NovelToon NovelToon
Berondongku Suamiku

Berondongku Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Ibu Tiri
Popularitas:61.7k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.

Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.

Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Dua Belas

Malam sudah hampir berganti hari ketika Samudera dan Kirana melangkah keluar dari kafe “Selasih”. Lampu jalanan menyinari trotoar dengan temaram kuning, membuat bayangan mereka memanjang ke belakang. Angin laut yang masih terbawa sampai kota mengusap pelan wajah Kirana, kali ini tanpa rasa sakit, hanya sisa-sisa dingin yang samar.

Sam menyalakan motornya, lalu menoleh. “Mbak,” panggilnya pelan. “Nanti kalau udah sampai rumah, kalau orang tua kamu marah dan kayaknya itu kemungkinan besar, hindari aja, ya. Masuk kamar cepat.”

Kirana memegang helm yang hampir terlepas dari genggamannya. “Sam ….”

“Aku serius.” Nada suara Sam berubah lebih berat. “Biar kamu nggak kena tampar lagi.”

Kirana membeku. Dadanya seperti ditekan sesuatu.

Samudera menatap lurus, dingin tapi melindungi. “Aku nggak jamin bisa nahan diri kalau masih ada yang mengangkat tangan ke kamu. Sekalipun itu orang tuamu sendiri.”

Kirana menelan ludah. Kata-kata itu, entah kenapa, menghantam keras ke dalam hatinya. Bukan karena ancaman Samudera, tapi karena ia baru sadar, ternyata masih ada seseorang yang benar-benar memperhatikan keselamatannya. Seseorang yang bukan Irfan. Seseorang yang bukan keluarganya. Seseorang yang bahkan baru ia kenal beberapa minggu.

Ia mengangguk pelan. “Aku ngerti.”

“Bagus.” Sam mengenakan helmnya. “Kita pulang.”

Selama perjalanan pulang, Kirana diam. Namun diamnya berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Bukan diam penuh beban, tapi diam yang mencoba memahami perasaan asing yang menghangat di dadanya. Ada rasa aman yang belum pernah ia rasakan sejak bertahun-tahun.

Di belakang, Kirana merapat sedikit, bukan untuk berpegangan, tapi karena angin malam mulai menusuk. Sam tak berkata apa pun, tapi ia mengurangi kecepatan saat angin terasa lebih kencang. Ia memang tak banyak bicara, tapi caranya melindungi selalu ada dalam hal-hal kecil.

Rumah Kirana terlihat gelap dari kejauhan, hanya diterangi satu lampu teras yang redup. Namun begitu motor berhenti, terasa jelas udara tegang yang menggantung di depan pagar. Seakan ada badai yang menunggu di balik pintu.

Samudera mematikan mesin. “Mbak.”

“Hm?”

“Begitu masuk, langsung ke kamar. Jangan jawab, jangan lawan, jangan jelasin apa-apa. Simpan energi kamu buat besok. Paham?”

Kirana menatap Sam lama. “Sam … kenapa kamu peduli banget?”

Pemuda itu mendecak ringan. “Aku cuma nggak suka melihat orang diperlakukan seenaknya.”

Kirana tersenyum getir. “Tetap aja … terima kasih.”

Samudera mengangguk singkat, lalu menunjuk pintu rumah. “Pergi. Aku nunggu sampai kamu masuk.”

Kirana turun dari motor. Sepatunya menapaki paving halaman rumah dengan langkah kecil. Pintu rumah masih tertutup rapat, tapi dari sela-sela tirai ia bisa melihat bayangan bergerak. Mereka menunggu. Mereka menunggu untuk memarahi.

Tepat sebelum Kirana membuka pintu, ia sempat menoleh sekali. Samudera masih ada di atas motor, tangan di setang, wajah tak berubah. Tapi matanya mata itu seperti berkata, 'aku di sini. Kamu nggak sendirian'.

Kirana menghirup napas panjang dan masuk ke rumah. Baru setengah langkah, suara Mama langsung muncul.

“Kamu dari mana?!” Nada tinggi, tajam seperti pecahan kaca.

Tissa berdiri di samping, tangan menyilang, mata menatap Kirana dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Lama banget pulangnya.”

Papa muncul dari ruang tamu dengan wajah merah padam. “Ada yang ingin Papa bicarakan.”

Biasanya, Kirana akan menunduk dan berkata “iya, Pa”. Biasanya, ia akan mencoba menjelaskan, meski tau tak akan ada yang mendengarkan. Namun, suara Samudera tadi bergema jelas di kepala.

Kirana menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam.

“Pa … aku capek. Besok aja bicaranya.”

Dan tanpa menunggu izin, ia berjalan lurus menuju kamar.

“Hei!” teriak Papa. “Kirana!”

Namun Kirana tetap berjalan. Papa melangkah cepat, tapi Kirana sudah menutup pintu kamar dan mengunci rapat sebelum suara langkah itu mencapai jarak bahaya. Pintu digedor keras.

“Kirana ... keluar kamu!” suara Papa menggema memenuhi rumah.

Gedoran pintu semakin keras. Kirana memejamkan mata, memeluk dirinya sendiri. Kelopak matanya panas. Lututnya gemetar. Seluruh badannya ingin runtuh, tapi ia ingat pesan Sam.

Ia harus bertahan malam ini. Hanya malam ini. Kembali terdengar suara pintu di gedor.

“JANGAN HARAP KAMU BOLEH HADIR DI PERNIKAHAN ADIKMU!” teriak Papa dari luar. “DASAR ANAK DURHAKA!”

Kirana menggigit bibir, menahan suara yang hampir pecah. Matanya panas, tapi air matanya belum jatuh. Ada bagian dari dirinya yang sakit, tapi lebih dari itu, ada bagian yang marah. Bagian yang selama ini diam, tapi malam ini akhirnya bangun.

Ternyata segininya mereka membenciku. Ternyata sesederhana itu bagiku disingkirkan?

Di luar pintu, Mama mengomel kecil, Tissa tertawa miring, seperti puas melihat Kirana makin kotor di mata keluarga mereka.

“Awas kalau kau tidur di rumah ini tanpa minta maaf!” bentak Papa.

Lalu langkah-langkah kasar menjauh. Keheningan mendadak memenuhi kamar, hanya ditemani getaran kecil di jendela karena angin.

Kirana duduk di lantai, punggungnya bersandar ke pintu. Barulah setelah semuanya tenang, air matanya turun perlahan bukan karena takut, tapi karena lega.

Lega bahwa ia mengunci pintu tepat waktu. Lega bahwa ia tidak membiarkan siapapun menyakitinya lagi hari ini. Dan lega karena ada seseorang di luar sana yang peduli.

Ia mengambil ponselnya. Layar menyala, tapi tidak ada pesan. Jemarinya ragu-ragu, namun akhirnya ia mengetik. "Sam, aku udah masuk kamar. Aku aman. Makasih."

Tidak sampai satu menit, balasan masuk. "Oke. Tidur. Jangan mikir apa-apa."

Kirana menatap pesan itu lama. Ia mengetik lagi, "Sam … mereka marah semua".

Balasan kedua masuk lebih cepat lagi. "Biarin. Yang penting kamu nggak kenapa-kenapa."

Hati Kirana terasa aneh. Hangat. Tapi bukan hangat berdebar. Lebih seperti hangat ketika seseorang menutupinya dengan selimut setelah malam panjang.

Kirana kembali mengetik, "Sam … apa kamu masih di depan rumah?"

Tidak ada balasan selama beberapa detik. Lalu muncul notifikasi. "Udah pergi. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, bilang."

Kirana tersenyum tanpa sadar. Senyum kecil, samar, tapi tulus. Sesuatu dalam dirinya mulai berubah perlahan, seperti embun yang muncul setelah hujan deras. Ia membalas, "Terima kasih buat semuanya hari ini."

Beberapa detik kemudian, "Iya. Besok kita atur apa yang perlu diurus buat minggu depan."

Kirana menatap langit-langit kamar. Minggu depan adalah pernikahannya, tetap sesuai rencana tapi dengan pria berbeda.

Bukan pernikahan impian. Bukan pernikahan penuh cinta. Bukan pernikahan yang ada di bayangannya sejak kecil. Tapi pernikahan yang anehnya, terasa lebih jujur dari semua rencana masa lalunya.

Ia menarik selimut, memejamkan mata. Suara Papa, Mama, dan Tissa masih terngiang samar, tapi tidak lagi mematahkan seperti dulu. Karena di luar sana, ada seseorang yang berkata ia tidak sendiri.

Seseorang yang bukan keluarganya, bukan juga Irfan. Pria yang dulu sangat dia harapkan untuk tempat bersandar.

Paginya, matahari baru muncul ketika Kirana membuka mata. Kelopak matanya masih bengkak, tapi hatinya tidak seburuk semalam. Ia memeriksa ponsel, ada satu pesan baru. Dari Sam. "Pagi. Sarapan yang bener. Aku jemput jam sepuluh."

Kirana menatap pesan itu lama. Ia merasa ingin tertawa dan menangis bersamaan. Baru kali ini ada yang mengingatkan dia sarapan. Ia membalas. "Kenapa jemput? Kita mau ke mana?"

Sam membalas dengan cepat. "Ngurus dokumen. Kita nikah minggu depan. Ingat?"

Kirana mengangkat selimut, menutup wajahnya sendiri sambil menghela napas panjang. "Iya … iya ingat."

Balasan dari Sam muncul satu detik kemudian. "Bagus. Jangan drama."

Kirana memukul bantal dengan gemas. Kesal, tapi juga … ya, entahlah, ada perasaan lucu yang sulit dijelaskan. Ia bangkit dari tempat tidur. Pintu kamar masih terkunci rapat. Di luar, rumah terasa sepi. Mungkin mereka semua masih tidur. Mungkin juga mereka masih marah. Tapi untuk pertama kalinya, Kirana tidak peduli.

Ia mandi, berdandan sederhana, lalu duduk di tepi ranjang sambil menunggu waktu berjalan.

Pukul 09.59, ponselnya berbunyi. "Keluar. Aku di depan."

Kirana berdiri, menarik napas panjang, dan membuka pintu perlahan. Rumah kosong. Benar-benar sepi. Tidak ada yang peduli ia pergi, tidak ada yang bertanya ia mau ke mana.

Saat melangkah ke luar rumah, Kirana merasakan sesuatu. Hidupnya, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun terasa miliknya sendiri.

Dan di depan pagar, Samudera sudah berdiri bersandar pada motornya, helm di tangan, menatapnya seperti biasa, tanpa senyum manis, tanpa kata-kata lembut, tapi penuh ketegasan yang justru membuat Kirana merasa aman.

“Kok lama?” tanya Sam.

Kirana mendengus. “Aku tepat waktu.”

Samudera mengangkat helm. “Ayo. Banyak yang harus disiapin.”

Kirana tersenyum kecil.

“Minggu depan kita menikah,” ucap Kirana pelan, seolah masih tidak percaya.

Samudera mengangguk singkat. “Iya. Tanpa drama.”

Kirana tertawa tipis. “Iya, tanpa drama.”

Tanpa sadar, langkahnya terasa lebih ringan dari kemarin. Dan untuk pertama kalinya setelah hidupnya jatuh berantakan, Kirana merasa masa depannya mungkin tidak seburuk yang ia kira.

Bersama pemuda berusia 21 tahun yang tidak romantis, tidak lembut, dan tidak suka basa-basi, tapi punya cara sendiri untuk memeluk seseorang tanpa menyentuhnya.

1
Siti Amyati
haha gimana ngga salah paham mami lihat momen kok ngga pas pa lgi status masih pengantin baru lanjut kak
Cindy
lanjut kak
Taslim Rustanto
Kirana ternyata punya hobi jatuh ya...bentar LG juga jatuh...
jatuh cinta .wa ea aa
Mama Reni: 🤣🤣🤣🫣🫣
total 1 replies
dyah EkaPratiwi
hahaha pikir mama Vania udah seneng nie ya anaknya proses buat cucu
Taslim Rustanto
astagaaa... bakalan seru nih penganten baru.. kira"ada adegan selanjutnya ga ya..😄😄😄
shenina
ekhem..🤭🤭
Linfaurais
Disangka mama vania si sam mau bikin cucu
Eka ELissa
perkara drama kepleset....jadi ke gep deh ...🤣🤣🤣🤣🤣🤭
Faiz Pendar
ternyata ada untung nya juga notif nya telat jadi bisa sekalian nabung bab🤭

ditunggu lanjutannya
Fitria Syafei
Wow mereka mama semoga ya mereka selalu bersama dan bersatu 🤲 mama cantik kereeen 😍😍
vj'z tri
author ngelawak 🤣🤣🤣🤣 semut say hi🤣🤣🤣🤣🤣
Rahma
maaam aq nunggu2 tisa sm Irfan shock tau pesta pernikahan Kirana mewah dan pernikahan mereka sepi ko blm muncul lg Irfan sm Tissa
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
🤣🤣🤣🤣🤣
Alona Luna
🤣🤣🤣 ngakak bangettt
Tiara Bella
Kirana hobi bngt sh jatoh....wkwkkwkw ..tp lucu
Radya Arynda
ya alloh ikut bahagia melihat mereka....mama reni memang the best🫶🫶🫶🫶🫶
Teh Euis Tea
hahaha ketahuan sm mami vania di kira mau enyak enyak tuh si sam sm kiran
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭
Dew666
💎🍭🍎
partini
❤️❤️❤️❤️👍👍👍👍
Fitra Sari
makasih KK doubel up nya ..ditunggu next nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!