Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: MENANTU YANG DIINJAK-INJAK
Fajar belum sepenuhnya menyingsing di Kota Batu Karang ketika bentakan kasar pertama menggema dari halaman belakang Kediaman Keluarga Cakrawala.
"BANGUN, SAMPAH!"
BUAGH!
Sebuah tendangan brutal menghantam tulang rusuk Baskara Atmaja Dirgantara, membuatnya terguling dari tikar lusuh yang menjadi alas tidurnya. Rasa sakit menusuk dadanya bagaikan disayat pisau panas, tapi dia tidak berteriak. Dia sudah terbiasa. Ini bukan kali pertama, bahkan bukan yang kesepuluh kalinya.
"Apa kau tuli?! Aku bilang bangun!"
Jarwo, pelayan bertubuh besar itu, menginjak punggung Baskara, menekannya kuat-kuat ke tanah berdebu. Dua pelayan lain berdiri di sampingnya, tertawa dengan tangan terlipat di dada, menikmati tontonan pagi mereka.
Baskara menggigit bibir, menahan desisan perih. Matanya—hitam legam tanpa binar kehidupan—menatap tanah dengan ekspresi datar. Kosong. Seperti mayat hidup. Tidak ada amarah, tidak ada perlawanan. Hanya kekosongan yang ia latih bertahun-tahun agar mereka cepat bosan menyiksanya.
"Lihat dia," Jarwo meludah tepat di samping wajah Baskara. "Tidak ada reaksi sama sekali. Persis anjing yang tulang punggungnya sudah patah."
"Tentu saja," sahut pelayan kedua, Gito, sembari menendang kaki Baskara dengan main-main. "Dia cuma sampah tanpa kultivasi. Sukma-nya hancur sejak lahir. Dia bisa menikahi Nona Larasati pun hanya karena Patriark kasihan pada keluarganya yang sudah mati."
"Kasihan?" Pelayan ketiga, Bambang, tertawa terbahak-bahak. "Lebih tepatnya, dulu keluarganya punya sedikit pengaruh. Tapi sekarang? Keluarganya tewas semua, dia sendiri cuma beban. Kalau bukan karena Nona Larasati terlalu baik hati, dia sudah ditendang dari sini sejak lama."
Jarwo mengangkat kakinya dari punggung Baskara, memberinya celah untuk bergerak. Perlahan, Baskara mendorong tubuhnya bangkit. Setiap gerakan terasa menyiksa, seolah ia sedang memikul batu besar. Tulang rusuknya yang retak—oleh-oleh pemukulan kemarin—memprotes dengan nyeri yang menikam.
Ia berdiri. Meski tubuhnya kurus kering, perawakannya sebenarnya bidang dan tegap. Tingginya 183 sentimeter, seharusnya tampak gagah dan mengintimidasi. Namun, tubuh yang kekurangan gizi dan jubah abu-abu lusuh itu membuatnya terlihat seperti hantu kelaparan yang gentayangan.
"Sekarang," Jarwo menunjuk tumpukan kayu menggunung di sudut halaman, "angkut semua kayu itu ke dapur. Nyonya Ratih butuh untuk memasak sarapan keluarga besar. Jangan sampai terlambat, atau kau tahu akibatnya."
Baskara hanya mengangguk pelan, tanpa suara. Ia menyeret langkah menuju tumpukan kayu, mengatur napasnya yang berat.
Ketiga pelayan itu kembali menertawainya saat ia mengangkat kayu pertama. Beban yang seharusnya ringan bagi pria seusianya terasa seberat gunung. Tanpa kultivasi, tanpa aliran Prana di tubuhnya, dia sama lemahnya dengan manusia biasa—bahkan lebih lemah, karena Sukma yang hancur membuat tubuhnya gagal menyerap energi dari makanan.
"Lihat tangannya gemetar!" ejek Gito sambil menunjuk Baskara.
"Menyedihkan."
Mereka akhirnya berlalu sambil tertawa puas, meninggalkan Baskara sendirian di halaman yang dingin dan sepi.
Baru setelah suara langkah kaki mereka benar-benar menghilang, topeng datar di wajah Baskara retak sedikit. Rahangnya mengeras hingga urat-urat lehernya menonjol. Mata hitamnya berkedip sekali—memancarkan kilatan emosi mengerikan yang langsung ia kubur kembali.
‘Suatu hari nanti’, bisik batinnya, mengangkat kayu kedua dengan tulang rusuk yang menjerit kesakitan, ‘suatu hari nanti, kalian semua akan membayar ini. Seratus kali lipat!’
Tapi hari ini bukan harinya.
Hari ini, dia masihlah sampah.
Aula makan Kediaman Cakrawala adalah ruangan megah dengan pilar-pilar kayu jati berukir naga—sebuah ironi, mengingat tak satu pun anggota keluarga ini pernah melihat naga sejati. Meja panjang dari kayu mahoni mengkilap di bawah cahaya lampu kristal, dan aroma masakan lezat memenuhi udara, menggoda selera.
Baskara berdiri di sudut ruangan yang gelap, seperti biasa. Bukan di meja. Tidak pernah di meja.
Di kursi utama, Patriark Dharma Cakrawala duduk dengan wibawa. Pria lima puluhan tahun dengan jenggot tipis dan mata setajam elang. Kultivator Ranah Inti Emas Bintang 5—cukup kuat untuk ukuran klan kecil di Benua Niskala.
Di sebelah kanannya duduk Nyonya Ratih, ibu Larasati. Wanita cantik berusia empat puluhan dengan gaun sutra hijau zamrud. Tatapannya dingin menusuk, terutama saat melirik ke sudut tempat Baskara berdiri.
Dan di seberang meja, duduk dengan angkuh, adalah Wibawa Cakrawala. Pemuda dua puluh tiga tahun dengan tubuh atletis dan wajah lumayan tampan—jika bukan karena senyum meremehkan yang selalu terpatri di bibirnya. Kultivator Ranah Pengumpulan Prana Bintang 9, dia adalah kebanggaan generasi muda keluarga Cakrawala.
Larasati duduk di samping ibunya, kepala tertunduk dalam, tak berani menatap siapa pun. Rambut hitam panjangnya dikepang longgar, beberapa helai jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Bahkan dalam kondisi tertekan dan ketakutan, kecantikannya tetap memancar. Kulit seputih giok, bibir merah alami, dan mata lembut yang kini dipenuhi kecemasan.
"Makanan pagi ini luar biasa," puji Patriark sambil mengunyah daging panggang. "Koki kita memang tidak mengecewakan."
"Tentu saja, Paman," sahut Wibawa sambil mengambil sepotong roti. "Kita adalah Keluarga Cakrawala. Yang terbaik adalah standar kita."
Dia melirik ke arah Baskara di sudut ruangan, dan senyumnya melebar licik.
"Oh, aku hampir lupa. Kita punya 'keluarga' lain di sini." Suaranya penuh nada mengejek.
Denting sendok berhenti. Semua orang di meja menahan napas, mengikuti arah pandangan Wibawa.
Baskara tetap diam, tatapan kosong ke lantai. Dia sudah hafal skenario ini. Sebuah ritual sadis yang berulang setiap pagi.
"Baskara," panggil Patriark dengan nada seolah ia sedang bicara pada kotoran di sepatunya. "Sudah berapa lama kau menikahi putriku?"
"Tiga tahun, Patriark," jawab Baskara, suaranya rendah dan serak.
"Tiga tahun!" Wibawa menggebrak meja pelan, pura-pura terkejut. "Tiga tahun! Dan apa yang sudah kau berikan pada keluarga ini? Apa kontribusimu?"
Baskara membisu. Tidak ada jawaban yang benar untuk pertanyaan retoris yang bertujuan mempermalukannya.
"Tidak ada," jawab Wibawa sendiri, bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekat, langkah kakinya bergema di ruangan sunyi. "Kau tidak bisa berkultivasi. Kau tidak bisa membantu bisnis keluarga. Kau bahkan tidak becus melindungi istrimu sendiri."
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari tendangan Jarwo pagi tadi. Karena itu adalah kebenaran yang pahit.
"Dan yang terburuk," Wibawa kini berdiri tepat di hadapan Baskara, menatapnya dengan jijik, "kau mengotori nama besar Cakrawala. Orang-orang di kota menertawakan kita. Mereka bilang, 'Keluarga Cakrawala yang terhormat memelihara menantu sampah yang tidak berguna.'"
"Wibawa, cukup." Suara itu lembut, namun tegas.
Larasati berdiri, tangannya mengepal di sisi tubuh. Wajahnya pucat pasi, tapi matanya—untuk pertama kalinya pagi ini—menatap tajam pada Wibawa.
"Dia sudah cukup menderita. Jangan—"
"Diam, Larasati!" bentak Nyonya Ratih. "Ini bukan tempatmu bicara. Duduk!"
Larasati tersentak, tapi ia bertahan. Ia menatap ibunya dengan pandangan terluka. "Ibu, dia suamiku—"
"Suami?" Patriark tertawa dingin, membuat suhu ruangan terasa anjlok. "Suami? Larasati, jangan konyol. Pernikahan itu adalah kesalahan. Kesalahan yang akan segera kita perbaiki."
Hening mencekam menyelimuti ruangan. Bahkan Wibawa berhenti tersenyum.
Patriark berdiri, mengumumkan titahnya dengan suara lantang.
"Dalam tiga bulan, Larasati akan menikah dengan Tuan Muda Adipati Lesmana dari Kota Waja Kencana. Ini adalah kesempatan emas bagi keluarga kita untuk naik kasta. Adipati adalah kultivator Ranah Inti Emas Bintang 5, dari keluarga kaya raya dan berpengaruh."
Kata-kata itu jatuh bagaikan vonis hukuman mati.
Larasati merosot kembali ke kursinya, wajahnya kehilangan seluruh rona kehidupan. Tangannya gemetar hebat, menutupi mulutnya yang terbuka karena syok.
"Tapi... tapi aku sudah menikah..." bisiknya, nyaris tak terdengar.
"Pernikahan dengan sampah tidak bisa dianggap," potong Wibawa kejam. Ia kembali ke meja, mengambil semangkuk nasi penuh lauk, lalu berjalan lagi ke arah Baskara. Senyum jahat kembali merekah di wajahnya. "Bukankah begitu... Kakak Ipar?"
Wibawa menyodorkan mangkuk nasi itu. Untuk sesaat, Baskara berpikir mungkin ada setitik rasa kemanusiaan tersisa. Namun, dia salah besar.
CUIH!
Wibawa meludah tepat ke tengah mangkuk nasi itu. Dahak kental kini menodai makanan tersebut. Lalu, dengan kasar ia menjejalkan mangkuk itu ke tangan Baskara.
"Ini sarapanmu. Makanan yang pas untuk sampah sepertimu."
Tawa meledak dari beberapa pelayan yang mengintip dari pintu dapur. Bahkan Nyonya Ratih tersenyum tipis, tampak puas dengan pemandangan itu.
Baskara menatap nanar mangkuk di tangannya. Nasi putih yang seharusnya hangat, kini menjijikkan karena ludah Wibawa. Perutnya meraung kelaparan—ia belum makan sejak kemarin sore—tapi harga dirinya menahan tangannya untuk bergerak.
Dia hanya berdiri di sana. Diam. Membatu.
"Kenapa tidak dimakan?" Wibawa mendesak, wajahnya kini hanya berjarak beberapa inci dari wajah Baskara. "Apa kau tersinggung? Kau pikir kau terlalu mulia untuk makanan ini?"
Masih tidak ada jawaban.
Kesabaran Wibawa habis. Ia menampar mangkuk itu dari tangan Baskara.
PRANG!
Pecahan keramik dan nasi berserakan di lantai.
"Kalau begitu jangan makan! Mati saja kelaparan, lihat apa aku peduli!"
"WIBAWA!" Larasati bangkit lagi, kali ini menjerit histeris. Air mata membanjiri pipinya. "CUKUP! DIA TIDAK PANTAS DIPERLAKUKAN SEPERTI BINATANG!"
BRAK!
Nyonya Ratih menggebrak meja dengan keras. "LARASATI! DUDUK SEKARANG ATAU KAU AKAN DIKURUNG DI KAMAR SELAMA SEMINGGU!"
Tubuh Larasati terguncang hebat karena tangis, tapi dia tidak duduk. Dia menatap Baskara dengan mata penuh kesedihan dan rasa bersalah yang mendalam.
"Maafkan aku," bisiknya lirih, suaranya pecah. "Maafkan aku karena aku tidak berguna... aku tidak bisa melindungimu."
Kalimat itu menusuk hati Baskara. Itu adalah kalimat yang sama yang ingin ia ucapkan pada istrinya.
Namun Baskara tidak menanggapi. Ia hanya menundukkan kepala lebih dalam, membiarkan rambut hitam panjangnya yang berantakan menutupi wajahnya.
Di dalam lubuk hatinya yang terdalam, sesuatu yang sangat gelap mulai menggeliat. Sesuatu yang sudah ia kubur dalam-dalam selama tiga tahun penghinaan ini. Sesuatu itu berbisik dengan suara sedingin es neraka:
‘Ingat ini. Ukir dalam ingatanmu. Suatu hari nanti, mereka akan berlutut. Suatu hari nanti, mereka akan memohon kematian. Dan kau akan mengingatkan mereka tentang hari ini.’
Patriark menggelengkan kepala, seolah drama ini hanya membuang waktunya. "Larasati, kembali ke kamarmu. Kau tidak boleh keluar sampai kau mengerti posisimu dalam keluarga ini."
Dua pelayan perempuan maju, mencengkeram lengan Larasati dan menyeretnya keluar aula secara paksa. Wanita itu tidak melawan, hanya terus menangis, menatap Baskara dengan pandangan putus asa sampai pintu tertutup.
"Baskara," panggil Patriark, nada suaranya dingin. "Kau akan pindah dari sayap utama kediaman. Mulai hari ini, tempatmu adalah di gudang belakang. Dan jangan coba-coba mendekati Larasati lagi. Jika aku mendengar kau berusaha menemuinya, aku akan perintahkan penjaga untuk mematahkan kedua kakimu. Mengerti?"
Baskara mengangkat kepalanya sedikit. Cukup untuk memperlihatkan sorot matanya yang kelam.
"Mengerti, Patriark."
"Bagus. Sekarang enyah dari sini. Kehadiranmu membuatku mual."
Sisa hari itu berlalu dalam kabut kesakitan dan kelaparan yang menyiksa. Baskara dipaksa mengangkut barang, membersihkan halaman luas, dan melakukan pekerjaan kasar yang bahkan dihindari oleh pelayan terendah. Tidak ada yang berbicara padanya kecuali membentak. Tidak ada yang menatapnya kecuali dengan pandangan jijik.
Ketika matahari akhirnya tenggelam, Baskara menyeret langkahnya ke gudang belakang—sebuah ruangan sempit berbau apek, dengan satu tikar lusuh dan jendela kecil yang retak. Tempat ini bahkan tidak layak untuk kandang hewan.
Tapi Baskara tidak peduli. Dia sudah terlalu lelah untuk merasakan apa pun.
Ia merebahkan tubuhnya di tikar, menatap langit-langit kayu yang dipenuhi sarang laba-laba. Tulang rusuknya berdenyut nyeri. Perutnya perih melilit. Seluruh tubuhnya menggigil, entah karena dingin malam atau karena kelelahan ekstrem.
Namun, pikirannya jernih. Sangat jernih dan tajam.
‘Tiga bulan,’ pikirnya. ‘Dalam tiga bulan, mereka akan menyerahkan Larasati pada orang lain. Mereka akan merenggut satu-satunya orang yang pernah memperlakukanku sebagai manusia.’
Tangannya mengepal di samping tubuh, begitu keras hingga kuku-kukunya menancap melukai telapak tangan.
‘Aku tidak punya kekuatan. Aku tidak punya uang. Aku tidak punya apa pun. Tapi aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku akan menghancurkan dunia ini sebelum membiarkan dia diambil.’
Ia memejamkan mata, mencoba tidur, namun kantuk tak kunjung datang.
Yang datang justru suara-suara mencurigakan.
Langkah kaki mengendap-endap di luar gudang. Bisik-bisik yang terbawa angin malam.
Baskara membuka mata seketika. Tubuhnya diam tak bergerak, pendengarannya dipertajam.
"...besok malam..."
"...buang ke Jurang Larangan..."
"...bersih, tidak akan ada jejak..."
Itu suara Wibawa. Dan suara para begundalnya.
Jantung Baskara seolah berhenti berdetak sesaat.
Mereka berencana membunuhnya.
Besok malam.
Jurang Larangan—tempat keramat yang dikenal sebagai kuburan massal. Konon, siapa pun yang jatuh ke sana, jasadnya takkan pernah ditemukan.
Suara-suara itu perlahan menjauh, meninggalkan Baskara sendirian dalam kegelapan gudang yang mencekam.
Ia tetap berbaring, menatap kegelapan dengan otak yang berputar cepat.
‘Mereka akan membunuhku besok malam.’
Anehnya, tidak ada rasa takut di wajahnya. Tidak ada kepanikan.
Hanya kekosongan yang sama. Dan... secercah kegilaan.
"Bagus," bisiknya dalam keheningan. Senyum tipis—senyum pertamanya dalam berbulan-bulan—tersungging di bibirnya. Senyum iblis yang sama sekali tidak mencapai matanya yang dingin.
"Kalian ingin membunuhku? Silakan coba. Tapi kalian tidak tahu... kalian tidak tahu bencana apa yang akan kalian bangunkan."
Entah kenapa, sesuatu dalam darahnya—insting purba yang sudah lama terkubur—berbisik bahwa besok malam akan mengubah segalanya.
Entah dia akan mati membusuk.
Atau dia akan terlahir kembali sebagai mimpi buruk mereka.
Dan dunia ini akan segera mengetahui perbedaannya.
Mata Baskara terpejam perlahan, tapi jiwanya terjaga, merencanakan, bersiap.
Besok malam, di Jurang Larangan, takdir akan diputarbalikan.
Dan tidak ada satu pun dari mereka—tidak Wibawa, tidak Patriark, tidak seluruh Keluarga Cakrawala—yang siap menghadapi apa yang akan merangkak naik dari dalam jurang itu.
[BERSAMBUNG KE BAB 2]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe