Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.
Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : PERJAMUAN BERACUN
Malam di Jakarta terasa gerah, namun di dalam kediaman utama keluarga Seraphine, sebuah kompleks bangunan kolonial yang telah direnovasi dengan sentuhan modern di kawasan Menteng, udaranya terasa sedingin es. Malam ini adalah perjamuan bulanan keluarga besar, sebuah tradisi yang biasanya digunakan untuk pamer kekuasaan, namun kali ini tujuannya berbeda: Menghakimi Aluna.
Seraphine duduk di depan meja rias di suite hotelnya. Ia mengenakan gaun haute couture berwarna merah darah yang kontras dengan kulit porselennya. Desain gaun itu berani namun sangat elegan, memberikan kesan bahwa ia adalah api yang siap membakar siapa saja yang mendekat.
Xavier berdiri di dekat pintu, mengenakan tuxedo hitam yang membuatnya terlihat lebih seperti agen rahasia daripada seorang asisten. Ia memeriksa jam tangannya.
"Mobil sudah siap, Nona. Madam Celine sudah menunggu di lokasi. Beliau berpesan agar Anda tidak membiarkan siapa pun melihat keraguan di mata Anda," lapor Xavier.
Seraphine berdiri, menatap bayangannya untuk terakhir kali. "Aku tidak punya keraguan, Xavier. Yang aku punya hanyalah daftar hutang yang harus mereka bayar."
Sesampainya di kediaman Seraphine, suasana langsung mencekam. Puluhan mobil mewah berderet di halaman. Di aula utama, sekitar dua puluh orang anggota keluarga besar—para paman, bibi, dan sepupu dari berbagai cabang bisnis—telah berkumpul. Mereka berbisik-bisik, dan nama "Aluna" terdengar seperti desis ular di antara percakapan mereka.
Saat Seraphine melangkah masuk, percakapan mendadak berhenti.
Di ujung meja panjang, Madam Celine duduk di kursi kebesaran. Di sisi kanannya, Valerie duduk dengan senyum kemenangan yang disembunyikan di balik gelas kristal. Di sisi kiri Madam, ada kursi kosong yang sengaja disediakan untuk Seraphine.
"Duduklah, Aluna," suara Madam Celine menggema, tenang namun penuh wibawa.
Seraphine berjalan dengan kepala tegak. Bunyi langkah sepatunya di atas lantai kayu jati terdengar sangat tegas. Ia duduk di kursi kosong tersebut, tepat berhadapan dengan Valerie.
Seorang pria paruh baya dengan wajah kaku Paman Hendra, kepala operasional Seraphine di Asia Tenggara dan ayah Valerie berdeham keras.
"Ibu," Paman Hendra memulai, menatap Madam Celine namun sesekali melirik tajam ke arah Seraphine. "Kami berkumpul di sini untuk membahas kegaduhan yang terjadi di SMA Pelita Bangsa. Kami mendengar bahwa... gadis ini... telah menggunakan nama besar Seraphine untuk melakukan pemecatan massal, intimidasi terhadap donatur, dan tindakan balas dendam pribadi yang merusak reputasi sekolah."
"Merusak reputasi?" Seraphine menyela, suaranya tenang namun tajam. "Atau merusak pundi-pundi uang haram yang Anda terima dari keluarga Dirgantara, Paman Hendra?"
Ruangan itu mendadak gaduh. Beberapa orang memukul meja.
"Jaga bicaramu, Anak Kecil!" bentak Hendra. "Kami telah membangun imperium ini selama puluhan tahun sementara kamu membusuk di selokan!"
"Justru karena aku di selokan, aku bisa melihat tikus-tikus yang menggerogoti fondasi imperium ini dari bawah," balas Seraphine. Ia mengeluarkan sebuah flash drive kecil dan meletakkannya di atas meja putar. "Xavier, jalankan."
Xavier yang berdiri di sudut ruangan segera mengaktifkan proyektor. Layar di dinding menampilkan aliran dana dari perusahaan cangkang milik keluarga Dirgantara ke rekening pribadi Paman Hendra dan beberapa anggota keluarga lainnya di ruangan itu.
"Ini adalah bukti bahwa kalian semua membiarkan SMA Pelita Bangsa menjadi tempat pencucian uang dengan kedok donasi pendidikan," lanjut Seraphine. "Kalian membiarkan Reihan dan gengnya berkuasa karena orang tua mereka adalah rekan bisnis ilegal kalian. Jadi, siapa sebenarnya yang merusak reputasi Seraphine?"
Madam Celine hanya diam, mengamati dengan tatapan puas. Ia ingin melihat bagaimana cucunya menghadapi kawanan serigala ini.
Valerie berdiri, wajahnya merah padam. "Nenek! Jangan biarkan dia memfitnah kami! Dia hanya menggunakan kemampuan peretasan asistennya untuk memalsukan data! Dia ingin menyingkirkan kami agar dia bisa menguasai warisan sendirian!"
Seraphine berdiri perlahan, mendekati Valerie. "Warisan? Valerie, aku kembali bukan untuk uang. Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milik ibuku. Kamu dan ayahmu adalah alasan mengapa ibuku diusir sepuluh tahun lalu dengan tuduhan palsu. Malam ini, aku tidak hanya membersihkan sekolah... aku mulai membersihkan rumah ini."
Tiba-tiba, pintu aula terbuka. Beberapa petugas dari auditor independen internasional masuk ke ruangan.
"Madam Celine," panggil pimpinan auditor itu. "Sesuai permintaan Nona Seraphine, kami telah menyelesaikan audit forensik. Ada selisih dana sebesar 400 miliar rupiah yang mengalir ke akun-akun yang tidak terdaftar di bawah pengawasan pusat."
Paman Hendra pucat pasi. Ia menatap Madam Celine, memohon. "Ibu... ini pasti salah paham..."
Madam Celine meletakkan garpu peraknya dengan denting yang pelan namun terdengar seperti vonis mati.
"Hendra," ucap Madam Celine dingin. "Mulai malam ini, jabatanmu dicabut. Kamu dan keluargamu termasuk Valerie dilarang menginjakkan kaki di kantor pusat Seraphine sampai investigasi ini selesai. Aluna akan mengambil alih posisi direktur operasional sementara untuk wilayah Jakarta."
Valerie berteriak frustrasi. "TIDAK! Nenek, ini tidak adil! Dia hanya orang asing!"
"Dia bukan orang asing," Madam Celine menatap Valerie dengan kebencian yang selama ini ia pendam. "Dia adalah darah asli Seraphine. Dan dia baru saja melakukan apa yang kalian semua tidak mampu lakukan selama sepuluh tahun, Bersikap jujur."
Perjamuan itu berakhir dengan kekacauan. Paman Hendra dan Valerie diusir dari kediaman utama malam itu juga. Para anggota keluarga lainnya yang terlibat mulai merayap di bawah kaki Seraphine, memohon agar data mereka tidak dilaporkan ke pihak berwajib.
Seraphine berdiri di teras depan, menghirup udara malam. Xavier mendekat dengan membawa jubah panjang untuk menutupi bahunya.
"Langkah pertama selesai, Nona," bisik Xavier.
"Ini baru permulaan, Xavier," jawab Seraphine. "Menyingkirkan mereka dari perusahaan adalah satu hal. Tapi menghancurkan martabat mereka adalah hal lain. Aku ingin Valerie merasakan apa yang aku rasakan: Kehilangan rumah, kehilangan nama, dan kehilangan harapan."
Tiba-tiba, sebuah mobil sport melesat kencang dari halaman, hampir menabrak pilar gerbang. Itu adalah Valerie. Di dalam mobilnya, Valerie menangis dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor Reihan yang kini sedang mendekam di panti rehabilitasi dengan pengawasan longgar.
"Reihan," desis Valerie. "Aku tahu cara untuk membunuh Seraphine tanpa harus mengotori tangan kita sendiri. Aku butuh orang-orang lamamu dari pelabuhan. Kita akan melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sepuluh tahun lalu, Menghilangkan dia selamanya."