Setelah tau jika dia bukan putri kandung Varen Andreas, Lea Amara tidak merasa kecewa maupun sedih. Akan tetapi sebaliknya, dia justru bahagia karena dengan begitu tidak ada penghalang untuk dia bisa memilikinya lebih dari sekedar seorang ayah.
Perasaannya mungkin dianggap tak wajar karena mencintai sosok pria yang telah merawatnya dari bayi, dan membesarkan nya dengan segenap kasih sayang. Tapi itu lah kenyataan yang tak bisa dielak. Dia mencintainya tanpa syarat, tanpa mengenal usia, waktu, maupun statusnya sebagai seorang anak.
Mampukah Lea menaklukan hati Varen Andreas yang membeku dan menolak keras cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MCD 24
Varen meminta Rey untuk segera membawa Selly ke rumah sakit. Karena khawatir ada luka serius yang di terima Selly akibat ulah brutal putrinya.
Meski sebenarnya ada yang ingin Varen tanyakan pada Rey mengenai keberadaan Selly di kantor, tapi melihat kondisi selly yang belum sadarkan diri, niat nya itu terpaksa di urungkan demi menolong nyawa Selly lebih dulu.
Rey dibantu satpam dan seorang staf segera melaksanakan perintah Varen membawa Selly menggunakan tandu.
Tanpa Varen sadari, Lea sejak tadi memperhatikan gerak gerik dan raut wajah cemasnya.
Sorot mata Varen bahkan terus mengikuti langkah ketiga pria yang menggotong Selly hingga menjauh tanpa berkedip.
"Kenapa Daddy terlihat sangat khawatir pada orang itu? Apa mereka ada hubungan?" Batin Lea menerka-nerka dengan perasaan tak enak. Bahkan Varen lebih mencemaskan wanita itu ketimbang dirinya yang sebenarnya juga butuh pengobatan.
Di saat Varen memperhatikan orang-orang yang membawa Selly, Lea yang merasa kecewa melangkah mundur. Namun saat dia berbalik dan akan pergi, Varen sigap menahan tangannya dengan wajah datar dan pandangan lurus menjurus ke depan.
Lea mencoba menepis tangan Varen, tapi tenaganya terlalu kuat untuk di lawan, sehingga menyulitkan dirinya untuk bisa lepas. Akhirnya, Lea pasrah dan berbalik ke semula.
Setelah ketiga pria itu tak tampak lagi, pandangan Varen beralih pada Jhon dan Ronald. Dia berkata pada mereka dengan penyesalan." Saya mohon maaf atas peristiwa tadi. Mestinya Tuan tidak melihat adegan memalukan ini di kantor saya."
Varen yang berbicara pada kedua pria itu tapi hati Lea yang menceos mendengarnya, karena perbuatan nya dianggap memalukan oleh lelaki itu.
Memang sih, bertengkar sampai guling-gulingan di lantai terkesan seperti anak kecil. Tapi bagaimana lagi, Lea hanya ingin mempertahankan harga dirinya yang di injak wanita itu.
"Tidak apa-apa Tuan Varen. But anyway, putri Tuan jago bela diri juga rupanya." Tatapan aneh pria paruh baya itu mengarah pada Lea yang hanya diam menunduk.
Jujur, Varen tak suka melihat tatapan mesum pria itu pada Lea. Namun hal itu harus dia tahan dan berusaha bersikap profesional demi terjalinnya kerja sama yang belum sepenuhnya deal.
"Betul sekali Tuan Jhon. Saya memang mengharuskan putri saya untuk menguasai ilmu bela diri, supaya dia bisa menjaga dirinya dari pelecehan pria-pria hidung belang."
Varen tersenyum samar melihat wajah tegang Jhon. Tampaknya pria itu merasa salah satu dari pria-pria hidung belang yang Varen katakan.
"Ee...kalau begitu kami permisi dulu Tuan Varen," pamit Jhon dengan sikap salah tingkah.
"Silahkan Tuan. Sekali lagi terima kasih untuk pertemuan hari ini. Semoga pertemuan berikutnya menghasilkan kesepakatan bersama."
"Baik Tuan. Mudah-mudahan saja." Sekali lagi, Jhon melihat pada Lea sebelum pria itu pergi.
Setelah Jhon beserta asistennya pergi, Varen segera menarik Lea membawanya tanpa bersuara. Begitu pun dengan Lea. Gadis itu memilih diam dan mengikuti langkah kaki Varen.
"Duduk!" Varen melepaskan tangan Lea, dan meminta Lea untuk duduk di sofa begitu mereka berada di ruang kerja Varen.
Lea menuruti permintaan Varen untuk duduk di sofa meski hatinya kesal.
Varen tampak sibuk wara wiri seperti mencari sesuatu yang sangat penting. Entah apa yang dicarinya. Tak hanya itu, Varen juga sibuk menghubungi seseorang. Namun, Lea tak cukup jelas mendengar apa yang di bicarakan Varen pada orang-orang yang dihubunginya itu.
Setelah Varen selesai dengan urusannya, dia duduk di samping Lea. Menyandarkan punggungnya dan memijit keningnya yang terasa ingin pecah.
Lea hanya duduk dalam diam. Bergerak pun tidak apalagi bersuara. Dia merasa malas untuk melakukan dua hal tersebut. Lebih baik jadi patung saja pikir Lea.
Sekian menit dilalui dengan saling diam-diaman, Varen yang pikirannya mulai agak tenangan akhirnya bersuara dan menuntut penjelasan pada Lea.
"Kamu tidak mau cerita apa yang sudah terjadi?"
"Apa yang mau aku diceritakan? toh, Daddy sudah melihat apa yang terjadi." Lea menyahut acuh.
Varen mendesah kasar. Dia berkata lagi." Maksud Daddy, kronologi sebelum kamu menghajar wanita itu."
"Maksud Daddy, Celine ?"
Varen terdiam dengan pandangan mengarah pada wajah Lea yang menghadap lurus ke depan.
"Daddy mengenalnya? Apa dia wanita special Daddy?
Varen mengibaskan kepalanya, dan lekas duduk tegak. Mengusap jambangnya yang mulai tumbuh panjang.
"Daddy hanya ingin tau bagaimana kronologi nya kamu bisa menghajar wanita itu. Bukan meminta kamu untuk berpikir yang macam-macam."
"Tinggal jawab 'ya atau tidak' apa susahnya."
Lagi lagi, Varen terdiam karena bingung untuk menjelaskan nya pada Lea. Mengaku ya, tapi rasanya sangat berat karena dia sudah tak ingin mengenal wanita itu lagi. Mengaku tidak, tapi nyatanya dia pernah mengenalnya meski hanya lima tahun.
Varen menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menjawab apa yang di mau Lea.
"Ya. Daddy mengenalnya. Tapi sudah belasan tahun lamanya kami tidak pernah bertemu lagi." Dengan berat hati, Varen akhirnya mengakuinya. Dia tak ingin membuat Lea bertanya-tanya yang tiada ujungnya karena tak kunjung menemukan jawaban jujur darinya.
Lea manggut-manggut pelan. Kini dia mengerti mengapa sang Daddy tadi terlihat sangat mencemaskan wanita itu. Ternyata wanita itu merupakan teman lamanya.
"Sekarang kamu jelaskan pada Daddy, kenapa kamu bisa menghajar dia? Daddy meminta kamu belajar ilmu bela diri supaya kamu bisa melindungi diri mu dari orang-orang jahat yang ingin mencelakai kamu bukan untuk menghajar orang yang lemah."
"Daddy menyalahkan aku?" Lea langsung berdiri dan menatap marah pada Varen karena merasa Varen seperti menyalahkan dirinya.
"Bukan. Bukan begitu maksud Daddy." Varen ikut berdiri. Dia menyesal telah berkata yang membuat Lea tersinggung.
"Asal Daddy tau saja. Aku tidak menghajar wanita itu tapi kami saling hajar. Dan dia bukan orang lemah yang seperti Daddy katakan. Lihat, lihat aku, dad. Mana ada orang Lemah bisa merobek baju ku dan melukai fisikku."
Varen terdiam. Sorot matanya menelisik tubuh Lea yang terdapat beberapa luka. Begitu pun dengan pakaian nya yang sudah tak lagi layak pakai.
"Kenapa aku tersulut emosi sampai aku menghajar dia? karena tidak akan ada api tanpa korek. Dia yang menyulut api duluan dan api itu menyambar dirinya karena tubuhnya dipenuhi dengan bahan bakar. Tidak ada akibat tanpa sebab, dan penyebabnya adalah dirinya sendiri. Lalu, Daddy mau menyalahkan aku karena Daddy melihatnya pada saat wanita itu sudah kalah dari ku dan tidak berdaya seolah-olah aku lah yang menganiaya dia sampai babak belur?"
"Lea_"
"Diam dulu, Dad. Aku belum selesai bicara." Lea melotot pada Varen membuat pria itu terperangah. Lea benar-benar sedang meluapkan emosinya sampai berani membentak dirinya.
"Aku_"
Tok
Tok
Lea memutus ucapan yang baru satu kata begitu mendengar suara ketukan pintu.
Tak lama, July muncul di ambang pintu.
"Permisi, Tuan. Saya membawakan pesanan yang Tuan pinta."
"Kau letakkan di situ."
"Baik, Tuan." July segera meletakan pesanan Varen di tempat yang di tunjuk. Setelahnya, dia pamit keluar.
Varen segera mengambil paper bag dan kotak obat yang di letakan July di atas meja kerjanya.
"Daddy obati luka mu dulu. Setelah itu, kamu boleh marahin Daddy lagi sepuas mu." Varen berkata dengan sangat lembut. Sikapnya itu mampu sedikit meredakan luapan emosi Lea yang tengah berkobar.