Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Setelah suapan terakhir masuk ke mulut, Yura langsung menyandarkan tubuh ke kursi sambil menghela napas panjang.
“Gue kenyang banget, bener-bener kayak abis makan sebulan.”
Ardhan tersenyum puas. “Gitu dong. Lain kali gue masakin lagi.”
“Lo masak tiap hari aja gih, buat diri lo sendiri,” sahut Yura cepat.
“Kalau bisa sambil masakin buat lo, kenapa enggak?” Ardhan mengedip sebelah mata.
Yura menatap tajam. “Jangan goda gue pagi-pagi gini. Jijik.”
“Jijik tapi lo gak suruh gue pulang juga. Gimana tuh?” Ardhan nyengir, tangannya terlipat santai.
Yura diam. Entah kenapa, ia memang belum menyuruh Ardhan pergi. Padahal bisa aja sejak tadi dia usir.
“Lo tuh ya…” Yura bangkit dari kursi, merapikan kotak makan, lalu beranjak ke wastafel.
Ardhan mengikuti dari belakang, berdiri agak dekat. Terlalu dekat.
“Apa sih?” tanya Yura, menoleh.
“Lo cantik banget dari belakang.”
“Yaelah,” gumam Yura, tapi wajahnya memanas.
“Dan… dari depan juga,” sambung Ardhan, suaranya jadi lebih pelan. Lebih serius.
Yura berbalik, berdiri di hadapan Ardhan. Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, rumah itu terasa sunyi sekali.
“Ardhan…”
“Hmm?”
“Jangan bikin gue mikir lo serius, kalau ujungnya cuma becanda lagi.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Yura. Bahkan dia sendiri terkejut.
Ardhan tak langsung menjawab. Tatapannya melembut, kali ini tanpa senyum.
“Gue gak becanda, Yura."
Keheningan turun sesaat.
Yura menunduk, merasa dadanya aneh. Lalu buru-buru mengalihkan topik.
“Eh… gue mau mandi. Lo pulang sana.”
“Gue tungguin aja sampai lo kelar,” ucap Ardhan sambil berjalan ke ruang tengah.
“Ardhan!”
“Gue gak masuk kamar lo kok, tenang aja,” sahutnya sambil selonjoran, makin santai.
"Kalau gitu, mending lo cuci kotak makan lo, daripada lo santai," suruh Yura sebelum masuk ke kamarnya.
"Oke..." Ardhan langsung beranjak tanpa ada penolakan.
Yura juga langsung masuk kamar dengan senyum, entah kenapa ia senang dengan tingkah Ardhan.
Ko gue gampangan banget ya, pikir Yura.
Yura segera menyelesaikan mandinya dan segera keluar, seolah tak ingin Ardhan menunggu begitu lama.
Setalah Yura selesai menggunakan baju, ia segera keluar dengan rambut yang masih setengah basah.
“Serasa rumah sendiri ya Pak,” komentar Yura saat melihat Ardhan tengah duduk santai menonton berita di ruang tengah.
“Cepet amat lo mandinya,” sahut Ardhan tanpa menoleh.
“Ngapain lama-lama? Bukan mandi kembang juga,” jawab Yura sambil duduk di sampingnya.
“Jalan yuk,” ajak Ardhan tiba-tiba.
“Ogah. Mending lo aja jalan sendiri sono.”
“Gak mau. Kapan lagi gue bisa masuk rumah ini,” ucap Ardhan dengan gaya dramatis.
“Lebay banget,” cibir Yura.
“Lo gak bisa gitu, sweet dikit?” goda Ardhan, menatap Yura penuh harap.
“Jangan mimpi,” sahut Yura cepat.
Ardhan hanya tersenyum, menikmati momen kecil itu.
“Coba ganti, jangan berita mulu,” pinta Yura sambil melirik ke arah TV.
“Berita tuh penting, biar gak kudet,” jawab Ardhan.
“Ganti yang lain aja,” ucap Yura, lalu berusaha merebut remote dari tangan Ardhan.
“Eh, gak usah!” Ardhan buru-buru menjauhkan remote dari jangkauan Yura.
“Ardhan…”
“Kenapa sayang?” jawab Ardhan dengan nada menggoda, senyum jahilnya muncul lagi.
“Iiiyuuh!” Yura refleks menjitak kepala Ardhan.
“Sakit tau!” keluh Ardhan sambil memegangi kepala. “Gak ada sopan-sopannya.”
“Sorry,” ucap Yura manja, lalu mengusap kepala Ardhan pelan. “Iiiih, geli banget sumpah.”
Ardhan tertawa lepas melihat ekspresi jijik bercampur malu dari Yura.
“Mending lo pulang deh. Nanti temen-temen gue datang,” ucap Yura mencoba mengusir.
“Enggak ah,” tolak Ardhan. Tanpa aba-aba, ia rebahan di sofa dan menjadikan paha Yura sebagai bantal.
“Ardhan! Sopan gak sih lo begitu?” tegur Yura sambil mencoba menyingkir.
“Simulasi…” jawab Ardhan santai, matanya terpejam menikmati posisi nyaman.
“Simulasi apaan?”
“Simulasi kehidupan rumah tangga, bareng lo.”
Yura terdiam. Matanya melirik Ardhan yang terlihat tenang seperti gak punya beban.
Deg. Lagi-lagi hatinya bergetar.
“Hei, bangun,” ucap Yura sambil menepuk-nepuk pipi Ardhan pelan.
“Lima menit lagi…” gumam Ardhan malas, matanya masih terpejam.
Yura mendesah pelan, lalu membiarkannya. Diam-diam ia memperhatikan wajah Ardhan, bersih, tenang, dan nyaris sempurna. Bahkan bulu matanya panjang. Yura terpesona dalam diam.
Tapi belum lama ia mengamati, mata Ardhan tiba-tiba terbuka.
“Eh—!” Yura panik dan buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura nggak terjadi apa-apa.
“Kenapa?” tanya Ardhan dengan senyum jahil. “Lihat aja kali, kapan lagi lo bisa nikmatin wajah gue yang tampan rupawan ini?”
“Gak tuh,” sahut Yura cepat. “Lebih ganteng Aldin sama Rizki.”
Ardhan langsung duduk tegak, pura-pura tak terima. “Mana ada! Coba sini, lihat,” ucapnya sambil memegang kepala Yura dan mengarahkannya agar menatap wajahnya.
Yura gak kuat menahan tawa. Ekspresi Ardhan yang sok percaya diri justru bikin perutnya geli.
“Cemburu ya?” goda Yura, senyumnya penuh tantangan.
“Gak tuh,” elak Ardhan cepat, padahal jelas banget bohongnya.
“Cieeee… yang mukanya kenceng tapi hatinya meleleh,” goda Yura sambil mencubit pipi Ardhan.
Ardhan hanya tersenyum miring, tak mau kalah. “Lo beruntung bisa lihat gue dari deket gini.”
“Gue rasa lo yang beruntung,” balas Yura.
Iya, gue sangat beruntung, lo masih mau kasih kesempatan padahal gue udah nyakitin lo. Ardhan tersenyum ke arah Yura.
Tawa mereka memenuhi ruang tengah, seolah tak pernah ada luka yang sempat membentang di antara keduanya. Sesaat, semua terasa ringan. Nyaman.
Namun, belum juga tawa itu reda, Yura tiba-tiba menoleh ke jendela saat suara mobil berhenti di depan rumah.
“Oh, mereka datang,” ucap Yura, panik mulai menjalar di wajahnya.
“Gak apa-apa dong,” sahut Ardhan santai sambil tetap duduk.
Yura menatapnya tajam. “Lo santai banget.”
“Sebelum mereka pergi tadi, gue bilang mau ketemu lo,” jawab Ardhan kalem. “Terus mereka bilang, ‘Silakan aja kalau Yura bukain pintu’.”
Yura melotot. “Tetep aja gak gitu!”
Belum sempat Ardhan membalas, suara pintu terbuka terdengar. Yura langsung membeku.
“Mampus gue…” ucapnya lirih.
“Jangan mampus dong, terus gue gimana?” celetuk Ardhan, menoleh padanya dengan ekspresi serius bercampur candaan.
“Heh!?” Hana dan Febi yang masuk duluan langsung tertegun melihat pemandangan di depannya. Yura dan Ardhan duduk bersebelahan di sofa, seperti pasangan yang baru saja baikan.
“Apa-apaan ini!?” seru Febi, setengah kaget setengah geli.
Yura hanya nyengir kaku, sementara Ardhan santai mengangkat bahu, seolah berkata, ‘Lihat aja sendiri’.
Tak lama, Aldin dan Rizki menyusul masuk.
“Oh, udah baikan ternyata,” komentar Rizki santai, bahkan ikut duduk di lantai.
Aldin mengerutkan dahi, lalu bertanya, “Kok bisa masuk Bang?”
“Dibukain dong… sama tuan rumah,” jawab Ardhan sambil melirik Yura penuh kemenangan.
Yura hanya menghela napas, menyerah pada situasi.
“Gue gak masalah sih,” kata Hana sambil duduk. “Asal lo gak nyakitin Yura lagi.”
“Soal itu, gue jamin… gak akan,” jawab Ardhan yakin, matanya menatap Yura seolah memberi janji diam-diam.
Hana mengangguk pelan. “Bagus.”
Suasana mulai mencair, namun Yura masih merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Entah karena malu, grogi, atau jangan-jangan senang.