Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Permintaan Om Haikal
Saat itu aku tak sepenuhnya setuju dengan apa yang ibuku katakan. Memang benar kita harus melihat jauh ke depan dan memikirkan hal terburuk yang mungkin terjadi, tapi rasanya hal itu terlalu negative thinking buatku. Bukankah kita harus berpikir bahwa pernikahan yang akan kita jalani adalah hal baik yang akan berlangsung seumur hidup?
Tapi akhirnya aku mengiyakan saja nasehat ibuku. Karena, pernikahan? Untuk sekarang pacar pun aku tak punya. Kecuali orang tuaku menjodohkanku, aku tak akan menolak. Aku tidak muluk-muluk. Bahkan aku menantikannya. Karena mencari jodoh dengan pilihanku sendiri, aku tak yakin bisa mendapatkan yang terbaik. Selama mengenal beberapa pria yang Rita kenalkan padaku, selalu saja wajah Gaga yang terbayang. Tanpa sadar aku selalu membandingkannya dengan Gaga.
Seorang Gaga yang secara fisik begitu sempurna. Ia juga pintar dan bisa diandalkan, bahkan sekarang ia memiliki pekerjaan yang mapan sesuai dengan impiannya dulu yaitu menjadi seorang pengacara. Sulit rasanya untuk mencari seorang pria yang bisa menandingi Gaga.
Standarku terlanjur setinggi itu.
Sehingga aku pun bertekad jika orang tuaku menjodohkanku dengan seorang pria pilihan mereka, aku akan menerimanya.
Dan entah bagaimana, hari itu aku benar-benar bertemu dengannya, pria yang orang tua jodohkan denganku. Dan kalian tahu, pria itu adalah pria yang selalu menjadi mimpiku selama ini.
Ya, mimpiku tiba-tiba saja berubah nyata.
Setelah makan malam dan membersihkan diri, aku ke kamarku untuk beristirahat. Namun tiba-tiba saja ayahku menelpon. Katanya, "Ra, bisa ke rumah Pak Haikal sebentar?"
Aku pun bertanya-tanya. Ada apa aku dipanggil ke rumah orang tua Gaga? Dengan semangat aku pun datang ke seberang rumah. Aku selalu senang jika harus bertemu dengan Om Haikal. Selama ini walaupun aku tak pernah lagi bertemu Gaga, setiap kali pulang ke Bandung, aku selalu menyempatkan diri bertemu dengan Om Haikal, walaupun hanya sekedar menyapanya.
Saat tiba di depan pagar rumah Om Haikal sebuah mobil berhenti. Seorang pria dengan setelan kantor tanpa dasi, dengan lengan dilinting hingga ke lengan, turun dari mobil itu. Ia menatapku yang berdiri di depan pagar dan menghampiri.
"Mau ke rumah?" tanyanya dengan suaranya yang rendah dan syahdu.
Karena terlalu terkejut aku sampai tak bisa menjawabnya.
"Lo dari dulu emang aneh. Ditanya malah diem," dumelnya saat aku tak kunjung menjawab. Kemudian ia membuka pintu pagar dan masuk ke dalam rumah itu.
Bagaimana bisa aku menjawab saat tiba-tiba saja Gaga berdiri di hadapanku, dan berbicara padaku dengan gaya ketusnya seperti biasa?
Bagaimana bisa aku menjawab di saat ia terlihat jauh lebih tampan dan dewasa? Wangi parfumnya yang tercium lebih maskulin dari sebelumnya, bahkan aku tahu ia berganti parfum.
Bagaimana bisa aku melupakannya sedangkan setiap kali bertemu aku selalu seperti ini? Jatuh cinta lagi dan lagi padanya? Padahal Gaga tak melakukan apapun, bertemu dengannya pun bisa dihitung jari di setiap tahunnya, tapi aku selalu seperti ini.
Katakan bagaimana bisa aku terperangkap dalam cintaku sendiri dan tak pernah bisa lepas?
Lelah sekali berada dalam situasi ini, tapi aku tak berdaya menghapus Gaga dari dalam hatiku. Bagian dalam diriku tak pernah bisa mengizinkan itu.
Aku pun berusaha menguasai diri dan masuk ke dalam rumah Gaga. Di dalam, ayahku, Om Haikal, dan juga Gaga duduk di sofa ruang tamu. Mereka semua menatap ke arahku saat aku datang.
"Rara," sapa Om Haikal. Beliau terlihat pucat dan kurus.
Beberapa bulan terakhir Om Haikal memang sakit. Namun aku tak tahu seberapa parah sakitnya, tapi kondisinya benar-benar memprihatinkan. Om Haikal yang dulu gagah dan tampan, seperti Gaga, sudah berubah menjadi lemah dan kurus seperti ini.
"Assalamualaikum, Om." Ku salami tangannya yang hangat dan penuh luka tusukan jarum infus.
"Waalaikumsalam, duduk, Ra." Om Haikal mempersilahkan.
Om Haikal duduk bersebelahan dengan ayahku, di seberang mereka, Gaga duduk di sofa panjang, tak ada kursi lagi di sana sehingga aku pun duduk di sebelah Gaga dengan jantung yang berdebar tak karuan. Tak pernah aku duduk sedekat ini dengan Gaga.
"Gimana, Pak Heri, benar apa kata saya, mereka serasi, 'kan?" ucap Om Haikal.
Sontak aku semakin merasakan debaran itu semakin kencang hingga aku khawatir Gaga akan mendengarnya. Apa maksud ucapan Om Haikal?
"Maksud Papa apa?" tanya Gaga dengan nada dinginnya.
"Bersikaplah lebih hangat, Nak. Ada Pak Heri dan Rara di sini," tegur Om Haikal. "Baiklah, Papa akan mengatakan kenapa Papa minta kamu pulang."
Aku semakin berdebar. Ku lirik ke arah Gaga sekilas, ia duduk dengan tatapan dinginnya.
"Kamu tahu, waktu Papa sudah tidak lama lagi."
Apa? Memangnya Om Haikal sakit apa?
"Sebelum Papa dipanggil pulang, Papa ingin kamu menikah." Tatapan Om Haikal bergantian pada Gaga dan padaku. "Papa ingin melihat kamu menikah dengan Rara."