"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Janin yang Bergerak Kasar
Kirana bangkit, mencuci wajahnya dengan kasar. Ia membuka pintu dan melangkah keluar, wajahnya pucat tetapi tatapannya tajam. Ia melihat Nyi Laras di depan kamar, tersenyum lebar sambil memegang handuk dan baskom perak, dan ia tahu, Janin yang Bergerak Kasar itu baru saja memulai terornya yang sesungguhnya.
"Oh, anakku. Kau pasti kedinginan," sambut Nyi Laras, suaranya kembali lembut dan menenangkan, seolah adegan mencekik dan meracuni barusan hanyalah imajinasi buruk. "Kemarilah, Ibu akan membasuhmu. Kau harus bersih untuk Waris kita."
Nyi Laras meletakkan baskom perak itu di meja. Air di dalamnya tidak hangat, tetapi dingin menusuk, dan dipenuhi kelopak bunga mawar hitam yang tidak pernah Kirana lihat sebelumnya. Di samping baskom, tergeletak handuk tenun yang tebal, berbau dupa yang aneh.
"Aku bisa membersihkan diriku sendiri," tolak Kirana, langkahnya mundur.
Nyi Laras menggeleng, senyumnya tidak memudar. "Tidak bisa, Sayang. Ritual itu harus tuntas. Ibu harus memastikan racun kota sudah hilang, dan benih Waris ini sudah kuat. Duduk."
Ada kekuatan yang tak terbantahkan dalam perintah Nyi Laras. Kirana duduk di kursi rotan, meskipun seluruh tubuhnya menolak. Ia merasa terhina, kembali diperlakukan seperti anak kecil yang tidak berdaya, padahal ia adalah seorang ibu yang sebentar lagi melahirkan.
Nyi Laras mulai membasuh tangan Kirana dengan air mawar hitam itu. Airnya terasa seperti es, membuat kulit Kirana merinding.
"Dimas kemana?" tanya Kirana, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Dia melakukan tugasnya. Mencari perlindungan untuk kalian berdua," jawab Nyi Laras santai, sambil mengelap pergelangan tangan Kirana dengan gerakan yang sangat lambat. "Kau harus berterima kasih pada suamimu. Dia memastikan utang kalian lunas dan bayimu aman."
"Aman? Atau dijual?" sindir Kirana.
Senyum Nyi Laras mengeras. "Kata-katamu tajam, Nak. Itu harus dihilangkan."
Tiba-tiba, Nyi Laras beralih ke perut Kirana. Ia menyiramkan sisa air mawar hitam itu ke perut Kirana yang besar. Air itu terasa seperti disiram cuka asam, dan perut Kirana langsung bereaksi.
Janin itu bergerak. Bukan tendangan lucu yang biasa Kirana rasakan. Kali ini, gerakannya sangat kasar dan tidak alami. Kirana bisa merasakan ada bagian tubuh yang keras, runcing, menggores di dalam, seolah bayi itu mencoba mengubah posisinya secara paksa. (Show, Don't Just Tell: Pergerakan janin yang tidak normal meningkatkan kengerian fisik dan urgensi.)
"Aduh!" Kirana mencengkeram perutnya. "Sakit, Bu! Janinnya!"
"Dia hanya merespons, Sayang," kata Nyi Laras tenang, menggosok perut Kirana dengan kain handuk, tetapi gosokannya terasa menekan, seolah ia sedang mengurut organ dalam Kirana. "Dia senang dengan air ini. Air dari sumur tua yang selalu tertutup. Ia adalah air kehidupan para Waris."
"Dia bergerak terlalu kuat! Dia bisa menyakitiku!"
"Dia tidak akan menyakitimu, dia adalah bagian dari dirimu, Kirana," Nyi Laras mengangkat kepalanya, matanya menatap tajam ke mata Kirana. "Kecuali kau terus melawannya. Kau harus tenang. Hanya dengan ketenangan, Waris akan tumbuh sempurna."
Gerakan kasar janin itu kini memuncak. Kirana benar-benar melihat sebuah benjolan runcing bergerak dari kanan ke kiri perutnya dengan kecepatan mengerikan. Itu bukan lagi tendangan, melainkan serangan internal.
"Aduh! Astaga... hentikan!" Kirana mendorong tangan Nyi Laras menjauh.
"Kau berani mendorongku?" Nyi Laras berdiri tegak, matanya memancarkan kemarahan. Baskom perak itu terbalik, air mawar hitam tumpah ke lantai, meninggalkan bekas seperti noda oli.
"Dia bergerak seperti... seperti dia bukan bayiku..." gumam Kirana, terengah-engah.
"Tentu saja bukan hanya bayimu. Dia adalah Waris. Dan dia membenci penolakan," Nyi Laras membungkuk, wajahnya sangat dekat dengan wajah Kirana. "Mulai sekarang, setiap kali kau mencoba lari, setiap kali kau meragukan Ibu, dia akan Memar yang Berpindah di tubuhmu. Dia akan menghukummu dari dalam."