NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:864
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Pria Misterius

Siang menjelang – Tenda Rapat

Rombongan berkumpul di sebuah tenda besar yang sudah disiapkan pekerja. Angin laut menebarkan aroma asin, bercampur dengan suara-suara pekerja yang tetap konsisten di luar sana.

Auliandra duduk di kursi panjang, wajahnya datar. Di dalam hatinya, amarahnya belum padam sejak malam tadi. Namun lebih dari itu, ada perasaan aneh yang merayapi benaknya. Perasaan bahwa kehadiran Mahiera bukan sekadar tentang cinta lama yang kembali, tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Mahiera duduk tak jauh dari Jevano, pura-pura menunduk, memainkan jari-jarinya di pangkuan. Tapi matanya sesekali berkilat penuh kemenangan.

Kiran berdiri di sisi Auliandra, seperti bayangan setia. Tangannya terlipat, matanya tak pernah lepas dari Jevano.

Gavriel sesekali melirik ke luar tenda, memperhatikan para pekerja. "Ada yang janggal," gumamnya pelan. "Mereka terlalu... sama. Kau tidak merasa?"

Edwin terkekeh kecil, berusaha menepis. "Itu namanya disiplin. Aku yang melatih mereka."

Tapi Gavriel tidak percaya. Ia menatap lagi para pekerja itu. Disiplin? Atau kendali?

Sementara itu, Asteria meremas tangannya sendiri di pangkuan. Diam. Namun matanya jelas, penuh kekhawatiran untuk Auliandra.

Suasana rapat seharusnya membicarakan pembangunan villa. Tapi yang terbawa justru aura persaingan, amarah, dan ancaman tersembunyi.

Dan di tengah semuanya, Mahiera tersenyum tipis. Senyum yang hampir tak terlihat.

(Satu per satu akan kupecah belah. Hingga mereka semua saling menjatuhkan. Hanya waktu yang akan membuktikan, bahwa akulah yang akan berdiri di atas reruntuhan mereka.)

***

Malam Kedua – Pulau

Langit malam di pulau itu gelap pekat, hanya diterangi bulan yang separuh tertutup awan. Angin membawa bau asin bercampur sesuatu yang samar, aroma besi, tipis, hampir seperti darah.

Di dalam pondok, suasana jauh lebih dingin daripada malam sebelumnya. Tidak ada lagi obrolan ringan, hanya keheningan yang menekan. Satu-satunya suara hanyalah detak jam tua di dinding, berdetak perlahan seakan menghitung mundur sesuatu.

Auliandra duduk di tepi ranjang, matanya kosong menatap lantai kayu yang berderit setiap kali angin menerpa pondok. Kiran di sisinya, tidak banyak bicara, hanya menjaga. Nira mondar-mandir resah, sementara Edwin duduk di sudut, matanya awas seperti penjaga yang siap menyalak kapan saja.

Namun di ruang tengah, Jevano dan Mahiera masih duduk berdua. Lampu redup membuat bayangan wajah mereka tampak lebih dekat daripada seharusnya. Mahiera menyandarkan kepalanya di bahu Jevano, senyumnya samar, matanya terpejam seakan puas.

"Jevan," suaranya lirih, "kau ingat dulu, saat kita sering kabur dari kelas hanya untuk melihat laut?"

Jevano terdiam. Sesaat, kenangan itu muncul begitu saja, membawanya kembali ke masa yang jauh lebih sederhana. Ia mengangguk pelan.

Mahiera tersenyum. "Aku tahu… aku masih berarti bagimu."

Jevano menanggapi Mahiera dengan senyuman simpul.

Di luar pondok, Asteria berdiri di bawah cahaya bulan, menatap gelapnya laut. Suaranya nyaris tak terdengar ketika ia berkata pada Gavriel yang mendekat.

"Pulau ini… tidak wajar."

Gavriel mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Asteria menelan ludah, matanya tetap pada ombak yang memukul karang. "Sejak siang aku memperhatikan mereka. Pekerja-pekerja itu. Kau sadar? Tidak ada satu pun yang tertawa, berbicara, bahkan saling berinteraksi. Mereka hanya… bekerja."

Gavriel mengingat-ingat. Benar. Sepanjang hari ia tidak mendengar satu pun percakapan ringan, tidak ada kelakar, tidak ada manusiawi.

"Mereka bekerja seperti… mesin," lanjut Asteria, suaranya gemetar.

Gavriel menatap ke dalam pondok, lalu kembali ke arah para pekerja yang masih terlihat samar di kejauhan, meski malam sudah larut. Palu dan cangkul masih bergerak. Mereka belum berhenti?

Ada sesuatu yang membuat tengkuknya dingin.

***

Di dalam kamar Auliandra

Auliandra akhirnya berbaring, matanya masih terbuka menatap langit-langit. Kiran duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya erat.

"Aku takut, Ki…" suara Auliandra pecah, lirih, nyaris tidak terdengar. "Bukan hanya karena Mahiera… tapi pulau ini. Ada sesuatu yang salah."

Kiran menunduk, menatap wajah Auliandra yang pucat. "Aku tahu. Aku juga merasakannya. Kau tidak sendirian, Auli."

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, terdengar suara langkah pelan di luar kamar. Bukan langkah pekerja, terlalu ringan, terlalu hati-hati.

Kiran segera berdiri, membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa. Hanya lorong pondok yang temaram. Tapi samar-samar… ada bayangan perempuan yang menghilang di tikungan.

"Mahiera?".

***

Ruang belakang pondok

Mahiera berjalan seorang diri, gaunnya tersapu angin. Ia berhenti di depan jendela, menatap pekerja-pekerja di luar yang masih terus bekerja, tanpa henti, dengan gerakan yang terlalu seragam. Bibirnya melengkung.

(Bagus. Semuanya berjalan sesuai rencana. Mereka tidak akan pernah tahu… pulau ini bukan sekadar tempat membangun villa. Pulau ini akan menjadi kuburan bagi mereka yang lengah.)

Senyumnya berubah tipis, penuh rahasia. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah liontin tua berwarna hitam, berukir simbol yang aneh, berkilat di bawah cahaya bulan.

"Semua ini bergerak sesuai rencana," suara Mahiera terdengar halus namun penuh racun. "Mereka sibuk dengan luka keluarga, tanpa sadar tanah ini menyimpan lebih dari sekadar sejarah. Kutukan lama akan segera bangkit."

Pria itu mengangguk, mengetukkan jarinya di meja kayu. "Asal kau pastikan mereka tak keluar dari pulau ini. Proyek ini tak boleh gagal dan warisan Wardana hanyalah pintu pertama."

Mata Mahiera berkilat. Ia bukan sekadar bermain dalam intrik bisnis. Ada kepentingan yang lebih gelap, sesuatu yang mengikat dirinya dengan rahasia leluhur pulau ini.

"Valora sudah kubungkam. Kini giliran mereka."

Angin malam bertiup kencang. Pohon-pohon bergoyang seolah menolak kehadiran orang-orang yang mengusik tanah purba. Ombak mendebur lebih keras, dan entah dari mana, terdengar suara seperti gamelan tua dimainkan dengan nada sumbang, terpantul di udara gelap.

Di luar – Pantai

Angin laut berhembus lebih dingin, seolah membawa bisikan-bisikan tua yang tak pernah terucap. Langit terburai dengan awan pekat, bulan bersembunyi, menyisakan kegelapan yang seakan menelan cahaya lentera di dermaga kecil.

Gavriel berdiri di tepi pantai, menatap garis cakrawala yang samar dan Asteria duduk lesehan. Ada sesuatu dalam desiran ombak malam ini, irama yang tidak alami, seperti ritme sebuah doa kuno. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena takut, melainkan karena firasat. Pulau ini... menyimpan sesuatu yang lebih tua daripada sejarah keluarga mereka.

"Aku tidak suka semua ini…" gumam Gavriel. "Seolah mereka semua… dikendalikan."

Asteria menoleh, matanya membulat. "Kau merasakannya juga?"

Gavriel mengangguk perlahan. "Seperti ada sesuatu yang menarik mereka… memaksa mereka."

Di kejauhan, samar, terdengar suara… nyanyian rendah. Nyanyian yang bukan dari pekerja, bukan juga dari mereka. Suara itu datang dari arah hutan di balik bukit.

Asteria menggenggam lengan Gavriel. "Kau dengar itu?"

Gavriel hanya mengangguk, wajahnya menegang.

Dan saat itu juga, dari arah hutan, cahaya redup seperti api kecil bergerak pelan. Bukan obor, tapi sesuatu yang lebih aneh, berwarna kebiruan.

Pulau ini hidup. Dan kini, rahasianya mulai bangkit dari tidur panjangnya.

🦋To be continued...

1
Iin Wahyuni
sebenarnya auliedra dan kiran d pihak mana💪
Iin Wahyuni
Thor dr awal SMp skrg aku bc,serius aku bingung kisahnya Thor,JD sdkt nggk paham💪
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!