NovelToon NovelToon
Dunia Larashati

Dunia Larashati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mata Batin / Pihak Ketiga / Tumbal / Kutukan / Spiritual / Iblis
Popularitas:929
Nilai: 5
Nama Author: Adiwibowo Zhen

perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jalan bercumbu gunung kemukus

Kamis pagi, selepas azan Subuh yang lirih, kabut masih menggantung di jalan-jalan desa yang lembab oleh embun.

Sebuah sedan tua warna abu meluncur pelan ,ratmono tidak memawa mobil mewahnya karena mobil sedan tua ini adalah mobil khusus untuk di bawa cari tempat persugihan, di antara sawah yang mulai menguning berderet di pinggir jalan raya.

Di dalamnya, duduk sepasang suami istri dengan wajah yang diselimuti keheningan. Ratmono menggenggam setir erat-erat, sementara Suharti sesekali melirik ke luar jendela , memandangi kabut tipis yang seakan menutup dunia dari pandangan manusia.

“Mas… syarat-syaratnya sudah lengkap, kan?” suara Suharti terdengar pelan tapi mengandung kecemasan yang sulit disembunyikan.

Ratmono menoleh sekilas, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum datar. “Tenang, Har. Kita ke kuncennya dulu. Kalau ada yang kurang, biar beliau yang carikan. Urusan begini, jangan terlalu banyak bertanya, nanti malah bingung sendiri.”

Suharti mengangguk, tapi hatinya tetap berdebar.

Ia tahu perjalanan ini bukan perjalanan biasa. Ini bukan wisata, bukan ziarah dalam pengertian umum. Ini… sesuatu yang lain , sesuatu yang hanya dibisikkan di telinga dan disembunyikan di balik doa-doa yang setengah percaya.

“Oh iya, yang penting uang sudah siap, ya?” ucap Suharti lagi, mencoba mencairkan suasana.

Ratmono terkekeh kecil. “Uang itu kunci segala pintu, Har. Kalau sudah dipegang, kita nggak perlu repot ke sana ke mari.”

Ucapan itu disambut tawa ringan.

Mobil melaju kencang, menembus jalur berliku yang menanjak. Langit berubah warna dari biru pucat menjadi abu-abu keperakan. Awan menggantung rendah, seperti menunggu sesuatu yang akan turun , entah hujan, entah rahasia lama yang siap dibuka.

Beberapa jam kemudian, mereka sampai di kaki Gunung Kemukus , gunung yang namanya sudah lama bergaung di antara bisik-bisik orang kampung.

Gunung tempat orang mencari berkah, tapi juga menanam kutuk.

Gunung yang katanya menyimpan rahasia cinta yang tak suci, tapi selalu dijalani dengan doa yang suci.

Mobil berhenti di depan warung kecil di pinggir jalan.

Warung itu sederhana , atap seng, meja kayu, dan beberapa toples kaca berisi rengginang, kacang goreng, dan kerupuk yang melempem. Di belakangnya, terlihat bukit-bukit yang diselimuti kabut seperti tubuh yang enggan terlihat utuh.

Ratmono turun dari mobil, menepuk celananya, dan melangkah ke warung.

“Permisi, Bu. Ada air mineral?”

Perempuan setengah baya di balik meja menatap dengan mata penuh curiga dan senyum basa-basi.

“Ada, Pak. Mau yang besar apa yang kecil?”

“Yang besar dua. Sama gula, kopi, teh , ada?”

“Oh ada, Pak.” tanggap pemilik warung cepat, lalu tangannya sibuk mencari-cari di rak kayu.

Sambil menunggu, Ratmono menatap ke arah hutan yang tak jauh dari situ.

Daun-daun bergerak seperti ada sesuatu di baliknya. Angin berhembus aneh , pelan tapi membawa suara samar, seperti dengus napas dari masa lalu.

“Bu…” Ratmono bersuara lagi, kali ini lebih hati-hati. “Kalau kuncen Gunung Kemukus itu di mana, ya?”

Perempuan itu berhenti sejenak, menatap Ratmono lekat-lekat.

“Oh… mbah Saring maksudnya? Rumahnya di belakang, masuk kampung. Bapak mau ke sana?”

“Iya, Bu. Bisa tolong antar? Nanti saya kasih uang bensin.”

Pemilik warung berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Bisa, Pak. Tunggu sebentar, saya panggil suami dulu.”

Tak lama kemudian, seorang lelaki berkemeja lusuh keluar, mengikat tali helm di dagu.

Ratmono menyerahkan beberapa lembar uang sambil berkata pelan, “Nggih, Pak. Sekalian beli waktu dan arah.”

Lelaki itu tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar kaku. Ia tahu arti kalimat itu.

Beberapa menit kemudian, motor tua melaju pelan melewati jalanan berbatu.

Ratmono dan Suharti mengikuti di belakang dengan mobil mereka.

Kabut semakin tebal. Udara makin dingin.

Sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah kayu tua yang dikelilingi pohon beringin besar.

Dari dalam rumah, tercium bau kemenyan yang tajam. Asap tipis keluar dari celah atap, menari-nari di udara seperti bayangan roh yang belum menemukan jalannya.

Di halaman, beberapa patung batu berlumut berdiri diam, sebagian sudah retak dimakan waktu.

“Kulo nuwun…” suara pengantar memecah keheningan.

Dari dalam terdengar suara berat tapi lembut, “Monggo, mlebet wae…”

Pintu berderit, dan muncullah sosok mbah Saring , lelaki tua dengan rambut putih panjang, jenggot terurai, berpakaian serba hitam. Matanya tajam, seperti menembus waktu. Tapi senyumnya tenang, menenangkan sekaligus menakutkan.

“Silakan duduk,” katanya sambil menunjuk tikar pandan di lantai.

Ratmono dan Suharti duduk bersila, sementara aroma dupa kian kuat.

“Iki tamu adoh, Mbah,” ujar pemilik warung sambil menunduk hormat. “Beliau tadi beli di warung, terus tanya kuncen. Jadi saya antar ke sini.”

Mbah Saring mengangguk pelan. “Nggih…

Semua orang yang datang ke sini tak selalu tahu apa yang mereka cari.ucapnya misterius.

Ratmono menunduk, mencoba bersikap sopan. “Saya cuma ingin minta petunjuk, Mbah… soal rezeki, soal jalan hidup.”

Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa disebut doa.

Mbah Saring memandang lama ke arah Ratmono.

Rezeki bukan hanya harta dan makanan. Ada rezeki yang membawa bencana, ada berkah yang justru menimbulkan luka.mbah saring dengan senyum misterius.

Suharti menggenggam tangan suaminya, gemetar.

Udara terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak kasatmata duduk bersama mereka di ruangan itu.

Pemilik warung berpamitan, menunduk hormat sambil tersenyum. amplop tergenggam di tangannya, dari Mbah Saring.

Ia melangkah keluar, menyalakan motor, dan hilang di balik kabut.

Begitu suara motor lenyap, Mbah Saring bersandar, menatap keduanya bergantian.

ngger… nyawa kalian berdua sudah digandeng oleh kehendak alam. Apa yang kalian cari tidak mudah. Tapi kalau sudah melangkah ke hutan Kemukus, tak ada jalan pulang.

Ratmono dan Suharti saling pandang.

Tidak ada kata, hanya napas yang beradu di udara dingin.

Kami sudah siap mbah ,seru Ratmono dengan serius dan wajah penuh keyakinan.

Mbah Saring menatap keduanya dengan mata yang tampak tenang, tapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang membuat udara di ruangan itu terasa padat , seolah ada ribuan mata lain yang ikut memandangi mereka dari balik tirai asap dupa.

“Baiklah…” katanya pelan, suaranya serak tapi menembus. “Kalau kalian sudah siap…”

Ia berhenti sejenak, bibirnya membentuk senyum tipis yang lebih menyerupai guratan bayangan daripada kegembiraan.

“Kalian berdua ini suami istri, bukan?”

Ratmono menegakkan duduknya, merapatkan lutut, lalu menjawab dengan suara pelan tapi mantap, “Iya, Mbah… ini Suharti, istri saya.”

Suharti menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Tatapannya gugup, seperti ada sesuatu yang ingin ia tanyakan tapi takut meluncur dari bibir.

Di antara celah jari-jarinya, jemarinya saling bergetar , bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang jauh lebih halus: rasa ragu yang berwujud kabut.

“Bagus, bagus…” gumam Mbah Saring pelan. Senyumannya melebar, menampakkan gigi yang tidak lagi utuh, tapi justru menambah kesan aneh di wajahnya.

“Suami istri seperti kalian lebih mudah menanggung laku… karena jagad suka yang seimbang. Laki dan perempuan, darah dan air, siang dan malam.”

Ratmono dan Suharti saling melirik, tak mengerti.

Tapi sebelum salah satu sempat bertanya, suara Mbah Saring kembali terdengar , kali ini lebih berat, dan setiap kata terasa seperti menekan udara.

“Apakah kalian tahu,” katanya pelan, “bahwa pesugihan di sini… tak sekadar memberi sesaji?”

Ia mencondongkan tubuh, mata tuanya menatap tajam ke arah mereka berdua.

“Di sini, kalian harus bercumbu dengan pasangan lain.”

Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dalam kolam.

Suara dupa yang terbakar tiba-tiba terasa nyaring.

Wajah Suharti memucat. Ratmono menelan ludah, dadanya berdegup keras, matanya mencari penjelasan di wajah sang kuncen , tapi yang ia temukan hanya senyum dingin yang tak memberi pilihan.

“B-bagaimana maksudnya, Mbah?” Suharti akhirnya bersuara, suaranya nyaris tak terdengar.

“Laku di sini adalah laku pengorbanan,” jawab Mbah Saring tenang. “Kalian ingin rezeki besar, tapi dunia menuntut keseimbangan. Harus ada yang dilepas… yang digadai. Dalam setiap nafsu ada roh, dalam setiap sentuhan ada daya hidup.

Di tanah Kemukus, daya itulah yang dijadikan tumbal.”

Suharti memejamkan mata.

Ratmono menggenggam tangannya erat , sangat erat , seolah genggaman itu adalah perisai terakhir sebelum dunia mereka benar-benar pecah.

“Jadi kami harus…” Ratmono menatap istrinya, kalimatnya menggantung.

Mbah Saring mengangguk perlahan, senyumnya tak berubah.

“Ya. Kalian harus berani menukar rasa dengan rasa.

Semakin kalian larut, semakin besar daya yang dilepaskan.

Semakin kalian bercumbu, semakin banyak roh penjaga yang akan menyukai aroma tubuh kalian.”

Suharti menarik napas dalam-dalam, menatap Ratmono. Tatapannya tak lagi sekadar takut , ada getir, ada keputusasaan, tapi juga sesuatu yang lebih dalam: kesadaran bahwa mereka telah melangkah terlalu jauh untuk mundur.

Ratmono menatap balik, rahangnya mengeras.

“Baik, Mbah…” katanya dengan suara yang nyaris tanpa emosi. “Kami siap. Yang penting… kami tidak miskin lagi.”

Mbah Saring tertawa kecil. Tawa itu parau, seperti suara kayu kering digesek batu.

“Hahaha… Betul sekali. Untuk mendapatkan sesuatu, manusia harus berani berkorban. Jagad tidak pernah memberi cuma-cuma.

Kalian tahu kenapa sebagian orang gagal dalam pesugihan?”

Ia menatap mereka tajam. “Karena mereka ingin mengambil tanpa memberi. Dunia tidak bekerja begitu.”

Suharti menunduk. Di matanya, air mulai menumpuk, tapi ia cepat-cepat menghapusnya.

Tangannya yang semula menggenggam Ratmono kini terkulai di pangkuan , seolah menyerah pada takdir yang sudah menunggu di balik senja.

“Nanti malam,” lanjut Mbah Saring, “kita akan naik ke lokasi. Di sana kalian akan berpisah.

Temukan pasangan kalian masing-masing… dan lakukan laku itu dengan sepenuh hati.

Jangan takut , di tempat itu, semua orang sama dengan kalian. Mereka juga menukar rasa demi harapan.”

Ratmono menelan ludah. Di telinganya, kata berpisah terdengar lebih berat dari apa pun yang pernah ia dengar.

“Kalau bisa,” lanjut Mbah Saring lagi, “lakukan di alam liar. Di antara pohon, di bawah bulan.

Roh-roh lebih suka itu.

Tapi kalau kalian malu, boleh di penginapan.

Yang penting , air maninya jangan dibuang. Lap dengan celana dalam kalian, dan taruh di tempat yang sudah disediakan.”

Kata-kata itu menggantung di udara seperti kabut dupa yang tak mau hilang.

Suharti menatap lantai, wajahnya tak bisa disembunyikan lagi.

“Baik, Mbah…” suaranya bergetar. “Kami akan lakukan sesuai petunjuk.”

Mbah Saring mengangguk pelan, lalu menutup matanya sejenak.

“Kalau kalian benar-benar siap, malam nanti jagad akan tahu.

Dan kalau jagad sudah tahu… tidak ada yang bisa kalian sembunyikan.”

Keheningan turun.

Angin dari celah jendela berhembus pelan, meniupkan asap dupa hingga menari-nari di antara mereka.

Ratmono dan Suharti duduk diam, seperti dua arwah yang baru menyadari bahwa tubuh mereka masih hidup.

1
Aura Angle
wuih ad hot hotnya
Ninik Listiyani
/Sweat//Sweat//Sweat/
Ninik Listiyani
ad y orang kaya Suharti kejam
Ninik Listiyani
kisahnya kya beneran terjadi
Ninik Listiyani
lanjutkan menulisnya
Ninik Listiyani
penasaran untuk cerita selanjutnya
penguasa univers
tak menyangka ,tapi masuk akal 🤭
penguasa univers
💪
cakrawala
terimakasih suportnya/Pray/
penguasa univers
sedih kisahnya
Ninik Listiyani
makin seru sepertinya. akan jadi wanita tangguh👍
Ninik Listiyani
semangat nulisnya kk aku akan jadi pembaca setiamu please jangan berhenti di tengah jalan
Ninik Listiyani
sungguh tragis💪
Ninik Listiyani
berkaca kaca
Ninik Listiyani
kisah yg bagus sepertinya mengerikan penderitaanya
Ninik Listiyani
kasihan sekali 🤣
Ninik Listiyani
semangat aku suka 🤣kisahnya
Ninik Listiyani
membuat terharu kisahnya🤣
Ninik Listiyani
mengharukan🤣
IRINA SHINING STAR
saya juga mampir kak... pas aku baca ceritanya nggak tau kenapa pengen nangis.. 🙏 semangat terus ya kak
cakrawala: ea tentu pemula harus saling suport 💪👍
total 6 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!