Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Nampan di tangannya hampir terjatuh, namun Kinara masih bisa menahannya. Arman yang tadi penuh amarah mendadak membeku saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
“K–Kinara?” suaranya berubah. Panik, wajahnya pucat. Kursi rodanya terdorong maju tanpa sadar, rodanya berdecit pelan. “Aku … aku kira pelayan,”
Kinara menyentuh pelipisnya, darah tipis membasahi ujung jarinya. “Aku tidak apa-apa,” katanya cepat, seolah ingin menenangkan Arman lebih dulu daripada dirinya sendiri.
Arman menelan ludah, tangannya gemetar saat hampir meraih Kinara, lalu berhenti di udara.
“Aku tidak bermaksud ... aku tidak tahu itu kamu.”
“Aku tahu,” jawab Kinara pelan. Dia melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Makanya aku tetap masuk.”
Dia meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela, lalu menoleh kembali ke arah Arman. “Mama bilang Bapak sering seperti ini, mengurung diri.”
“Itu bukan urusanmu,” Arman berkata dingin, tapi nada suaranya tidak sekeras sebelumnya.
“Mungkin bukan,” Kinara mengangguk. “Tapi aku istri Bapak. Setidaknya … untuk sekarang.”
Arman terdiam, Kinara mengambil tisu dari meja rias dan mendekat.
"Kamu terluka gara-gara aku, biarkan aku obati lukamu." Katanya, Kinara melirik dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu," sahut Kinara.
"Tapi itu karena aku," Arman berkata sembari meraih tisu di tangan Kinara, Wanita ini tak membantah. Arman langsung menyeka darah di keningnya dengan hati-hati. Jarak mereka begitu dekat hingga Arman bisa merasakan hangat tubuh Kinara dan aroma lembut sabunnya.
“Aku tidak datang untuk mengubah Bapak hari ini,” Kinara akhirnya bersuara, lirih tapi jujur. “Aku cuma tidak mau Bapak sendirian saat Bapak seperti ini.”
Kinara menutup matanya. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun tak beraturan.
Kinara masih memejamkan mata saat Arman selesai membersihkan lukanya. Jemari Pria itu menjauh, namun kehangatan kehadirannya masih tertinggal, membuat dada Kinara terasa sesak dengan perasaan yang tak ia pahami.
“Kamu harus pergi kerja,” ujar Arman akhirnya, suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku tidak mau kamu terlambat gara-gara aku.”
Kinara menatapnya beberapa detik. “Aku bisa izin datang sedikit siang.”
“Tidak.” Arman membuka mata, menatap Kinara lurus. “Kamu baru mulai kerja, jangan beri mereka alasan untuk meremehkanmu.”
Kinara terdiam, ada kebenaran dalam ucapan itu. Ia lalu mengangguk pelan.
“Tapi setidaknya makan sedikit,” katanya sambil menunjuk nampan di meja. “Kalau tidak, aku akan marah.”
Sudut bibir Arman bergerak nyaris tak terlihat. “Kamu sudah marah.”
“Belum,” Kinara menyahut cepat. “Itu nanti kalau Bapak tetap keras kepala.”
Arman menghela napas panjang, lalu dengan enggan mengulurkan tangan ke arah mangkuk sup. Ia menyuap sedikit, tidak banyak, tapi cukup membuat Kinara merasa lega.
“Aksa akan kecewa kalau tahu Bapak tidak sarapan,” tambah Kinara.
“Kamu pakai dia sekarang?” Arman mendengus pelan.
“Selalu berhasil,” Kinara tersenyum kecil.
"Berhenti memanggilku Pak atau Bapak. Mungkin kita hanya beda enam tahun saja," ujar Arman menyembunyikan raut wajahnya yang sedikit memerah.
"Oke," sahut Kinara sembari tersenyum.
Hening kembali mengisi kamar. Arman memalingkan wajah ke jendela.
“Tentang kemarin … di mobil,” katanya akhirnya. “Aku tidak seharusnya membentakmu.”
Kinara terkejut, dia tidak menyangka Arman akan meminta maaf, meski dengan cara yang kaku.
“Aku tahu itu bukan salahmu,” lanjut Arman, suara bergetar samar. “Aku … hanya tidak bisa mengendalikan diri.”
Kinara melangkah mendekat, berhenti tepat di samping kursi rodanya.
“Aku tidak tersinggung,” katanya jujur. “Aku cuma ingin Bapak tahu … Bapak tidak sendirian sekarang.”
Arman menatapnya lama. “Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi kalau tetap di sini.”
“Biar aku yang menilai, karena memang aku yang mau memulainya,” jawab Kinara tenang.
Ponsel Kinara bergetar di saku. Ia melirik layar, panggilan dari kantornya. Dia mengangkatnya sebentar, menjawab singkat bahwa ia akan segera tiba.
“Aku harus berangkat,” kata Kinara setelah menutup telepon. Ia melangkah ke pintu, lalu berhenti.
“Mas Arman.”
“Hm?”
“Kalau hari ini terasa berat, jangan hancurkan dirimu sendirian. Setidaknya … makan. Itu sudah cukup buatku.”
Kinara membuka pintu dan pergi.
Arman menatap pintu yang tertutup itu lama sekali. Tangannya kembali terkepal, namun kali ini tidak sepenuh amarah, melainkan kebingungan. Jantungnya berdebar, pertama kali Kinara memanggilnya dengan sebutan, Mas.
Arman kembali menatap nampan di atas meja. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh mangkuk sup yang masih menyisakan hangat. Dia menyuap pelan, kali ini tanpa paksaan. Rasanya sederhana, tapi entah kenapa menenangkan.
Dari arah balkon kamar, terdengar samar suara mesin mobil menyala, lalu menjauh. Arman memutar kursi rodanya, mendekat ke jendela kaca besar. Mobil merah metalik itu keluar dari garasi, meluncur perlahan meninggalkan halaman rumah.
Dadanya terasa mengencang, ponsel di tangannya bergetar.
[Terima kasih ya … Aku berangkat kerja dulu.]
Arman menatap layar beberapa detik, lalu jarinya bergerak. Ia mengirim satu emoji senyum.
[Selamat kerja.]
Pesan terkirim, Arman menyandarkan punggungnya, menarik napas panjang. Ada sesuatu yang berbeda pagi itu, sesuatu yang hampir ia lupakan rasanya, tenang dan ada harapan.
Tak lama, ketukan pelan terdengar di pintu kamar.
“Masuk,” ujar Arman.
Rudi melangkah masuk. Ia langsung menangkap perubahan kecil di wajah tuannya garis tegang yang biasanya mendominasi kini sedikit melunak.
“Sepertinya pagi ini lebih baik,” kata Rudi hati-hati.
Arman tidak menjawab, hanya memberi isyarat agar Rudi mendekat.
Rudi menyerahkan sebuah map cokelat tebal. “Ini hasil penelusuran rekaman CCTV lima tahun yang lalu, Tuan.”
Arman membuka map itu. Beberapa foto cetak dan transkrip rekaman tersusun rapi, alisnya berkerut.
“Sebagian rekaman di persimpangan utama sudah hilang,” lanjut Rudi. “Data lama, dan ada yang terhapus. Tapi kami menemukan rekaman dari sudut lain.”
Jari Arman berhenti di satu foto. Sebuah mobil terlihat jelas, mobil yang ia tabrak setelah membanting setir.
“Platnya terlihat,” gumam Arman pelan.
“Ya, mobil itu terekam jelas. Pemiliknya bisa dilacak,” jawab Rudi.
Arman menghela napas. “Dalam kecelakaan itu … aku tetap bersalah. Mobilku membuat mobil itu ikut terseret. Walaupun tidak disengaja.”
Rudi terdiam, menunggu perintah.
“Selidiki pemilik mobil itu,” ujar Arman tegas. “Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi setelahnya. Aku ingin meminta maaf pada pemiliknya,”
Ia menutup map, lalu menatap Rudi tajam. “Dan satu lagi, mobil yang menyalipku sebelum kecelakaan. Yang tidak terekam platnya.”
Rudi mengangguk. “Kami sedang mempersempit kemungkinan. Ada beberapa kendaraan dengan ciri serupa di area itu.”
“Cari,” potong Arman. “Aku ingin tahu siapa mereka. Kecelakaan itu … bukan sekadar nasib.”
Rudi merasakan nada suara yang berbeda, bukan kemarahan kosong seperti selama ini, melainkan tekad.
“Baik, Tuan,” jawab Rudi mantap.
Saat Rudi melangkah keluar, Arman kembali memandang jendela. Bayangan mobil yang tadi pergi sudah menghilang dari pandangan, tapi kehadirannya masih tertinggal di dadanya.
Lima tahun ia mengubur kebenaran bersama rasa bersalah. Kini, pertama kalinya, Arman siap membukanya kembali.
pilih yg pasti pasti Ajja Arman..
yg sudah jelas tulus tanpa syarat 👍👍
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....