Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Kita makan di sini, di ruangan VIP aja," ucap Bara. Dia menuntun Hasya masuk ke ruangan VIP dan duduk di sana.
"Aku mau ketemu bunda dulu," ucap Hasya.
"Boleh, tapi aku ikut. Di sana banyak pegawai cowok," Bara kembali berdiri dan kembali menuntun Hasya. Kemudian keduanya pergi menemui Bu Dewi sambil memesan makanan.
Ya, Bara sengaja mengajak Hasya untuk makan malam di restoran bu Dewi, supaya Hasya juga bisa tidak dibilang sombong. Bukan hanya itu saja, Bara juga tidak ingin terlalu mengekang Hasya untuk tidak bertemu dengan orang yang membantunya.
"Hasya!" panggil temannya.
"Hai, Wiwi. Apa kabarnya?" hasya bersalaman dan melepas rindu.
"Kabarku baik, kamu bagaimana?"
"Seperti yang kamu lihat, aku baik juga," Hasya menampilkan senyum terbaiknya.
"Dek! Apa kabarnya?" Alex, sang chef di sana menghampiri Hasya. Dia sudah menganggap Hasya seperti adiknya sendiri. "gak ada kamu sepi banget," keluhnya.
"Betul, Dek." Dani menimpali. Dia baru saja mengambil piring kotor dari depan. Dani sendiri yang biasa membersihkan tempat yang telah dipakai oleh pengunjung.
"Hehe, maaf, ya?" Hasya meminta maaf kepada mereka.
"Gak papa, kami ikut bahagia, yang penting kamu juga bahagia.
Wajah Bara memerah melihat interaksi Hasya dengan pegawai laki-lakinya. Tapi dia bisa apa, lagian Hasya juga masih dalam batas wajar.
"Bunda di mana? Aku mau ketemu bunda," tanya Hasya. Biasanya bu Dewi akan duduk di meja kasir, atau kadang juga ia melay*ni tamunya sendiri.
"Bunda lagi pulang dulu," jawab Wiwi. Ia mengambil jus yang baru saja dibuat dan kembali ke depan untuk mengantarkan jus tersebut.
"Yah... Padahal aku kangen," Hasya terlihat kecewa.
"Kayaknya sebentar lagi juga kembali, kamu mau pesan apa, Dek? Sepertinya suami kamu cemburu." ucap Alex. Ia melirik Bara dengan ekor matanya.
Hasya melihat ke arah Bara yang sedang menatapnya dingin. Ia hanya bisa menelan ludahnya kasar mendapatkan tatapan mematikan itu.
"Baik," Hasya menghampiri Bara yang jaraknya sekitar dua atau tiga meter darinya. "Mau makan apa, Honey?"
Mendengar panggilan Hasya kepadanya, Bara mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu menatap wajah Hasya yang terlihat cantik di matanya.
"Ulangi panggilannya," bisik Bara. Matanya masih tidak lepas menatap Hasya.
"Honey!" Bisik Jingga.
"Good! Pakai sehari-hari,"
"Kalau gak lupa," jawab Hasya. "Sekarang mau makan apa?"
"Pesan aja apa yang kamu suka," Bara merogoh dompetnya di saku celana. Kemudian ia mencari sesuatu di sana.
"Kamu suka apa?" soalnya Hasya masih belum paham dengan kesukaan Bara. Ia masih belajar.
Bara mendongak, "Apa pun yang kamu suka, aku suka," jawabnya membuat Hasya semakin bingung.
"Bisa begitu?" tanya Hasya dengan dahi berkerut.
"Bisa. Ayok!" Bara meminta secepatnya untuk memesan makanan yang akan mereka makan. "Ini sekalian aja bayar, biar nanti kita langsung pulang," Bara mencondongkan kepalanya. "Aku kangen sama kamu," bisiknya.
"Dari tadi bersama, kok kangen?"
"Udah, aku sudah lapar!" Bara tidak ingin lama-lama di luar. Ia ingin kebersamaan dirinya dengan Hasya tanpa diganggu siapa pun.
Akhirnya Hasya memesan makanan yang dia suka, harganya juga yang menengah ke bawah, dia takut menggunakan uang yang Bara beri. Lebih tepatnya Bara memberikan black cardnya kepada Hasya.
"Wih, mantap! Istrinya bos, nih!" Tama yang menjaga kasir begitu terenyuh dengan Hasya sekarang.
Pegawai di sana tahu bagaimana keadaan Hasya yang sebenarnya. Makanya melihat Hasya sekarang mereka ikut terharu dan bahagia.
"Hehe... Bisa aja, terimakasih, Bang." Hasya mengambil kembali black cardnya, kemudian ia menghampiri Bara dan mengembalikan kartunya.
"Kamu pegang aja, kita kembali ke sana," Bara kembali menuntun Hasya dan masuk ruang VIP.
***
"Maaf, aku pesan makannya yang seperti ini," ucap Hasya. Keduanya baru saja selesai makan.
"Buktinya aku habisin, gak harus sungkan," jawab Bara. Ia mengambil nasi yang tertinggal di bibir Hasya."Kebiasaan banget, Sayang,"
"Biar kamu ada kerjaan," jawab Hasya tanpa dosa.
"Lebih banyak lagi, nanti aku lahap sekalian," jawab Bara pelan.
"Ih, pikirannya ke sana mulu,"
"Ke sana ke mana? Pikiran aku hanya padamu,"
Blus!
Wajah Hasya memerah, ia memalingkan wajahnya.
"Hadap sini!" Bara menarik dagu Hasya, ia tersenyum senang melihat wajah Hasya yang sudah seperti udang rebus.
Cup!
Tidak sanggup lagi menahan gemasnya, Bara mengecup pipi Hasya yang memerah.
"Jangan di sembarang tempat honey!" Hasya mendorong Bara supaya menjauh.
"Aku suka sama wajah kamu yang lagi begitu," ia menjauhkan tubuhnya dan kembali duduk dengan tegak.
"Oh, itu kartunya kamu pegang aja buat jajan kamu, maaf aku lupa kasih itu dari kemarin,"
"Eh, enggak, enggak... Itu kebanyakan. Buat jajan aku masih punya," Hasya memberikan kartu yang dati tadi pegang itu kepada Bara.
Bara menggeser kembali kartu itu, "Ini untuk kamu, jajan aja sesuka hati. Nanti setiap bulan aku transfer,"
Hasya membulatkan matanya, Sesuka hati? Ditransfer setiap bulan?
"Gak! Aku gak punya uang buat membayarnya," Hasya mendadak loading dengan apa yang diucapkan oleh Bara.
Cup!
Bara mengecup bibir Hasya, "memangnya siapa yang menyuruh kamu bayar, hm?" Bara gereget kepada Hasya.
"Ini uang pasti banyak banget,"
"Habiskan!"
Ide jail Hasya keluar, "Emm... Aku mau beli dulu sesuatu, boleh?" tanya Hasya.
"Boleh saja, handpone? Atau laptop? baju dan seisi Mall juga silahkan,"
"Jangan berlebihan!" Hasya terlihat tidak suka.
"Why?"
"Masa beli satu Mall, aku cuma mau beli sesuatu aja,"
"Boleh banget, Sayang. Silahkan! Nanti aku antar," jawab Bara.
Hasya termenung, dia teringat sesuatu. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa Bara langsung effort begitu sama dirinya? Padahal kenal juga baru beberapa hari.
"Apa kamu sudah berpaling dari dulu?" tiba-tiba Hasya memberikan pertanyaan itu kepada Bara.
Bara mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"
"Begini, tuan baru saja putus dari pacar tuan yang sudah berpacaran sangat lama. Tapi, kenapa effort ke aku begitu..."
"Oh, soal itu. Sebenarnya kita gak harus membahas tentang orang lain di hubungan kita. Apalagi tentang masa lalu. Sekarang aku paham maksud kamu. Kamu harus ingat, aku akan membahagiakan siapa pun yang menjadi pasangan aku. Tapi, bedanya, pasangan sebelum halal, aku tetap seperti itu tapi masih dalam batas wajar, karena belum ada hubungan resmi,"
Bara bergeser, dia memegang kedua bahu Hasya, pun dengan tatapannya yang tak ingin lepas dari Hasya. "Aku akan meratukan siapa pun yang menjadi pasangan halalku. Dan pasangan halalku cukup satu seumur hidupku. Kamu tenang saja, perasaanku seperti sudah hampa sejak tiga tahun lalu. Dan ternyata memang hubungan kami sudah tidak baik-baik saja,"
"Dan, kamu tahu, gak? Sepertinya aku cinta pada pandangan pertama sama kamu,"
Blush
Wajah Hasya memerah dan membuat Bara merasa gemas. Ia terkekeh, "Dan sejak saat itu, hati aku seperti kembali menghangat dan tidak ingin jauh dari kamu, dan aku yakin kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu,"
"Seyakin itu?" Hasya sampai mengerutkan dahinya, berpikir keras.
"Dan aku tunggu, pernyataan cinta dari kamu juga. Apa sebelumnya kamu sudah mencintai seseorang?"
Mencintai? Dicintai?
Bagi Hasya dua hal itu adalah hal yang tersulit bagi dirinya. Dicintai? Harapan itu sangat besar ia utarakan kepada kesua orang tuanya. Tapi bukannya dicintai, justru dua keluarga besar mencaci makinya. Akhirnya dia merasa kecewa dan memendam rasa sakitnya sampai saat ini. Karena kekecewaan itu membuatnya tidak merasa dicintai oleh orang yang harusnya bukan hanya mencintainya tapi juga melindungi dan menjamin hidupnya.
Mencintai? Dia mencintai orang tuanya, abangnya, adiknya. Tapi, kenapa cintanya justru dibalas dengan kekecewaaan yang mendalam. Menurut Hasya, dua kata itu sangat kelabu di matanya.
Mencintai seseorang? Hasya merasa mencintai dirinya saja tidak bisa, apalagi harus mencintai seseorang yang tidak mungkin bisa digapainya.
Hasya menggeleng, "Kalau aku tidak bisa mencintai kamu bagaimana?"
"Aku akan tetap berdoa sama Tuhan supaya melembutkan hatimu. Aku yakin, kamu mempunyai cinta yang tulus untukku,"
"Kalau tidak juga?"
"Tuhan itu bisa membolak-balikan hati manusia, yakin saja dulu. Dan satu lagi, terapinya jangan bolos, supaya cepat sembuh. Setelah itu aku yakin kamu bisa mencintai aku bahkan keluargaku. Aku tidak akan memaksa untuk secepatnya, tapi kamu harus tetap di samping aku,"
"Bisa, ya." Bara mencoba meyakinkan.
"Aku coba,"
"Bagus! Terimakasih, Sayang." Bara mengusap lembut kepala Hasya, kemudian ia mengecup keningnya.
"Sudah yuk, kita belanja dulu," Bara berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Hasya.
"Bunda!" Hasya memanggil bu Dewi saat ia mau keluar dari restoran itu karena mereka hampir berpapasan.
"Loh, Hasya?" bu Dewi menghampiri mereka, dahinya berkerut, merasa heran.
"Bunda apa kabarnya? Aku kangen banget," tanya Hasya. Ia langsung memeluk bu Dewi.
"Kabar baik, tapi bunda bingung. Sejak pulang kuliah, Aurel izin main sama kamu, Nak."
"Loh!"
Bersambung