"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 31 - Sepertinya Dia Tidak Menyadarinya
Tubuhku membeku. Mata terpejam dengan jemari yang meremas sprei dengan erat. Rasa malu yang begitu besar ini membuatku ingin menghilang, bahkan dari dunia ini.
Kejadian ini lebih memalukan dari mengharap sebuah ciuman ataupun tragedi air liur. Kali ini aku benar-benar tidak punya muka untuk bertemu Pak Armand. Mengapa aku selalu melakukan hal memalukan di depan dia?! Dosa besar apa yang telah kulakukan hingga setiap tingkah lakuku selalu buruk di matanya?
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi ketiga pria di depanku. Aku memilih untuk tidak melihatnya. Jujur saja, aku benar-benar ingin menangis saat itu juga.
"Kenapa kalian yang datang? Yang saya butuhkan perawat perempuan. Cepat keluar. Panggil rekan kerja kalian." Setelah keheningan selama beberapa detik, terdengar suara Pak Armand yang tengah mengusir para perawat. Beberapa saat kemudian, kamar itu menjadi lengang. Tak ada bunyi apapun, bahkan suara napas manusia sekalipun.
Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Ternyata kamar itu telah kosong melompong. Tak lama kemudian, terdengar notif pesan masuk dari ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ternyata itu ponselku.
Sekilas aku mengintip isi pesan yang ternyata dari Pak Armand. Mengapa dia mengirim pesan? Apa dia sudah terlalu illfeel dan enggan bertemu denganku?
Sha, aku keluar sebentar. Ada sedikit urusan. Sebentar lagi perawat akan datang untuk membantumu mengganti perban. Aku tau sedari tadi kamu merasa tidak nyaman dengan perbanmu.
Aku membaca berulang-ulang pesan itu. Tidak ada kata yang menyinggung kejadian memalukan yang baru saja kualami. Justru yang dibahas malah masalah perban. Apakah Pak Armand salah sangka? Apa dia tidak tahu kejadian itu?
Selang dua menit, dua perawat wanita datang dengan wajah ceria. Menanyakan perihal ketidaknyamananku. Yang mereka bahas juga masalah perban, tidak menyinggung hal Iain. Betulkah Pak Armand dan yang lain tidak mengetahui tingkahku yang memalukan? Kalau benar seperti itu, aku akan sangat bersyukur sekali.
Berhubung dua perawat tidak membahas kejadian itu, akhirnya aku memberanikan diri untuk memberitahu mereka. Meminta tolong untuk mengganti semua barang yang telah kubasahi.
Aku pikir akan melihat wajah-wajah penuh rasa jijik, namun nyatanya tidak seperti. Mereka tersenyum dengan sangat ramah.
"Apa kami pasang kateter saja, Bu? Sepertinya Ibu tipe istri yang malu untuk meminta bantuan suami," ucap salah satu dari mereka sembari membersihkan badanku. Senyum ramah menghiasi wajah mereka.
"Suami?" Aku melihat mereka dengan pandangan bertanya-tanya. Jelas saja aku bingung. Suami siapa yang mereka maksud?
"Maaf ya Bu, kami tak ada maksud lain. Tapi kami pikir, suami Ibu keren sekali. Iya 'kan Mbak?" Perawat yang lebih muda memandang rekannya yang lebih tua. Meminta dukungan dari pernyataannya.
"Jangan bahas hal yang kurang penting. Selesaikan pekerjaanmu," jawabnya datar.
"Mbak terlalu serius. Padahal Mbak juga mengakuinya 'kan?" Perawat bernama Frida tidak mau kalah. Dari wajahnya, sepertinya dia seumuran denganku.
"Suami? Keren? Maksudnya?" Aku masih berusaha memahami kata-kata mereka. Apa mereka tidak salah pasien? Mengapa mereka mengatakan aku memiliki suami, padahal jelas-jelas aku seorang single.
"Ibu, mau kami pasang kateter?" tanya perawat yang lebih tua mengalihkan pembicaraan. Pembahasan masalah kateter kembali membuatku mengingat hal memalukan yang baru kualami.
"Menurut Suster bagaimana?"
"Menurut kami, kondisi medis Ibu tidak memiliki kewajiban untuk dipasang kateter. Tidak ada retensi urine atau inkontinensia. Tapi semua kembali ke Ibu, nyamannya bagaimana."
Aku memandang kaki yang diperban. Sebenarnya rasa sakit datang hanya ketika pengaruh obat sudah hilang. Selebihnya, aku masih bisa menggerakkan kakiku sesuka hati.
Infus yang berisi darah sudah diturunkan. Yang tertinggal hanya cairan infus biasa. Itu artinya kondisiku semakin baik-baik saja.
"Sampai kapan saya di sini?"
"Luka Ibu memang memanjang dan membutuhkan beberapa belas jahitan, tapi untungnya tidak terlalu dalam. Dua tiga hari lagi, Ibu bisa pulang dan melanjutkan perawatan di rumah. Tapi Ibu juga perlu melakukan kontrol ke dokter minimal lima hari pasca keluar untuk melihat perkembangan jahitan." Aku menelaah semua informasi itu. Bila dipikir-pikir, kondisiku tidak begitu parah.
"Saya tidak membutuhkan kateter," putusku kemudian.
"Baik Ibu. Ada lagi hal yang bisa kami bantu? Apa ada yang kurang nyaman?" Aku menggelengkan kepala.
Mereka sudah mengganti sprei dan selimut. Rupanya dibawah sprei dipasang alas khusus sehingga cairan itu tidak menembus kasur. Mereka juga sudah mengganti baju pasien dan mengelap tubuhku. Aku berada dalam keadaan bersih dan tidak butuh bantuan lagi.
"Kalau begitu kami pamit dulu," ucap perawat bernama Nur sembari menganggukkan kepala.
"Kalau Ibu malu meminta bantuan suami, Ibu cukup memencet tombol call nurse," sambung perawat Frida. "Tapi, kalau saya jadi Ibu, saya akan lebih senang meminta bantuan suami bila suaminya setampan, auch...." Aku melihat Nur mencubit lengan Frida. "Hehe, bercanda Bu. Apapun yang Ibu butuhkan, Ibu bisa menghubungi kami. Kami pamit dulu." Frida melambai-lambaikan tangan. Gadis yang cukup lucu. Kalau kami berada di kota dan area kerja yang sama, mungkin kami bisa berteman.
***
Selepas kepergian para perawat, aku mengingat-ngingat ucapan Frida. Siapa yang dia maksud suami? Suami yang tampan? Apakah yang dia maksud adalah Pak Armand? Hah?
Jadi Pak Armand menyebut dirinya sebagai suamiku? Wah, kenapa aku sangat senang, hihihi. Itu artinya, Pak Armand mulai menunjukkan perasaannya. Tidak mungkin Pak Armand mengaku-ngaku sebagai suami ke gadis manapun kalau dia tidak memiliki perasaan 'kan?
Perihal masalah memalukan, aku yakin Pak Armand dan dua perawat laki-laki tadi tidak menyadarinya. Kalau Pak Armand tahu, dia pasti akan memberitahu dua perawat wanita yang merawatku tadi. Tapi buktinya mereka tidak tahu apa-apa. Hah, syukurlah. Kali ini Tuhan benar-benar menyelamatkan mukaku. Setidaknya aku masih bisa menatap pria yang kusukai tanpa rasa malu.
***
Selepas sarapan dan mungkin karena pengaruh obat, rasa kantuk mulai datang menyergap. Beberapa kali aku menatap jam di ponsel. Sudah dua jam Pak Armand pergi. Cukup lama juga. Ah, harusnya aku tidak boleh ketergantungan seperti ini. Pak Armand pasti sangat kerepotan. Harusnya beliau mengikuti class, tapi karena sibuk mengurusku jadinya seperti ini.
Mengingat malam itu kembali membuat begidik. Rasa takut dan putus asa yang begitu jelas kurasa. Andaikan malam itu Pak Armand tidak datang, mungkin akan menyisakan trauma.
Pak Armand ...
Mengapa dia selalu ada ketika aku membutuhkan bantuan? Mengapa dia selalu menjadi dewa penolong? Mengapa dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik?
Aku tidak bisa menyerah padamu, Pak. Aku yakin Bapak juga memiliki perasaan yang sama. Aku akan membuat Bapak sadar dan mengakuinya.
Berangkat dari pemikiran itu, tanpa sadar aku tertidur lelap. Entah berapa lama aku tertidur. Sayup-sayup aku mendengar suara pintu terbuka, aku pun segera membuka mata.
"Maaf, aku membangunkanmu ya?" Aku melihat Pak Armand berjalan menghampiri. "Bagaimana perasaanmu?"
Aku berusaha untuk duduk. Pak Armand dengan sigap membantu meletakkan beberapa bantal di belakang tubuh, membuat posisiku nyaman.
"Saya, baik-baik saja, Pak," jawabku sembari menatap wajah dewaku.
"Apa masih sakit?" Aku menggelengkan kepala. "Ada yang kamu butuhkan?" Lagi-lagi aku menggelengkan kepala. "Ada yang mau menjengukmu."
"Siapa?" Pak Armand tak langsung menjawab pertanyaanku. Dia malah berjalan ke arah pintu dan membukanya.
"Masuk." Nada suara Pak Armand terdengar dingin. Sangat berbeda dengan nada suara yang dia gunakan ketika berbicara denganku. Aku begitu penasaran dengan tamu yang datang. Mengapa Pak Armand berubah menjadi dingin dan ketus seperti itu.
Beberapa detik kemudian, aku melihat seorang pria muda dengan tinggi sekitar 175 cm berdiri di depanku dengan sangat canggung. Pria itu menunduk kemudian mendongak sedikit demi sedikit. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah babak belur itu!!
Mata kiri membiru dan bengkak, sehingga sulit untuk terbuka. Hidung memar. Sementara ada luka sobek di bibir dan pelipis sebelah kanan. Meskipun cukup sulit untuk mengidentifikasi tapi aku yakin pria yang tengah berdiri di depanku ini adalah Arkan. Teman setimku dalam game sandi.
***
Happy Reading 🤗🥰