Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 22
Viena menghela napas panjang. “Aku tahu kamu pasti kesel.”
Darren tidak menjawab. Ia hanya menatap layar laptopnya sebentar, lalu menutupnya perlahan. “Tentang apa?”
“Ya… tentang aku yang tiba-tiba pergi waktu itu.”
Cara bicaranya gugup parah. Gadis itu menatap lantai sembari memainkan senar gitar di pangkuannya tanpa suara. “Malam itu aku… aku cuma panik, gitu. Mungkin karena restoran itu terlalu ramai, atau mungkin aku belum terbiasa ngobrol serius. Jadi ya… cabut aja.”
“Panik.” Darren mengulang kata itu datar, menimbang bobotnya.
“Iya,” Viena buru-buru menambahkan. “Aku tuh tipikal orang yang kalau udah ngerasa tekanan dikit, langsung kabur. Tapi aku gak bermaksud ninggalin kamu gitu aja, sumpah. Aku cuma… gak tahu harus bilang apa.” Kebohongan itu meluncur cepat, seperti keran bocor yang susah dihentikan. “Aku tuh… takut salah ngomong. Takut bikin suasana aneh. Takut kamu salah paham. Pokoknya—”
“Viena.”
Suaranya memotong dengan tenang tapi tegas.
Darren bersandar ke kursi, menatap gadis itu lurus tanpa kemarahan. “Aku tahu kamu bohong.”
Jemari Viena berhenti di atas senar gitar. Nyaris tak bernapas. “Hah? Enggak, aku beneran cuma—”
“Kalau kamu cuma gugup, kamu gak akan lari kayak gitu,” lanjut Darren. “Aku kenal kamu. Kamu tipe orang yang tahan di situ sampai sebagian orang bubar, baru pulang paling akhir. Jadi kalau kamu tiba-tiba berdiri dan pergi tanpa alasan, itu pasti bukan cuma gugup.”
Alhasil Viena tertunduk. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia bersuara lagi, pelan, lirih, “Ya, mungkin karena aku terlalu mikirin omongan kamu.”
“Yang mana?”
“Yang soal ‘cantik’,” balasnya secepat kilat, lalu menutup mulutnya sendiri. Wajahnya memanas. “Lupain aja.”
Darren menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar. “Aku gak nyangka, ternyata cuma itu yang bikin kamu kabur.” Pemuda itu tampak kelewat lega. Garis miring yang itu! Senyuman andalan pemuda itu kala dirinya merasa di atas angin. Bermaksud hangat namun justru terlihat sadis bagi lawan bicaranya.
“Aku gak kabur!” Viena membela diri, tapi suaranya malah pecah. “Aku cuma… gak suka dibilang cantik. Terus waktu kamu ngomong itu dengan nada se-serius itu, aku… ya, otakku langsung nge-blank.”
“Nge-blank, huh?” Pemuda itu malah terkekeh. “Nge-blank satu Minggu?”
“Ya, jadi aku kabur. Sekarang puas?” ujarnya dengan ekspresi setengah malu, setengah kesal. Seandainya gitar ini bisa dilempar.
“Lumayan.” Darren menunduk, menyisir kasar rambutnya ke belakang dengan tangan kala menahan tawa. “Tapi makasih udah jujur.”
Viena mengembuskan napas lega, sedikit lebih santai. Tapi belum sempat ia menaruh gitar, Darren mendahuluinya, “Kamu belum pernah ke rumahku, kan?”
“Hah?” Ia nyaris menjatuhkan gitar. “Rumah kamu?”
Darren menatapnya datar, seolah baru menanyakan hal sepele. “Iya. Aku udah pernah nganter kamu ke tempat Sita, bahkan ke kos kamu yang sekarang. Tapi kamu gak pernah sekali pun datang ke tempatku.”
“Ya… karena emang gak perlu?” Viena mengerutkan kening. “Lagian kenapa emangnya?”
“Karena sekarang aku mau ngajak kamu ke sana.”
Kata-kata itu membungkus waktu untuk berhenti sejenak. Viena bahkan lupa caranya menelan ludah.
“Ngajak ke… rumah kamu? Malam ini?”
“Kenapa?” Darren menelengkan kepala. “Kamu pikir aku bakal culik kamu?”
“Bukan gitu! Tapi… itu, kita kan harusnya makan di rooftop sama anak-anak.”
“Udah aku kabarin. Mereka bisa nongkrong tanpa kita.” Darren berdiri, meraih tasnya, lalu menoleh. “Aku gak mau ada jarak di antara kita. Bukan cuma karena kerjaan, tapi karena aku benci kalau kamu sampai takut sama aku.”
Kalimat itu jatuh seperti batu ke dada Viena.
Ia ingin membantah, tapi yang keluar hanya gumaman marmut. “Aku gak takut… .”
“Kalau gitu ikut,” balasannya mengandung tekanan yang mustahil ditolak.
Akhirnya Viena menuruti, walau langkahnya ragu. “Emangnya ada apa di rumah kamu?”
“Gak ada apa-apa,” jawabnya tenang. “Cuma tempat biasa. Tapi kalau kamu pengen tahu aku kayak apa di luar studio, ya itu tempatnya.”
Viena tidak menyangka sore itu akan berakhir begini.