Edrico Stevanus, pria single, belum pernah menikah, tiba-tiba harus menjadi hot daddy? Bagaimana bisa?
Ikuti yuk petualangan Rico—sang bodyguard dalam keribetannya mengurus seorang balita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 ~ Menyesal
“Lakukan yang terbaik, Dok! Tolong sembuhkan wanita itu. Dan kalau boleh, tolong tes DNA dengan anak ini,” pinta Rico.
“Tidak perlu!” Suara Lala menginterupsi.
Terkejut? Tentu saja. Rico baru teringat telah meninggalkan Lala seorang diri di klinik kecantikan tadi. Mata Rico melebar dengan mulut menganga. “Sa ... sayang, maaf ....”
“Tidak usah tes DNA. Mereka memang ibu dan anak,” ucap Lala berdiri tepat di depan Rico.
“Apa?! Bagaimana bisa kamu tahu, La? Sejak kapan?” Rico berdiri bersama Rain dalam gendongannya. Tatapannya mengintimidasi.
Rain tidak mengerti pembicaraan orang-orang dewasa itu. Hanya melirik ke arah Lala, tanpa melepas rangkulan tangannya.
Lala menelan saliva dengan berat ketika Rico berucap dengan nada sedikit tinggi, ia tersenyum getir sembari berucap, “Sejak mereka bertemu pertama kali. Aku mendengar semuanya. Itu sebabnya Rain bisa langsung akrab dengan Mbak Airin.”
Bibir Rico mencebik, ia merasa dipermainkan. Terkekeh pelan sembari memutar bola matanya malas. Rico beralih pada dokter, “Silakan, Dok. Saya akan urus administrasinya.”
Dokter mengangguk, lalu kembali masuk untuk memberikan perawatan selanjutnya pada Airin.
“Maaf, aku hanya tidak ingin memisahkan mereka. Aku seorang wanita, tentu bisa mengerti perasaan Mbak Airin yang terpisah dengan anaknya.” Lala menunduk, tidak berani menatap Rico yang mulai emosi.
Perlahan, Rico menurunkan Rain dari gendongannya. Deru napasnya terdengar kasar, “Kenapa tidak bilang sedari awal? Aku merasa seperti orang bodoh tahu nggak?” sentak lelaki itu.
“Aku takut kamu akan mengusirnya. Lagi pula, kamu tahu sendiri suami Airin mengincarnya. Sepertinya mereka akan aman bersamamu,” aku Lala masih menunduk.
Rico berkacak pinggang, “Mana mungkin aku mengusirnya kalau Rain saja sudah resmi menjadi anakku, La!” Emosinya meledak namun di tempat yang tak seharusnya. Kecewa karena Lala bahkan terlibat dalam kebohongan itu hingga membuatnya seperti orang paling bodoh di dunia ini.
Cengkeraman di ujung gaun Lala semakin kuat. Dadanya bergetar hebat dengan rasa sesak yang menggulung. Hidungnya sudah memerah menahan tangis.
“Tuan, mari. Nyonya Airin segera dipindahkan,” ucap seorang suster menghampiri.
Rico menghela napas berat. Tersadar bahwa tak seharusnya bersikap seperti itu pada sang kekasih. “Maaf, aku terbawa emosi,” ucapnya mengusap lengan Lala lalu mengajaknya ikut bersamanya. “Ayo, Sayang.”
Terlanjur, hati Lala sudah terlanjur hancur. Bahkan dalam sekali bentakan. Tenggorokannya tercekat sampai rasanya kesulitan untuk bernapas. Tangannya menyeka air mata dengan cepat. Sepasang kaki jenjangnya turut mengekori langkah Rico.
...\=\=\=\=°°°\=\=\=\=...
“Ibu!” panggil Rain berlari, menyentuh lengan ibunya. Lala tidak ingin masuk, hanya menatap mereka dari ambang pintu. Bersandar pada bingkai kayu bercat putih itu.
“Biarkan ibumu istirahat, Rain. Sini!” ucap Rico menepuk pahanya agar Rain mau duduk di pangkuannya.
“Apa tangan ibu sakit, Yah. Kenapa diplester?”
“Iya, tangan ibu sakit.” Rico membelai puncak kepala Rainer.
“Tapi kenapa? Padahal ayah tidak pernah jahat sama ibu. Ayah juga tidak pernah pukul ibu. Tidak seperti Ayah Satya," celoteh Rain dengan polosnya.
Rico bingung membalasnya, ia hanya bergeming sembari membelai kepala Rain dan memeluknya.
“Ayah ‘kan baik. Aku mau sama ayah terus. Bareng-bareng sama ibu,” cetus Rain lagi yang tidak mendapat jawaban.
Pintu tertutup dengan rapat tanpa suara. Lala melenggang dengan tangis yang pecah. Ia menyesali kebodohannya, telah memberikan mahkota pada pria itu. Sakit, sesal dan terus merutuki kebodohannya sendiri.
Kakinya melemas, namun terus berjalan. Bahkan hujan tiba-tiba mengguyur begitu deras, angin berdesing dengan begitu kuat hingga mengantar buliran air deras itu menghantam sekujur tubuh Lala. Langit seolah mengerti apa yang Lala rasakan saat ini.
Lala menghentikan sebuah taksi di depan rumah sakit. Tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah menyebutkan sebuah alamat, Lala melanjutkan tangisnya yang begitu menyesakkan.
Beberapa waktu berlalu, Lala telah tiba di sebuah gedung pencakar langit. Ia turun dengan keadaan yang berantakan. Namun Lala tak peduli. Ia terus menerobos masuk ke perusahaan.
“Apa tuan ada di ruangannya? Tolong sampaikan Lala ingin bertemu,” ucap Lala ketika berhenti di depan resepsionis.
“Baik, Nona,” sahut resepsionis itu dengan sopan. Meski dalam hati bertanya-tanya.
Setelah menunggu beberapa detik, Lala dipersilakan naik ke lantai teratas. “Tuan ada di ruangan, Nona. Silakan langsung menuju ruang presdir,” ucap sang resepsionis yang dibalas anggukan oleh Lala.
Wanita itu segera berputar, menuju sebuah lift dan menekan lantai teratas setelah memasukinya. Berkali-kali Lala menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kuat untuk mengurai sesak di dadanya.
Bersambung~