Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DOA YANG SALAH
Waktu: Rabu, 17 April 2019. Pukul 01.45 WIB (Puncak Gerhana Bulan).
Lokasi: Tangga Menuju Candi Siwa, Kompleks Prambanan.
Menaiki tangga batu Candi Siwa malam ini terasa seperti mendaki tenggorokan binatang buas yang sedang menahan napas.
Setiap langkah yang diambil Aditya terasa berat, bukan hanya karena gravitasi atau kelelahan otot, tapi karena udara di sekitarnya telah memadat. Atmosfer di puncak candi utama itu jenuh dengan residu magis—bau ozon yang menyengat seperti kabel terbakar, amis darah tembaga, dan aroma dupa kuno yang membuat kepala pusing.
Langit di atasnya tidak lagi hitam berbintang. Awan-awan berputar membentuk pusaran ungu raksasa yang merobek angkasa, berpusat tepat di atas stupa utama. Petir tanpa suara menyambar-nyambar, menerangi relief batu dengan kilatan yang mengerikan.
"Mas, peringatan," suara Karin terdengar di earpiece, kali ini tanpa nada bercanda sedikit pun. Sinyalnya penuh static (kresek-kresek). "Alat ukur radiasi di drone menjerit. Realitas di koordinatmu... tipis. Seperti kain yang ditarik terlalu kencang. Kalau robek, hukum fisika nggak berlaku lagi di sana."
"Mengerti," bisik Aditya, menekan pinggangnya yang nyeri. "Kalau aku berubah jadi bubur, tolong hapus browser history di laptopku."
Hening sejenak. Lalu suara Karin terdengar bingung dan polos.
"Lho? Kenapa harus dihapus, Mas? Kan isinya cuma riset jurnal sejarah sama video kucing lucu yang sering Mas tonton kalau lagi stres. Kenapa harus malu sama video kucing?"
Aditya terdiam, menelan ludah. Kepolosan adiknya kadang lebih tajam dari silet.
"Iya... bener. Kamu bener, Rin. Lupain aja," gumam Aditya pasrah. "Fokus ke misi."
Aditya sampai di pelataran atas. Pintu batu menuju ruang utama (garbhagriha) Candi Siwa menganga lebar. Dari dalam, cahaya ungu berdenyut pelan, seirama dengan detak jantung yang memburu di dada Aditya.
Dia tidak langsung masuk. Dia menempelkan punggungnya ke dinding luar yang dingin, mengintip ke dalam.
Pemandangan di dalam ruangan berukuran 6x6 meter itu membuat darahnya membeku.
Di tengah ruangan, arca Siwa Mahadewa berdiri agung dalam kebisuan batu. Namun, perhatian Aditya tersedot pada lima sosok manusia yang duduk melingkar mengelilingi arca tersebut.
Mereka adalah anggota elit Bayangga. Mereka duduk bersila dalam formasi pentagram sempurna. Mata mereka terbuka lebar, menatap kosong ke atas, namun dada mereka tidak naik turun. Mulut mereka terbuka sedikit, mengeluarkan asap tipis berwarna perak yang terus mengalir ke satu titik pusat.
Di titik pusat itu, berdiri seorang pria.
Pria itu jangkung, mengenakan setelan jas putih modern yang dimodifikasi dengan sulaman benang emas membentuk rajah perlindungan di bagian kerah dan lengan. Di wajahnya, terpasang benda yang Aditya cari sepanjang malam.
Topeng Batara Kala.
Topeng kayu hitam itu tidak terlihat seperti benda mati. Serat kayunya tampak berdenyut seperti pembuluh darah yang dialiri kehidupan. Mata merahnya menyala redup, dan mulutnya yang menyeringai tampak bergerak-gerak mikroskopis, seolah sedang menghisap asap perak yang keluar dari mulut kelima pengikutnya.
"Mereka... dimakan?" batin Aditya ngeri.
"Baterai hidup," koreksi Karin lewat comms. "Mereka sukarela menyerahkan 'Waktu Hidup' mereka. Detik demi detik sisa umur mereka disedot buat bahan bakar topeng itu."
Pria bertopeng itu tiba-tiba mengangkat tangan. Asap perak berhenti mengalir. Kelima pengikutnya terkulai lemas, kulit mereka keriput mendadak seolah menua sepuluh tahun dalam semenit.
Dia tidak menoleh ke pintu, tapi suaranya—suara ganda yang terdengar seperti gabungan vokal manusia berwibawa dan geraman harimau purba—menggema memantul di dinding batu.
"Masuklah, Senja Garda. Tidak sopan mengintip orang yang sedang berdoa."
Aditya menghela napas panjang. Elemen kejutan sudah hilang. Dia membuang tombak titaniumnya yang ujungnya sudah tumpul ke lantai. Dia menarik Keris Lipat dari punggungnya, satu-satunya senjata yang bisa melukai roh.
Aditya melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah tegap.
"Doa?" tanya Aditya datar, matanya waspada memindai setiap sudut. "Menyedot nyawa bawahan sendiri sampai kering itu bukan doa. Itu kanibalisme korporat."
Pria itu berbalik perlahan.
Ketika topeng itu menghadap ke arahnya, Aditya merasakan hantaman psikis yang nyata. Lututnya goyah.
"Namaku Dananjaya," kata pria itu, memperkenalkan diri dengan nada sopan yang mengerikan. "Di kalangan Bayangga, aku disebut Sang Arsitek. Dan kau salah, Wiranagara. Ini bukan kanibalisme. Ini adalah investasi."
"Investasi untuk apa? Kiamat?"
"Untuk perbaikan," koreksi Dananjaya. Dia merentangkan tangannya, menunjuk ke arah Jakarta yang jauh di barat.
"Lihatlah sekelilingmu, Aditya. Lihatlah negara yang kau lindungi ini. Apa yang kau lihat? Korupsi yang mendarah daging. Hutan yang dibakar demi sawit. Pemimpin yang menjadi boneka asing. Identitas kita hilang, digerus modernitas yang kosong."
Suara Dananjaya meninggi, penuh dengan kebencian murni terhadap zaman ini.
"Indonesia modern ini adalah produk gagal. Sebuah eksperimen demokrasi yang cacat. Kita lemah. Kita tidak lagi dihormati dunia seperti dulu."
"Jadi solusinya apa?" potong Aditya dingin. "Membangkitkan setan?"
"Mengembalikan Cetak Biru yang asli," jawab Dananjaya.
Dia menunjuk ke langit-langit candi yang terbuka, di mana portal ungu berputar.
"Abad ke-9. Era Mataram Kuno. Era di mana Prambanan dibangun. Saat itu, Nusantara adalah pusat peradaban. Kita memiliki teknologi batu yang melampaui zaman, kita memiliki spiritualitas yang menundukkan alam, kita memiliki raja-raja yang setengah Dewa."
Dananjaya mengepalkan tangannya yang bersarung tangan putih.
"Bayangga tidak ingin sekadar berkuasa. Kami ingin melakukan System Restore. Kami akan menarik esensi kejayaan Abad ke-9—kekuatannya, magisnya, otoritasnya—dan menimpanya ke atas realitas tahun 2019 yang menyedihkan ini."
Aditya ternganga. Kegilaan rencana ini melampaui dugaannya.
"Kau gila," desis Aditya, menatap musuhnya dengan jijik. "Menimpa dua garis waktu yang berbeda? Itu bukan perbaikan. Itu tabrakan. Kau bakal bikin kiamat paradoks. Jutaan orang bakal lenyap karena realitasnya glitch. Kau mau menukar nyawa 200 juta orang modern demi nostalgia masa lalu?"
"Harga kecil untuk kemuliaan abadi," jawab Dananjaya enteng. "Mereka yang lemah akan terhapus. Mereka yang kuat, yang memiliki darah leluhur, akan bertahan dan memimpin di Nusantara Baru."
Dananjaya mengulurkan tangannya ke arah Aditya.
"Bergabunglah, Aditya. Kau Wiranagara. Darahmu murni. Kau bukan bagian dari rakyat jelata yang lemah itu. Ayahmu menolak visi ini karena dia terlalu lembek, tapi kau... kau punya potensi untuk menjadi Panglima di era baru."
Aditya menatap tangan itu dengan jijik.
Dia teringat Fajar yang menunggunya di luar. Dia teringat Bu Narti penjual gudeg. Orang-orang "lemah" yang ingin dihapus oleh orang gila ini demi sebuah utopia masa lalu.
"Maaf," Aditya memasang kuda-kuda tempur, kerisnya menyala biru. "Aku lebih suka zaman sekarang. Internetnya cepat, kopinya enak, dan orang-orang gila sepertimu biasanya masuk penjara, bukan jadi raja."
Dananjaya mendengus kecewa. Topeng Batara Kala di wajahnya menyala lebih terang, merespons amarah tuannya.
"Sangat mengecewakan. Kalau begitu, jadilah tumbal pertama untuk fondasi dunia baru."
Dia menghentakkan kakinya.
Bayangan hitam di lantai melesat lepas dari permukaan batu, menjadi objek tiga dimensi yang tajam seperti tombak obsidian.
Pertarungan ideologi selesai. Sekarang saatnya pertarungan darah.
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit