Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah memastikan Dona masuk dan semua barang kesukaan anak itu berada di dalam rumah Regi pun tersenyum puas dan langsung berpamitan dengan anak kecil itu.
"Don, om pulang dulu ya, jaga diri baik-baik, kalau ada apa-apa hubungi tetangga depan," ujar Regi.
Dona setengah menguap. "Iya Om, tapi Dona tidur dulu ya, udah ngantuk," sahut anak itu.
"Baiklah, tapi kunci dulu pintunya," ucap Regi, ia pun langsung melangkah pergi keluar.
Dari luar Regi menatap rumah kayu itu dengan senyum kecil, matanya sedikit mengembun, akibat, kepergiannya.
"Kalau Ardina dulu menuruti keinginan bodohku untuk menggugurkan mu, pasti aku tidak bisa mempunyai garis keturunan," ucapnya penuh sesal. "Maafkan Papa Nak, Papa memang tidak pantas dimaafkan Papa hanya ingin menebus dosa-dosa," ucapnya lalu masuk ke mobil meninggalkan rumah yang hanya di terangi lampu neon itu.
☘️☘️☘️☘️
Sesampainya di rumah Juragan Halik.
Gerbang besar terbuka otomatis saat mobil Regi masuk. Cahaya lampu taman menyinari kolam kecil dengan ikan koi yang berenang tenang, kedamaian semu yang menyelimuti rumah itu.
Begitu Regi turun dari mobil, suara lembut ibunya langsung menyambut dengan ramah seolah tidak terjadi apa-apa, nindi melangkah menghampiri anak lelaki satu-satunya itu.
“Mas baru pulang?” panggilan sayang untuk anak semata wayangnya.
Nindi berdiri di teras, mengenakan daster sutra dengan rambut disanggul rapi. Senyumnya teduh, seolah tak pernah tahu apa-apa.
“Iya. Karena keperluan kantor Ma,” jawab Regi singkat.
Juragan Halik muncul dari ruang tamu sambil menepuk tongkat kayunya pelan ke lantai, matanya elangnya seolah dibuat manis meskipun ia tahu sang anak tengah melanggar sesuatu yang tidak ia ingini.
“Kamu pasti capek, Gi,” katanya ramah. “Masuk, makan dulu.” Nada Halik terdengar hangat, terlalu hangat untuk seseorang seperti dirinya.
Regi mengangguk, tanpa ada rasa curiga apapun karena yang ia tahu kedua orang tuanya selalu baik dan memanjakan dirinya. Di meja makan sudah tersaji hidangan lengkap. Tidak ada tatapan tajam, tidak ada pertanyaan mencurigakan. Hanya obrolan ringan seputar bisnis dan cuaca.
Sementara itu Nindi menuangkan air putih untuk Regi, tatapannya menghangat, layaknya seorang ibu pada umumnya.
“Nak, Besok kamu jangan kemana-mana dulu ya,” katanya lembut. “Papa mau bicara.”
Regi menatapnya heran. “Soal apa, Ma?”
“Perusahaan pusat di kota,” sahut Halik santai. “Manajer utama sakit mendadak. Operasional kacau. Aku butuh kamu ke sana.”
Regi terdiam, hatinya seolah tersayat, baru saja ia memulai untuk menebus. “Sekarang?” tanyanya.
“Secepatnya,” jawab Halik tanpa nada memaksa. “Besok pagi kamu berangkat.”
Regi mengernyit. “Tapi…”
Ia teringat Dona. Terngiang lagi janji untuk segera kembali menemani gadis kecil itu. Ia ingin menolak, tapi ekspresi Halik berubah halus, bukan marah, hanya sedikit muram, dan dirinya tidak tega melihat wajah sang ayah berubah cemas seperti itu.
“Ini menyangkut ratusan pegawai, Nak,” ucapnya berat. “Kamu satu-satunya yang Papa percaya, karena Papa tahu, kamu jujur dan ulet, aku yakin kamu bisa mengatasi semua ini.”
Nindi ikut menatap Regi, senyumnya lembut. “Tiga hari saja kok Nak. Sebentar," ucapnya dengan tenang.
Regi akhirnya menghembuskan napas panjang.
“Baik, Pa."
Sahutnya dengan yakin tanpa tahu prahara besar akan menimpa gadis kecil yang tak berdosa itu.
Makan malam sudah selesai, Regi kembali ke dalam kamarnya, sementara itu dua orang sepasang suami istri tengah duduk di ruang tamu dengan senyum tipis dan seringai di wajahnya.
Nindi duduk di sampingnya, menimpali senyuman itu dengan lirikan mata yang mengandung sebuah intrik.
“Orangmu sudah memantau?” tanya Nindi pelan.
“Sudah,” jawab Halik. “Anak itu seharian ini memang bertemu dengan Regi, beruntung anak buahku ada yang tahu.”
"Kenapa harus kebobolan seperti ini sih Pa, aku gak mau, jika Regi sampai luluh," sahut Nindi.
"Sama, maka dari itu pelan-pelan saja," ucap Halik menyimpan sejuta rencana.
Nindi tersenyum kecil, senyum dingin tanpa kehangatan, seolah tidak rela jika sang anak harus berurusan kembali dengan masa lalu yang mungkin bisa mencoreng nama keluarga besarnya.
“Begitu Regi berangkat besok…” ucap Nindi menggantung.
Halik melanjutkan, “Barulah kita bergerak.”
Ia membuka map cokelat tebal berisi berkas fotokopi dan stempel palsu.
“Aku sudah siapkan semua. Surat keterangan ayah tidak jelas, ibu di rumah sakit jiwa, anak terlantar.”
Nindi menghela napas perlahan.
“Bagus. Panti sosial akan datang sore.”
Halik tertawa pelan. “Regi tidak akan menaruh curiga. Pengirimannya sudah rapi.”
Mata Nindi berbinar hangat. "Sudah bisa dipastikan jika semua perangkat desa kita bungkam dengan uang kita?"
"Sudah, mereka lebih memilih uang, tapi ada satu yang sampai saat ini berontak," katanya dengan nada sinis.
"Siapa?"
"Pak RT," sahutnya. "Tapi tenang saja, dia hanya segerintil pasir bagiku" ucap Halik dengan tatapan yang meremehkan.
"Kalau dia buka, kita hancurkan saja usahanya." Nindi menimpali.
"Itu urusan kecil," sahut Halik “Yang terpenting anak ini tidak boleh jadi alasan Regi membangkang pada keluarga.” lanjutnya kembali.
☘️☘️☘️☘️
Di kamar atas, Regi berbaring menatap langit-langit kamar yang luas dan kosong.
Lampu temaram, menemani hatinya yang lelah, namun dibalik kelelahan itu, ada satu bayangan kecil yang bertahan di dalam pikirannya. Dona.
Rekaman suara tawa dan gumaman polos anak itu terus berputar, membuat dada Regi dipenuhi hangat yang aneh, hangat yang selama ini tak pernah ia rasakan sejak meninggalkan hidup lamanya.
"Kita ke mall lagi kan, Om… nanti ajak Ibu juga."
Kalimat polos itu kembali bergaung, seolah tidak ingin pergi dari angannya, Regi tersenyum kecil senyum yang tidak pernah hadir, selama ini ia terlalu kaku, bergelimang harta membuatnya cenderung dingin kepada siapapun, namum di saat bertemu anak kecil tadi pagi, dunianya seolah berubah lebih berwarna padahal baru sehari.
Dona, dengan segala kekurangan dan kepolosannya, telah menyentuh bagian hatinya yang nyaris mati.
Malam makin larut. Kota sudah tenggelam dalam sunyi, Regi memejamkan mata, merelakan kantuk menyeretnya ke dunia tanpa suara.
Ia tidak tahu, dengan hari esok, semua rencana sudah berjalan rapih tanpa ia sadari, namun di sisa waktunya yang sedikit itu, ia punya harapan ingin menyapa gadis kecilnya itu meskipun hanya sebentar.
"Don, besok kita ketemu ya, walau sebentar," gumam Regi sebelum akhirnya benar-benar memejamkan matanya.
Regi mulai terlelap dengan sendirinya, membawa mimpi jika besok pasti ia akan bertemu dengan malaikat kecil yang baru saja masuk di dalam hatinya, namun siapa sangka pertemuannya itu sudah di matai-matai oleh tembok pembatas yang tak tersentuh.
Bersambung ....
Selamat sore Kakak ...
Semoga suka ... jangan pernah berhenti ya! Tetap terus temani perjalanan Dona.
semangat Regi pasti bisa menjalaninya