---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB - RAKA KEPIKIRAN
Beberapa hari terakhir, kepala Raka seperti dipenuhi gema suara-suara yang tak mau diam.
Suara ibunya yang lembut tapi menusuk, suara rekan kerja yang asal bicara, dan suara hatinya sendiri — yang kini jadi medan perang antara cinta dan kewajiban.
Setiap kali menatap cermin, ia merasa bukan sedang melihat dirinya.
Yang kembali menatap adalah seseorang yang asing, wajah yang penuh lelah, mata yang kehilangan arah.
Pagi itu, Raka datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya naik, tapi pikirannya sudah terasa berat seperti sudah menanggung beban seharian.
Namun ternyata, bukan hanya dia yang datang pagi.
Dika — rekan kerjanya yang terkenal tengil dan selalu punya waktu buat bercanda — sudah duduk di depan pos keamanan sambil menyeruput kopi sachet.
Asapnya mengepul di udara dingin pagi, menambah kesan muram yang anehnya justru kontras dengan wajah cerahnya.
“Woi, Raka! Pagi-pagi udah melamun?” teriaknya dengan tawa khas. “Jangan bilang lagi galau mikirin dua wanita, ya?”
Nada suaranya ringan, tapi bagi Raka, kalimat itu terasa seperti peluru kecil yang tepat mengenai sasaran.
Raka menatapnya datar. “Ngaco lo, Dik.”
“Tuh kan, bener!” Dika menyeringai. “Orang yang dituduh gak bener tuh biasanya jawabnya datar gitu.”
Raka hanya menghela napas, mencoba tersenyum, lalu berpura-pura sibuk menyalakan monitor CCTV. Tapi Dika tidak berhenti, seperti radio rusak yang terus memutar lagu sama.
“Eh, tapi serius, bro. Lo tuh kenapa? Dari kemarin muka lo kayak bantal yang belum dijemur, lecek banget. Ada masalah sama Bu Ratna, ya?”
Raka menatapnya sekilas, sinis tapi tanpa tenaga. “Dika, lo tuh gak ada kerjaan lain selain ngurusin muka orang?”
Dika tertawa terbahak. “Kerjaan gue sih banyak, tapi hiburan kayak lo cuma satu di dunia ini.”
Raka akhirnya ikut tertawa kecil — tipis, tapi cukup untuk meredakan ketegangan yang selama ini menggumpal di dada.
Dika memang kadang menyebalkan, tapi entah kenapa, hanya di hadapannya Raka bisa bernapas sedikit lebih ringan.
Namun ketika Dika akhirnya pergi patroli, kesunyian kembali menelan ruang kecil itu.
Raka menatap layar CCTV yang menampilkan jalan sepi. Tak ada aktivitas, hanya pemandangan biasa.
Tapi di benaknya, suara ibunya kembali menggema, lembut tapi mengikat seperti rantai halus.
“Nak, ini demi masa depanmu… demi keluarga kita juga.”
Kata-kata itu menghantam batinnya lagi dan lagi, setiap malam, setiap pagi.
Ia tahu ibunya tidak jahat. Tidak ada ibu yang ingin anaknya menderita. Tapi… mengorbankan Widuri?
Wanita yang setia menemaninya dari nol, yang tak pernah sekalipun mengeluh walau harus berhemat, walau rumah kadang kekurangan.
Raka menunduk, menutup mata sejenak. Nafasnya berat, jari-jarinya memijat pelipis.
Ia benci merasa lemah. Ia benci menjadi anak yang tidak bisa tegas — tapi lebih dari itu, ia takut menjadi suami yang mengkhianati.
Siang hari, Dika kembali dengan dua bungkus nasi goreng di tangannya. Bau minyak dan bawang goreng memenuhi ruang kecil itu.
“Nih, biar lo gak tambah lemes mikirin hidup. Gue traktir.” Ia menaruh satu bungkus di depan Raka.
“Tapi ingat, kalau nanti lo tiba-tiba kaya raya karena jadi menantu orang tajir, jangan lupa beliin gue motor baru.”
Raka menggeleng pelan, setengah kesal, setengah terhibur. “Lo tuh ngomong gak mikir, Dik.”
Dika mengangkat bahu santai. “Justru karena kebanyakan mikir, hidup lo ribet, Rak.
Hidup tuh, jalanin aja.”
Kalimat itu terdengar seperti gurauan biasa, tapi bagi Raka, setiap katanya menusuk.
Jalanin aja?
Kalau semudah itu, semua orang pasti bahagia. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Menjalani sesuatu tanpa berpikir bisa berarti menghancurkan orang yang mencintaimu.
Malamnya, Raka pulang dalam diam.
Langit tampak gelap meski jam belum terlalu malam. Di rumah, hanya lampu ruang tamu yang menyala redup.
Widuri sudah terlelap di kamar, dan Arkana tertidur di pelukannya.
Pemandangan itu seharusnya membuat hatinya tenang, tapi justru membuat dadanya sesak.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap wajah anaknya yang masih polos — kulitnya hangat, napasnya teratur, damai.
Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan ketenangan ini?
Tapi di sisi lain, bayangan ibunya muncul lagi.
Wajah Bu Ratna yang penuh keyakinan, dengan suara yang begitu tenang tapi keras kepala.
“Raka, ini bukan soal cinta aja. Ini soal masa depan. Kamu mau anakmu terus hidup pas-pasan?”
Kata-kata itu bergema seperti doa yang terbalik.
Raka menatap tangannya sendiri — tangan yang dulu bekerja keras demi keluarga, tapi kini justru bergetar oleh kebimbangan.
Ia ingin berbakti, tapi apakah berbakti berarti menyakiti?
Waktu terasa berhenti. Hanya detak jam dinding yang terdengar.
Widuri menggeliat pelan dalam tidurnya, memeluk Arkana lebih erat. Raka hampir menangis melihat itu.
Ia sadar, sekecil apa pun keputusan yang ia ambil nanti… selalu ada yang akan terluka.
Kepalanya terasa berat. Ia berdiri pelan, melangkah ke ruang tamu, dan menatap foto pernikahannya dengan Widuri yang tergantung di dinding.
Foto itu mulai pudar, tapi senyum di dalamnya tetap sama — tulus, hangat, tanpa syarat.
“Wid…” bisiknya pelan, suaranya serak. “Kalau kamu tahu semua ini… kamu bakal benci aku nggak?”
Tak ada jawaban.
Hanya suara hujan tipis di luar jendela, seolah langit pun tahu kebimbangannya.
Ia menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan.
Tangannya gemetar, hatinya berantakan. Antara logika dan cinta, antara ibu dan istri, antara masa depan dan kesetiaan.
“Tuhan…” bisiknya akhirnya, nyaris tanpa suara.
“Tolong tunjukkan jalan yang benar… sebelum semuanya hancur.”
Dan malam itu, di antara doa dan diamnya, Raka sadar —
Yang paling menakutkan bukan kehilangan siapa pun,
tapi kehilangan diri sendiri di tengah semua pilihan yang salah.
#tbc
Selamat pagi
jangan lupa like,komen nya