Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Pertengkaran Di Pagi Hari
Eva terbangun dari tidurnya. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis di jendela kamar, menciptakan bayangan samar di dinding. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada sisi ranjang yang kosong. Dingin. Sepi. Tak ada siapa pun di sana. Tak ada jejak kehangatan. Tak ada Mas Ardian.
Dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menindihnya. Hanya desahan kecil yang keluar dari bibirnya, tipis dan lirih, seperti sisa napas yang tertahan sejak semalam. Sudah berapa kali? Sudah berapa malam dia tidur sendiri, bertanya-tanya dalam hening yang menusuk?
Dengan gerakan lamban, Eva bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya berat, seakan lantai kamar pun ikut merasakan kesedihan yang menggumpal di hatinya. Ia melangkah menuju kamar mandi. Lampu dinyalakan, dan cermin besar di hadapannya menampilkan pantulan dirinya—wanita dengan rambut kusut, mata sembab, dan tatapan kosong yang kehilangan cahaya.
Lama ia menatap wajah itu. Wajah yang dulu selalu dipuji oleh Ardian, yang katanya membuatnya jatuh cinta sejak pandangan pertama. Kini, wajah itu hanya dihampiri tanya dan keraguan.
Air mata menggenang di pelupuk matanya saat ia berkata pelan, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri,
"Apakah aku sudah tidak menarik lagi di mata Mas Ardian?" Suaranya bergetar.
"Apa karena... karena aku belum mampu memberikan dia keturunan?" Suara itu makin lirih, nyaris tercekat.
"Apakah dia mulai bosan padaku? Atau... ada perempuan lain yang kini mengisi hatinya?"
Satu tetes air mata jatuh ke wastafel, disusul oleh tetesan lainnya. Ia tidak tahu lagi mana yang lebih menyakitkan—ketidakhadiran Ardian secara fisik, atau ketidakhadiran hatinya yang perlahan menghilang tanpa jejak.
Eva mengusap air matanya perlahan, seolah tak ingin tangis itu meninggalkan jejak. Ia mencoba tersenyum di depan cermin, senyuman pahit yang bahkan dirinya sendiri tak percaya. Ia mengambil handuk, membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa membekukan rasa yang menghanguskan hatinya sejak tadi malam. Tapi sia-sia. Rasa itu tetap ada. Perihnya tak mau pergi.
Usai membersihkan diri, Eva mengenakan daster rumah berwarna lembut—pemberian Ardian di ulang tahun pernikahan mereka yang kedua. Daster itu masih menyimpan aroma kenangan, tapi kini hanya menyisakan kehampaan. Ia melangkah ke dapur, membuat secangkir teh hangat, lalu duduk di meja makan yang terlampau besar untuk satu orang.
Meja itu dulunya tempat mereka bercanda, saling menyuapi, saling bertukar cerita tentang hari yang panjang. Tapi sekarang, hanya suara denting sendok yang menemani. Hening yang menggigit.
Ponselnya tergeletak di meja. Eva memandangi layar yang tak juga menyala. Tak ada pesan. Tak ada panggilan. Tidak ada kabar dari Ardian sejak kemarin siang. Perlahan ia mengambil ponsel itu dan membuka percakapan terakhir mereka. Satu chat terakhir yang dikirim Eva malam tadi: "Mas, kamu pulang nggak malam ini?"
Masih centang dua. Belum dibaca.
Perutnya mual. Tapi bukan karena lapar. Melainkan karena rasa cemas dan pikiran buruk yang terus menghantui. Ia mencoba menepisnya, tapi otaknya terlalu keras kepala untuk percaya pada alasan "sibuk kerja" yang entah keberapa kali diulang Ardian.
Tiba-tiba, Eva berdiri. Ia membuka lemari, menarik kotak sepatu dari bawah tumpukan pakaian. Di dalamnya, ada tumpukan foto-foto pernikahan mereka, surat-surat cinta, dan test pack yang selalu menunjukkan satu garis. Matanya berkaca-kaca saat menyentuh benda-benda itu.
"Aku sudah mencoba, Mas..." bisiknya lirih, hampir tak terdengar. "Aku sudah berusaha sekuat yang aku bisa."
Dan saat itulah, sebuah suara pelan terdengar dari arah pintu depan. Bunyi kunci diputar. Pintu terbuka perlahan. Eva terpaku, tubuhnya menegang. Jantungnya berdegup kencang.
Langkah kaki masuk ke dalam rumah. Suara yang sangat dikenalnya.
Ardian pulang.
Langkah kaki itu semakin mendekat, terdengar berat dan pelan, seakan tahu bahwa ada badai yang menunggunya di dalam rumah. Eva berdiri di ruang tamu, menatap pintu dengan dada yang bergemuruh seperti genderang perang. Ia menggenggam ujung dasternya erat-erat, berusaha menahan getaran di tangan dan air mata yang sudah nyaris tumpah.
Ardian muncul di ambang pintu. Tubuhnya tampak lelah, wajahnya kusut, rambutnya berantakan. Padahal, ini masih pagi. Ardian terlihat seperti kurang tidur. Ia tertegun melihat Eva berdiri di sana. Untuk beberapa detik, tak ada yang berkata apa pun. Hanya mata yang saling menatap, menyimpan begitu banyak kata yang tertahan.
“Kamu pulang juga,” ucap Eva pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Ardian menunduk, seperti tak sanggup menatap mata istrinya. “Maaf… semalam lembur. Aku capek banget. Aku mau istirahat."
Eva tertawa kecil, pahit. “Lembur?” katanya dengan suara serak. “Masih bisa kamu bilang itu dengan wajah seperti itu?” Matanya mulai berkaca-kaca. “Berhari-hari kamu pulang larut, kadang nggak pulang sama sekali… dan aku terus menunggu, terus percaya kamu cuma capek kerja.”
“Eva…” Ardian maju selangkah.
“Jangan panggil namaku seperti itu,” potong Eva, suaranya mulai meninggi. “Apa aku nggak cukup, Mas? Apa aku sudah berubah sampai kamu nggak mau lagi pulang ke rumah ini? Atau karena aku belum bisa kasih kamu anak?!”
Tubuh Eva gemetar, air matanya mulai jatuh satu-satu. Ardian terdiam, wajahnya tegang. Ia membuka mulut, lalu menutupnya kembali, seolah tak tahu harus berkata apa.
"Bukan seperti itu, aku ..."
“Jujur sama aku, Mas. Aku cuma mau tahu… masih ada aku nggak, di hatimu? Masih ada rumah ini buat kamu, atau sudah ada tempat lain yang lebih nyaman?”
"Eva, bisakah nanti saja kita membahas hal ini? Aku sangat lelah dan mengantuk."
"Aku ingin bicara sekarang, jangan menunda nya lagi, Mas."
Ardian memejamkan matanya. Tangannya mengepal. Ia tampak berperang dengan dirinya sendiri. “Eva, kamu akan selalu ada di hatiku. Kamu lah satu-satunya tempat ternyaman ku untuk pulang."
Eva terhuyung mendengar itu. “ Lalu, kenapa kamu membiarkan aku sendirian. Aku... aku tiap malam tidur sambil meremas bantal, berharap kamu masuk kamar dan bilang semua akan baik-baik saja.”
Ia menangis sekarang, tak bisa menahannya lagi. “Aku nggak butuh kamu jadi sempurna, Mas. Aku cuma butuh kamu tetap ada. Genggam tanganku. Yakinkan aku bahwa kita masih bisa hadapi ini bareng.”
Ardian akhirnya melangkah maju, ingin memeluk Eva. Namun, Eva dengan tegas menolak pelukan itu.
"Jangan pikir, dengan memelukku lagi, kamu bisa seenaknya meluluhkan perasaan ku, Mas. Aku sudah cukup lelah dengan semua ini."
"Apa maksud mu?"
"Aku ingin kita bercerai."
"Tidak! Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikan kamu!" seru Ardian
"Untuk apa kita masih bersama, kalau status ku seperti ini. Aku gadis bukan, janda bukan, perawan juga bukan." ucap Eva dengan tertawa miris, dia merasa hidupnya konyol sekali.
"Eva..."
"Diam! Aku belum selesai bicara." potong Eva dengan nada sarkasme, lalu dia melanjutkan. "Sebenarnya, apa alasan kamu seperti ini? Kamu punya banyak harta, kekayaan mu tidak akan pernah habis tujuh turunan. Tapi, kamu masih saja sibuk bekerja. Dan kamu sangat jarang meluangkan waktu mu bersamaku tiga tahun terakhir ini. Kalau kamu sudah bosan padaku, kamu bilang saja, Mas. Aku siap kok berpisah dengan kamu."
"Berulang kali aku katakan, aku tidak ingin berpisah dengan kamu!" ucap Ardian dengan nada kesal, dia sangat lelah setelah bergadang semalaman di rumah istri sirinya. Kini, pulang ke rumah berharap ketenangan, justru istrinya mengajak dia bertengkar dan ingin berpisah. Emosi nya benar-benar di uji kali ini.
***