Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Louis de Harrods
...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...
Saat aku terbangun, aku menemukan diriku sudah sendirian di ranjang. Butuh waktu sebentar untuk mengingat kalau tadi malam aku ketiduran di atas Remy.
Dia pasti menggendongku ke tempat tidur.
Aku enggak tahu harus bersikap bagaimana sama semua yang sudah terjadi. Intinya, aku harus tetap waspada.
Saat aku balik badan, aku melihat HP yang kemarin kubeli, tergeletak di atas bantalnya Remy. Jadi aku ambil, buka kuncinya, dan ada satu pesan masuk.
Begitu aku buka, senyum langsung bersinar di wajahku.
...📩...
^^^Remy: Titidku kangen sama mulut kamu. Ingat, kamu harus beli baju dan apa pun yang kamu mau.^^^
Aku bengong. Enggak yakin harus membalas apa, tapi akhirnya aku baca ulang pesannya berkali-kali.
Setelah beberapa menit, aku menyerah dan mengetik balasan paling aman.
Aku: Selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan. 🙏
Aku bangun dari kasur, bereskan selimut dan bantal, terus langsung ke kamar mandi dan bersiap-siap.
Saat aku rebahan di air hangat, pikiranku malah ke Remy lagi. Aku angkat tangan kiri, memperhatikan cincin di jari manisku lebih dekat.
Baru sadar kalau ternyata ada ukiran yang sama seperti di cincin Remy "R&R".
Aku menghargai apa yang dia lakukan tadi malam. Maksudnya, setidaknya dia berusaha untuk mengenalku, bukan memperlakukanku layaknya sampah.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku buru-buru ambil shampo dan sabun, cuci badan cepat-cepat, terus keluar kamar mandi.
Dengan handuk masih melilit di badan, aku pun ambil HP dan lihat dia sudah baca pesan aku tadi.
Aku mengetik cepat-cepat dan melihat dia langsung membacanya lagi.
Aku: Tadi malam kamu tanya soal masa kecilku. Salah satu kenangan paling berharga tuh waktu Papa makan masakan pertama yang aku bikin pas aku masih umur lima belas. Sejak dia meninggal, enggak ada lagi yang menghargai usahaku. Jadi makasih ya udah nikmatin makan malam yang aku siapin. Itu berarti banget buat aku.. 😅
Cuma butuh beberapa detik sebelum dia membalas.
^^^Remy: Sama-sama, sayang. Aku enggak sabar pingin lihat kamu masak apa buat malam nanti. Aku pulang jam lima tepat.^^^
Senyumku langsung terbentuk lagi. Entah kenapa, aku merasa sedikit lebih baik soal masa depan yang masih abu-abu ini.
Aku tutup HP, ganti baju, terus keluar kamar. Waktu mecari kopi, aku menemukan Benny sama Juwiie di dapur. Begitu mereka melihatku, obrolan mereka langsung berhenti.
Aku sempat berpikir, jangan-jangan aku baru saja memotong pembicaraan penting. Tapi Juwiie langsung tersenyum hangat.
“Pagi, Ree. Mau kopi?”
“Boleh,” jawabku sambil duduk di Kitchen Island “Tidur kamu nyenyak, enggak?”
Juwiie melirikku. “Enggak, cucuku sakit. Dia bikin aku begadang semalaman.”
Aku langsung mengernyit. “Ya ampun, semoga cepat sembuh. Terus kenapa kamu tetap kerja?”
“Ya, kerjaan, Ree. Enggak bisa libur.” Dia menyodorkan cangkir keku.
“Aku tidur kayak bayi,” kata Benny santai.
“Justru bayi jarang tidur,” timpal Juwiie.
Benny menggeleng dan menyeringai. “Ya udah, aku tidur kayak orang mati, deh.”
Terus dia memandangku. “Kamu kelihatan lebih fresh hari ini.”
“Emang, iya?” jawabku sambil menyeruput kopi. “Aneh sih, tapi aku bisa tidur nyenyak semalam.”
Aku pikir aku bakal mengalami insomnia lagi, tapi kayaknya enggak, tuh.
“Tuan Arnold bilang, aku harus ajak kamu belanja,” kata Juwiie. “Dia pingin kamu beli baju yang banyak.”
Benny keluarkan HP, buka sesuatu, terus bilang, “Dia kasih aku nama tokonya. Nih.”
“Serius?” kejutku. "Dia bilang ke kalian juga rupanya."
Benny cekikikan, terus kasih lihat layarnya. “Louis de Harrods.”
Keningku pun berkerut. “Belum pernah dengar tempat itu.”
“Habisin kopinya, Ree. Perjalanan ke sana sekitar satu setengah jam,” kata Benny.
Aku mendengus pelan. “Emang harus sejauh itu cuma buat beli baju?”
Benny mengangguk santai. “Perintah Bos.”
Aku langsung bereskan kopiku dan ikut dia ke arah mobil.
Masih agak kikuk setiap dekat Benny. Soalnya aku belum benar-benar mengenal dia, dan suasana di antara kami masih canggung banget. Jadi, daripada memaksa ngobrol, pikiranku malah melayang ke semua hal yang sudah terjadi akhir-akhir ini.
Remy itu benar-benar orang paling membingungkan yang pernah aku temui. Dua malam terakhir rasanya indah banget, aneh, tapi nyata. Dan waktu siang begini, pikiranku terus teringat statusnya di Marunda. Bagaimana coba, caranya memisahkan dua sisi dia yang begitu bertolak belakang itu?
Aku menyerah memikirkan siapa sebenarnya Remy, dan pikiranku pindah ke rutinitas lamaku sebelum pernikahan paksa ini. Aku benar-benar berharap kalau dia enggak mempermasalahkanku buat pergi ke gereja hari Minggu nanti, membantu menyiapkan kopi seperti dulu. Sial, bahan-bahan buat Cannoli aku masih di rumah lama.
Tiba-tiba Benny bertanya, “Gimana kabar kamu, Ree?”
Aku sempat ragu, tapi akhirnya bicara, “Benny, kita bisa mampir ke rumah lamaku, enggak? Aku harus ambil bahan-bahan buat bikin cannoli.”
Dia berpikir sebentar sebelum jawab, “Kita lihat nanti, ya. Kalau masih ada waktu habis belanja.”
Setidaknya dia enggak langsung nolak.
“Thanks,” kataku pelan, sedikit lega.
Aku jadi ingat obrolanku sama Remy tadi malam soal kegiatan gereja. Aku juga harus minta izin buat tetap bantu menyiapkan makanan buat Pastor Yeskil. Banyak banget hal yang berubah dalam waktu sesingkat ini.
Aku melihat ke luar jendela, mengikuti pemandangan yang terus terlintas, dan tiba-tiba pikiranku ke momen-momen intim bersama Remy. Jujur saja, aku hampir pingsan tadi malam saking nikmatnya.
Cowok itu bikin aku merasakan hal-hal yang bahkan aku sendiri enggak tahu, bisa aku rasakan atau enggak.
Aku langsung menunduk, menyembunyikan mukaku dari Benny. Senyum kecil muncul waktu aku ingat bagaimana Remy memujiku.
Waktu aku pertama kali melakukan itu ke dia, aku deg-degan banget. Tapi saat lihat reaksinya, rasa percaya diriku langsung naik begitu saja. Membuatnya orgasme tuh bikin aku merasa bangga banget.
Cuma dengan membayangkan tubuh telanjang Remy di bawahku semalam saja, sudah bikin pipiku panas dan jantungku meronta-ronta.
Iya, aku masih takut sama dia. Tapi aku juga enggak bisa bohong kalau aku tertarik banget sama orang itu. Dia ganteng, dan entah kenapa, aku mulai suka sama cara dia mengendalikan segalanya.
Pikiranku masih di dia sampai Benny bicara, “Kita udah nyampe.”
Aku pun terkejut. “Oh.”
Mobil berhenti di depan Louis de Harrods, di Robbinson Avenue. Tapi dari luar, tokonya kelihatan tutup.
“Tutup?” tanyaku waktu Benny menahan pintu agar aku bisa keluar dari mobil.
Dia menggeleng, terus pencet remote buat mengunci mobil. Berdiri layaknya bodyguard di sampingku, dagunya menunjuk ke arah pintu toko yang masih tertutup.
Saat kami jalan ke sana, ada satu perempuan keluar dan buru-buru membukakan pintu buat kami.
Begitu aku masuk, beberapa pegawai langsung menyeringai sopan.
“Selamat datang, Nyonya Arnold. Kami senang bisa membantu Nyonya hari ini.”
Aku tersenyum kikuk. “Ah … makasih.”
Saat sadar toko itu kosong, enggak ada pelanggan yang lain selain aku, aku pun langsung menyenggol Benny pelan.
“Kayak … aneh enggak, sih, cuma kita doang di sini?”
Dia menyeringai sedikit. “Bos nutup toko hari ini. Katanya biar mereka bisa fokus ngelayanin kamu.”
Aku merasa panas di dada, kayak ada sesuatu yang meledak pelan di dalam sana.
Remy melakukan ini?
Buat aku!?
Salah satu pegawai yang sepertinya paling senior menunjuk ke area duduk kecil. “Mau segelas Wine, Nyonya?”
Aku cekikikan kecil. “Masih pagi banget buat minum alkohol.”
“Kalau gitu, kopi, teh, atau jus mungkin?”
Aku tersenyum makin lebar. “Kopi aja deh, itu paling aman.”
Benny menceletuk, “Dua, ya!”
Sambil menunggu, aku pun duduk dan mataku berkeliling, memperhatikan deretan baju-baju mahal yang tampak seperti seni.
Seorang cowok dengan senyum ramah datang menghampiri. “Halo, saya Fafa, sales di Louis de Harrods. Senang sekali bisa bantu Nyonya hari ini. Tuan Arnold bilang kami akan rombak total isi lemari pakaian Nyonya. Beliau juga sudah kasih sedikit gambaran soal gaya yang Nyonya suka, jadi saya udah siapin beberapa pilihan khusus.”
Gila.
Aku bengong.
Remy benar-benar menyiapkan semua ini?
Dia perhatian banget.
Ada rasa aneh yang menyesak di dada, antara haru sama bingung.
“Pertama, saya ukur dulu, ya biar bajunya pas sempurna.”
“Oke.”
Benny ambil tas aku, menyeringai lebar seperti dia juga lagi menikmati situasinya.
Aku disuruh berdiri, dan cuma butuh semenit buat Fafa mengukur badanku dari atas sampai bawah.
Begitu dia selesai, ada pegawai lain datang membawa nampan. “Ah, ini kopinya. Terima kasih, Millea.” Fafa tersenyum ke aku lagi. “Silakan duduk, nikmatin dulu kopinya, nanti saya tunjukin beberapa pilihan.”
Aku duduk lagi di sebelah Benny. Dia masih saja senyum-senyum kayak kucing kenyang. Aku menyeringai, bersandar sedikit ke arahnya dan berbisik, “Kamu kok kayaknya senang banget lihat aku dimanja gini.”
Dia condong sedikit. “Aku cuma senang lihat kamu bahagia, Ree.”
Aku sempat kaget. Entah kenapa, baru kali ini aku merasa benar-benar aman di dekat mafia.
Sambil menyeruput kopi, dua pegawai perempuan mulai mendatangkan baju-baju pilihan mereka. Aku langsung melotot saat melihat satu celana model tiga perempat bermotif bunga. “Gila, ini lucu banget.”
Mereka terus saja mengganti-ganti pilihan bajunya, blus, rok, celana panjang, gaun, jaket, sampai mantel. Semuanya keren, dan aku makin susah menolaknya.
Enggak terasa, waktu sudah berlalu berjam-jam sampai akhirnya perutku berbunyi keras. Benny langsung ambil alih, “Nyonya Arnold butuh makan!”
Millea langsung menceletuk, “Ada toko Donat enak di ujung jalan. Saya bisa ambilkan cepat, kalau Nyonya tidak keberatan?”
Benny melihatku, menunggu izin. Aku pun mengangguk.
“Tiga Donat dengan topping keju,” katanya tenang.
“Terima kasih,” tambahku.
Aku masih terpana sama semua perhatian ini. Tapi di kepalaku tetap memutar satu hal, Remy bilang jangan khawatir soal biaya.
Saat Millea kembali dengan membawa Donat, kami duduk makan bersama. Aku berbisik ke Benny, “Kamu bisa cari tahu berapa total semuanya, enggak?”
Fafa ternyata mendengarnya, terus menjawab dengan sopan, “Tuan Arnold minta kami untuk kirim tagihan langsung ke beliau, jadi Nyonya tidak perlu khawatir.”
Aku mendecak. “Tetap aja aku pingin tahu harganya.”
Fafa tersenyum kaku, “Baiklah, Nyonya. Sebentar, ya.” Dia ngobrol sebentar sama asistennya sambil menunggu kami makan.
Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi dan bicara sambil senyum lebar,
“Totalnya, kurang dari tiga koma tiga miliar.”
Aku hampir keselek Donat.
“Berapa!?” kejutku, mataku berkedip-kedip seperti orang kena setrum.
Benny menepuk pelan punggungku sambil bicara tenang, “Jangan dibantah, Ree. Ini memang maunya Tuan Arnold.”
Iya, sih.
Tapi tetap saja.
Aku memaksa senyum, padahal dalam hati rasanya enggak enak banget. Aku mengangguk pelan, pura-pura tenang.
Jangan panik.
Aku lagi membawa reputasi Remy sekarang, dan kalau aku melawan, dia pasti bakal kesal.
Tapi ....
Sialan juga, tiga koma tiga miliar!?