langitnya biru, udara segar.
Tapi tidak ada istana, tidak ada kota.
Hanya aku… dan Aki, berdiri di bawah pohon besar, tersenyum.
“Sensei,” katanya lembut.
Aku menatapnya. “Kita di mana?”
Dia menatap langit. “Di tengah waktu. Tempat waktu beristirahat.”
Aku menatap sekeliling, lalu menatap wajahnya.
“Apa kita akan tinggal di sini selamanya?”
Dia menggeleng. “Tidak. Kita akan hidup lagi. Tapi kali ini, bukan untuk memperbaiki waktu. Hanya untuk menjalaninya.”
Aku tersenyum, dan angin berembus lembut membawa aroma hujan.
“Baiklah,” kataku pelan. “Kali ini, biar waktu yang mengikuti kita.”