📢📢WELCOME DI ZONA BUCIN NGGAK ADA OBAT😛😛
Memiliki segalanya tak membuat Lengkara Ayudia merasa hidupnya sempurna. Paras cantik, otak cerdas, orang tua kaya raya namun jodoh yang sudah ia dapatkan sejak lahir tak pernah melihatnya sebagai wanita. Bukan karena lelaki itu tak menyukainya, tapi di mata Dirga dia seperti adik yang harus selalu dilindungi. Naas bukan? saat lelaki lain mati-matian mengejarnya dia malah repot-repot menggapai cinta tetangga depan rumah.
"Dirga, My Dirgantara.... udah cinta belum sama Kara?"
"Seperti arti nama lo, Kara. Jatuh cinta sama lo tuh Lengkara banget. Mustahil."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tama
Tama memasukan kembali ponselnya ke dalam saku, dia baru saja melakukan vidio call pada Kara untuk sekedar basa-basi memberi kabar jika dirinya sudah sampai. Tama masih duduk di balik kemudi meskipun sudah tiba di depan rumahnya. Jari telunjuk tangan kanannya mengetuk-ngetuk kemudi pelan, bibirnya melengkung membentuk bulan sabit mengingat wajah menggemaskan Kara yang terus memeluk boneka pink besar sambil sesekali menciuminya saat mereka melakukan vidio call barusan. Tama sampai kepikiran untuk membelikan boneka untuk Kara esok hari.
“Lo emang beda, Ra. Cewek lain udah auto chat tiada henti kalo gue chat duluan. Lah lo? Kalo nggak gue chat nggak bakal ngechat duluan. Gue vidio call juga biasa aja malah fokus ke boneka, ya ampun.” Gumam Tama.
Baginya yang baru pertama kali merasa tak dipedulikan jadi semakin semangat untuk mengejar Kara. Bukan tanpa alasan, di sekolah lamanya tidak ada satu pun gadis yang tak tertarik padanya. Hampir semua siswa selalu cari perhatian setiap berpapasan dengan dirinya. Tapi Kara, dia justru bersikap biasa saja bahkan tak menunjukan ketertarikan sedikit pun meski kata-kata manis sudah ia lontarkan.
Tok.. tok...
Bunyi dari kaca mobil yang diketuk membuat Tama tersadar dari lamunannya, dia lantas menurunkan kacanya.
“Mama?” sapanya sedikit terkejut pada wanita yang berdiri tepat di samping mobilnya. Raya, dia tersenyum teduh pada putra semata wayangnya.
Tama buru-buru melepas sabuk pengamannya dan segera turun.
“Mama kapan datang? Kenapa nggak bilang dulu, kan bisa aku jemput.” Tama memeluk erat mamanya.
“Jam 10 an tadi. Nih mama abis belanja bahan masakan untuk makan siang." Raya menunjukan kantong kresek putih di tangan kanannya. "Nggak ngabarin soalnya jam segitu kamu masih sekolah, toh nggak dijemput juga mama sampe sini.” Raya menepuk bahu putranya yang masih belum melepaskan pelukan.
Tama melepas pelukannya, “tapi kan kalo mama ngabarin bisa aku jemput. Lagian di sekolah juga belum mulai belajar, masih main-main aja soalnya kelas 10 ada kegiatan MPLS. Paling minggu depan baru bisa belajar efektif.”
“Oh gitu.” Raya mengangguk, “gimana sekolah barunya, nyaman? Betah nggak?” lanjutnya.
“Hm gitu deh, Ma. Dimana pun buat aku sama aja, yang penting ada mama.”
“Kamu emang bener-bener anak mama. Masuk yuk! Mama masakin makan siang buat kamu.”
“Yuk mamaku tersayang. Aku juga udah kangen banget sama masakan mama, masakan tante Dina nggak seenak masakan mama.” Tama mengandeng tangan mamanya dan membawanya masuk ke rumah.
“Pokoknya masakan mama paling enak. Dua hari aku nggak makan masakan mama hari-hariku berasa melehoy nggak berenergi, Ma.”
Raya mencubit lengan putranya seraya menggelengkan kepala. “Sama mama sendiri aja kamu gombal, Tama... Tama...”
“Sakit, Ma.” Keluh Tama penuh dramatisir.
“Makanya jangan suka gombal kamu tuh!”
“Mau gimana lagi Ma, udah bakat dari lahir.” Jawabnya dengan senyum yang biasa memporak-porandakan kaum hawa.
“Nggak usah senyum kayak gitu! Nggak mempan sama mama.”
“Iya deh cuma senyum papa yang mempan ke mama yah?” ledeknya.
“Malah ngeledek sama orang tua!”
“Mama belum tua kali, Ma. Masih cantik, di mata aku mama perempuan paling cantik nomor 1.”
“Dasar turunan Kak Zidan.” Batin Raya. Dia hanya menghela nafas pelan melihat sikap putranya yang selalu manis, benar-benar mirip dengan papa nya. Melihat Tama layaknya mengorek luka di masa lalu, tampan namun menyimpan luka. Meski kini ia dan Zidan masih menjadi suami istri namun bayang-bayang masa lalu selalu membuatnya merasa bersalah. Awal pernikahannya dulu pun tak berjalan baik karena Zidan yang terus berlaku kasar padanya, hingga akhirnya setelah kelahiran Tama dan bimbingan dari orang tuanya, sedikit demi sedikit mereka bisa menerima kenyataan dan bersama-sama membesarkan Tama yang awal kehadirannya tak diinginkan.
“Ma?” Tama menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Raya.
“Iya sayang kenapa?” Raya sedikit kaget.
“Mama kok malah ngelamun?”
“Mama nggak apa-apa. Kamu ke kamar aja istirahat, nanti kalo makan siangnya udah siap mama panggil.”
“Mama sebenernya mikirin apa sih, Ma? Waktu di Surabaya aku liat mama sering ngelamun bilang pingin pindah ke Bandung. Suruh nunggu aku lulus aja nggak mau, padahal tinggal 1 tahun doang. Sekarang kita udah di Bandung, mama masih aja ngelamun. Apa karena papa belum bisa ikut pindah kesini?” tebak Tama.
“Kalo gitu mama stay di Surabaya aja nemenin papa sampai beres urusan kerjaan buat pindah ke sini. Aku di sini kan ada tante Dina.” Lanjutnya.
“Papa bisa 2 minggu sekali kesini, mama bukan mikirin itu. Mama kesini buat mastiin kamu tobat nggak main-main sama cewek. Lagian di Surabaya aja mama pusing, temen-temen kamu tiap hari ada aja yang datang ke rumah nyariin kamu. Sebagian lagi terus nelpon-nelpon. Lain kali awas aja kalo sampe ngasih nomor mama ke cewek-cewek.”
“Ya abisnya mereka tuh nguber-nguber aku terus, Ma. Dari pada pusing HP penuh chat jadi aku kasih nomor mama aja. HP aku sampe cepet drop gara-gara chat masuk dari para fans nggak berenti-berenti, Ma.”
“Dasar anak nakal!” Raya menjewer telinga Tama.
“Aduh... aduh... ampun ma sakit.”
“Awas aja kalo di sekolah baru kamu masih kayak dulu!”
“Aduh ini lepasin dulu Ma, telinga aku ntar bisa lebar jadi nggak cakep lagi mama yang rugi. Emang mau anak satu-satunya jadi jelek?” ucap Tama, “nanti dia nggak mau jadi mantu mama!” lanjutnya.
“Pratama Arhan!!”
“Ampun, Ma. Cuma bercanda.” Tama mengusap telinganya yang baru saja di jewer, benar-benar lumayan sakit.
“Aku udah ketemu dia, Ma. Dia cantik, lucu dan sedikit aneh.” Lanjutnya.
“Lengkara?” tanya Raya.
“Iya. Aslinya lebih cantik dibanding foto yang ditunjukkan tante Dina. Bahkan sebelum tante Dina ngasih liat foto Kara, aku udah keep dia dalam hati. Dia cewek pertama yang nabrak aku di sekolah.” Tama tersenyum mengingat hal itu.
“Aku beruntung tenyata Lengkara dan orang yang mama maksud itu perempuan yang sama. Kalo nggak, aku nggak jamin deh bisa nurutin permintaan mama buat jagain dia.” Lanjutnya. Tama ingat betul bagaimana mama Raya memaksanya untuk pindah sekolah dan menjaga gadis yang belum ia kenal di saat gadis-gadis di sekolahnya tergila-gila pada dirinya.
“Terus anehnya dimana?” tanya Raya.
“Anehnya sikap dia ke aku biasa aja, Ma. Nggak terpesona terus ngejar-ngejar kayak cewek lain gitu. Tadi aku ke rumahnya aja nggak di suruh masuk padahal kalo cewek lain justru sebaliknya, aku mau pulang nggak dibolehin.”
“Apa karena ada abangnya kali yah, Ma? Abangnya galak banget sumpah.”
“Abang?” sela Raya, “Lengkara itu nggak punya abang, Tam. Anak temen mama itu cuma 2 dan Lengkara anak pertama. Yang kamu lihat itu adiknya mungkin.” Terang Raya.
“Nggak, Ma. Bukan, dia jelas-jelas bilang kakaknya Lengkara dan adiknya itu nggak boleh pacaran. Tante Dina salah info nih kayaknya.”
“Dan satu lagi Ma, Kara bilang dia udah punya calon suami. Tapi aku belum liat calon suaminya. Gimana dong kalo calon suaminya itu ternyata mahasiswa? Atau pengusaha muda?”
“Ah susah banget deh nurutin keinginan mama. Apa aku pake jalur pintas aja yah?”
“Jalur pintas apaan?” Raya sudah mulai merasakan firasat tak enak.
“Itu lah Ma yang enak-enak.” Tama tersenyum penuh maksud, “Kalo udah investasi di perut kan mau nggak mau auto sah.” Lanjutnya seraya tertawa.
Raya langsung menginjak kaki putranya dengan heels yang ia kenakan.
“Ampun mama... penganiayaan terus ih dari tadi!”
“Kamu jangan macem-macem yah atau mama pecat jadi anak!”
“Aku cuma bercanda, Ma. Lagian senakal-nakalnya aku paling mentok cuma ci pok ci pok. Mama inget-inget deh barisan mantan aku, emang ada yang minta pertanggungjawaban? Nggak kan? Karena aku mainnya masih wajar.”
“Pokoknya awas aja kalo kamu macem-macem sama anak temen mama!”
“Iya, aku tau kok. Aku pasti jagain dia seperti yang mama minta, meskipun aku nggak tau alesannya apa, tapi setidaknya dia cantik dan layak dilindungi.” Ucap Tama.
“Meskipun kakaknya ngeselin, galak banget.” Lanjutnya.
.
.
.
Ethhh jangan lupa like sama komentarnya!!!