"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Luka yang Tak Terlihat
Mentari belum sepenuhnya menampakkan diri di balik kabut tipis yang masih menggantung di lereng. Cakra terbangun lebih awal dari biasanya, perasaannya tidak enak sejak membuka mata. Biasanya, Shifa akan terlihat sibuk sejak pagi—membantu menyiapkan logistik medis atau sekadar duduk di luar tenda dengan segelas kopi instan di tangannya. Tapi pagi ini, tak ada sosok itu.
Langkahnya cepat namun senyap menyusuri deretan tenda. Saat ia membuka flap tenda medis, hawa di dalam langsung terasa lebih lembap dan sunyi. Di sudut, ia menemukan Shifa berbaring, tubuhnya terbungkus selimut tipis, wajahnya pucat, dan bibirnya kering. Keringat dingin membasahi pelipisnya, namun tubuhnya justru menggigil.
“Shifa...?” panggil Cakra pelan, setengah berbisik. Tak ada respons, hanya gumaman tak jelas dari bibirnya. Naluri perlindungan Cakra langsung menyala. Ia segera keluar dan memanggil dokter jaga yang kebetulan belum pergi bersama tim awal. Setelah diperiksa, sang dokter hanya mengangguk pelan. “Kemungkinan besar karena kelelahan, hipotermia ringan. Cuaca semalam terlalu ekstrem.”
Cakra menghela napas berat. Ia lalu kembali masuk dan berjongkok di sisi Shifa. Jemarinya perlahan menyibak rambut yang menempel di kening perempuan itu, lalu ia tempelkan punggung tangannya ke dahi Shifa—panasnya cukup tinggi. “Istirahatlah, Dek,” ujarnya pelan, dengan suara nyaris bergetar. “Abang akan lanjutkan pencarian. Kamu jangan banyak pikiran.”
‘Dek’—panggilan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tapi anehnya, ia tidak merasa kikuk. Justru... hangat. Seolah memang sudah seharusnya begitu. Shifa tampak sedikit membuka mata, samar. Ia tidak bicara, hanya mengerjap pelan dan menggenggam jari Cakra sesaat, sebelum kembali terlelap. Dengan lembut, Cakra melepaskan genggamannya dan berdiri. Di luar, ia memanggil dua relawan perempuan dan memberi instruksi singkat. “Tolong jaga dia. Kalau suhu tubuhnya naik lagi, beri tahu dokter. Jangan biarkan dia sendirian.”
Mereka mengangguk. Sebelum melangkah pergi, Cakra sempat menoleh sekali lagi ke arah tenda. Lalu menarik napas dalam-dalam.Hari ini, ia harus menyelami medan yang lebih sulit. Tapi tanpa disadarinya, beban di dadanya sudah jauh lebih berat dari sekadar batu, tanah, dan lumpur—karena seseorang kini mulai mengisi ruang-ruang sunyi dalam hatinya.
Langkah-langkah berat bergema pelan di antara semak basah dan akar-akar pohon yang menonjol. Kabut belum sepenuhnya sirna, menambah kesan muram pada pagi yang seharusnya menjanjikan harapan. Tim pencari hari ini bergerak ke arah barat daya, menjauhi jalur kemarin yang mulai dianggap terlalu berisiko.
Udara lembap dan tanah licin membuat langkah semakin berat. Beberapa anggota mulai terlihat kelelahan, tapi tak ada yang mengeluh. Semuanya tahu, misi ini lebih dari sekadar pencarian—ini tentang rasa tanggung jawab dan nyawa yang belum diketahui nasibnya.
Cakra, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti. Matanya tajam menatap sesuatu di tanah—jejak kaki. Tapi arah jejak itu menyimpang, menuju timur laut, seolah seseorang berusaha keluar dari jalur utama. Ia memberi isyarat diam, dan tim mengikuti arah pandangnya. Beberapa meter dari sana, mereka menemukan sesuatu yang ganjil: sebuah ransel tergantung di dahan pohon, setinggi hampir dua meter dari tanah. Terlalu tinggi untuk dikatakan jatuh secara alami.
Cakra mendekat, memeriksa ransel itu tanpa menyentuhnya. Lalu pandangannya berpindah ke sebuah bivak yang berdiri tak jauh dari sana—kosong, tapi masih ada sisa kehangatan di dalamnya. Puntung api unggun yang belum lama padam, jejak duduk, dan bungkusan makanan instan yang belum habis.
“Tempat ini baru ditinggal\,” gumamnya\, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tiba-tiba\, dari arah belakang\, terdengar suara teriakan\, membuat seluruh tim sontak menoleh. “May*t! Danton\, ada may*t!” Cakra berlari menghampiri\, diikuti oleh yang lain. Di sebuah ceruk kecil di antara dua batu besar\, sebuah tubuh tergeletak dalam posisi terlentang\, pakaian lusuhnya sudah basah oleh tanah dan lumut.
Wajahnya pucat, mata tertutup, tangan tertekuk di samping badan. Aroma tanah basah bercampur dengan samar bau anyir besi yang menyengat. Cakra perlahan mendekat dan berlutut, memeriksa identitas korban. Tapi sebelum ia sempat membuka saku baju korban, salah satu polisi yang ikut bersama mereka menyela dengan wajah terkejut.
“Itu… kepala desa yang hilang dua hari lalu…”
Seluruh tim terpaku. Cakra secara refleks melangkah mundur, menahan napas. Ia belum pernah bertemu langsung dengan kepala desa itu, tapi pernah mendengar deskripsi wajahnya. Seorang relawan membuka kantung jenazah dan mulai bersiap melakukan evakuasi. Tapi saat mereka menggulung tubuh itu, terlihat bekas luka tembak di bagian dada—jelas dan mengerikan.
“Ditemb*k…” gumam salah satu polisi. Suasana berubah hening. Tegang. Ada sesuatu yang jauh lebih serius dari dugaan awal mereka. Ini bukan hanya pencarian orang hilang. Cakra menatap tubuh itu lama, lalu menoleh ke arah hutan yang semakin pekat. “Cukup untuk hari ini. Kita kembali ke pos,” ucapnya pelan namun tegas. Sementara relawan dan polisi mengurus jenazah, Cakra memimpin tim kembali. Langkahnya cepat, tapi raut wajahnya lebih pucat dari biasanya.
Ketika tiba di pos, Shifa yang sudah mulai pulih menyambutnya di depan tenda. Saat melihat wajah Cakra yang tegang dan mata yang kosong, ia langsung tahu—ada sesuatu yang tidak beres. “Bang?” panggilnya pelan.
Cakra hanya menatapnya sesaat, lalu berbisik, “Aku… baru saja melihat sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya.” Itu adalah pertama kalinya Shifa melihat sisi Cakra yang goyah.
Suasana di pos tampak lebih lengang dari biasanya. Angin pagi membawa aroma kayu basah dan sisa embun yang belum sepenuhnya menguap. Namun di antara tenda dan aktivitas yang tetap berjalan, satu sosok terlihat berbeda. Cakra duduk diam di depan tenda komando, menatap lurus ke arah hutan, seolah masih bisa melihat bayangan tubuh yang tadi pagi ia temukan. Wajahnya kosong, pandangannya dalam, dan tangannya menggenggam secangkir kopi yang dari tadi tak disentuh.
Shifa memperhatikannya dari kejauhan. Bagi perempuan itu, Cakra adalah sosok yang jarang menunjukkan kelemahannya selalu tegas, selalu tenang. Tapi kini, ia seperti seseorang yang kehilangan arah. Ia mendekat pelan. “Bang… mau cerita?” tanyanya hati-hati.
Cakra menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Nanti, Dek. Abang cuma…lagi pengn sendiri.” Bukan hanya Cakra. Beberapa relawan yang ikut dalam pencarian kemarin juga mulai menunjukkan gejala serupa—murung, sulit tidur, bahkan ada yang panik saat mendengar suara tembakan latihan dari kejauhan. Akhirnya, atas evaluasi dari komandan wilayah, Cakra dan timnya diberi waktu istirahat selama beberapa hari. Pos akan diisi oleh polisi dan relawan lokal yang sudah dibekali informasi lapangan.
Cakra dan Shifa memutuskan menghabiskan waktu singkat itu di kota terdekat. Mereka berjalan menyusuri taman kecil, menikmati udara tanpa kabut, dan aroma kopi dari kedai pinggir jalan. Walau begitu, sesekali Shifa melihat Cakra termenung, seolah pikirannya belum benar-benar pergi dari lereng itu. “Bang, boleh egois sebentar?” tanya Shifa. Cakra menoleh. “Aku cuma pengen abang cerita. Walaupun gak sekarang… tapi jangan simpan semua sendiri.”
Cakra akhirnya mengangguk. Lirih, tapi penuh arti. Namun, kebebasan itu tidak bertahan lama. Saat mereka kembali ke pos dua hari kemudian, sebuah laporan sudah menunggu di meja Cakra. Salah satu anggota yang sebelumnya dianggap hilang... ternyata hidup. Tapi dalam kondisi yang lebih buruk—ia disandera oleh kelompok pemberontak. Berita itu membuat seluruh pos kembali siaga.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf