NovelToon NovelToon
KEHUDUPAN KEDUA

KEHUDUPAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.2 DARAH NAGA & KEBANGKITAN DANTIAN

Udara pagi menyelimuti lembah.

Kabut tipis turun dari gunung, menutupi permukiman kecil di kaki Pegunungan Barat. Di sebuah rumah kayu reyot di tepi hutan, seorang pemuda duduk bersila di atas tikar bambu, tubuhnya gemetar, napasnya berat. Namun di matanya terpancar ketenangan yang dalam.

Pemuda itu adalah Xiau Chen.

Sosok yang dulu mengguncang dunia kultifator dengan satu jurus. Kini, di tubuh seorang bocah 16 tahun yang dikhianati, ia kembali menapaki jalan kultivasi dari titik terendah.

Di depan tubuhnya, cahaya perak samar berputar membentuk simbol rumit.

Suara lembut bergema dalam pikirannya.

“Tubuh ini rusak parah, Xiau Chen. Dantiannya hancur, akar roh musnah. Jalur meridianmu seperti tanah kering,tidak mampu menyalurkan energi spiritual sedikit pun.”

Xiau Chen mengangguk pelan.

Ia menatap cahaya perak di depan dadanya manifestasi dari Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini bersemayam di dalam kesadaranya.

“Aku tahu,” jawabnya tenang. “Namun selama aku masih punya kesadaran... segalanya bisa diperbaiki.”

Kitab bergetar pelan.

“Ada satu cara, namun berbahaya. Darah naga purba di Pegunungan Barat. Dulu, darah itu kutulis dalam salah satu bab rahasia Teknik Pemurnian Dantian. Namun naga itu... bukan makhluk yang mudah didekati.”

“Bukankah aku dulu yang menulis ulang kitab itu dengan tanganku sendiri?” Xiau Chen tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku tahu apa yang menantiku.”

Ia berdiri, mengenakan jubah lusuh.

Tubuh mudanya tampak lemah, tapi matanya memancarkan sinar yang sama seperti dulu sinar seorang pendekar yang menantang takdir.

Sebelum melangkah keluar, ia menatap sebentar ke arah cermin tua. Wajah mudanya terpampang di sana tampan, tapi pucat.

“Pendekar Berwajah Giok…” gumamnya lirih. “Sepertinya julukan itu harus kupakai lagi.”

Beberapa jam kemudian, Xiau Chen berjalan melewati jalan tanah menuju kaki gunung.

Pegunungan Barat menjulang tinggi di depan mata, tertutup kabut dan dipenuhi hawa spiritual yang liar.

Bahkan dari jarak puluhan li, ia bisa merasakan aura binatang buas tingkat tinggi berkeliaran.

Dunia ini… sudah berbeda.

Hanya dalam beberapa langkah, ia menyadari bahwa pola energi spiritual di langit telah berubah. Aliran qi lebih padat, namun tidak stabil, seolah dunia ini pernah mengalami kehancuran besar dan baru saja pulih.

“Seribu tahun,” bisik Xiau Chen dalam hati. “Mungkin lebih. Dunia ini bukan dunia yang kutinggali dulu”

Ia berhenti di tepi jurang kecil, memandang lembah hijau di bawahnya. Suara sungai mengalir pelan, membawa aroma segar dedaunan.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama.

“Berhenti di situ!”

Suara kasar menggema dari belakang.

Xiau Chen menoleh pelan. Tiga pemuda berpakaian hitam berjalan mendekat, masing-masing membawa pedang di pinggang. Mereka menatapnya dengan wajah sinis.

“Itu kan anak buangan dari keluarga Xiau,” kata salah satunya. “Kukira kau sudah mati.”

Xiau Chen mengenali wajah-wajah itu.

Anak-anak dari sekte cabang yang sama—dulunya teman seperguruan tubuh ini, kini menjadikannya bahan olokan.

Mereka menatapnya seperti melihat sampah.

“Aku tak punya urusan dengan kalian,” ucap Xiau Chen datar, hendak melangkah pergi.

Namun salah satu dari mereka menghalangi jalannya.

“Kau berani bicara padaku dengan nada seperti itu? Dasar bocah cacat. Tanpa dantian, kau bukan siapa-siapa!”

Pedang mereka bergetar, mengeluarkan suara cling lembut yang mengancam.

Xiau Chen memandang mereka sekilas.

Ia tidak marah, tidak takut—hanya menatap seperti seseorang yang sedang menilai nilai batu di pasar.

“Kalau aku bukan siapa-siapa,” ujarnya tenang, “mengapa kalian repot-repot menghadangku?”

Ketiganya terdiam sejenak.

Rasa tak nyaman tiba-tiba muncul di dada mereka, entah kenapa. Tatapan bocah itu terasa… berbeda. Seolah mereka sedang menatap singgasana di langit, bukan seorang cacat.

Yang paling tua dari mereka mengerutkan kening. “Hmph! Jangan coba-coba bertingkah, Xiau Chen. Kalau kau masih berani.

Sebelum kalimatnya selesai, Xiau Chen mengangkat tangan.

Tidak ada aura. Tidak ada qi.

Namun, tekanan tak terlihat menembus udara seperti gelombang petir.

Ketiga pemuda itu serentak terdorong mundur, tubuh mereka terpental, dada sesak. Salah satunya muntah darah.

Mereka menatap Xiau Chen dengan wajah pucat.

“Ka-Kau… menggunakan jurus tekanan jiwa? Tapi itu teknik tingkat roh ilahi!”

Xiau Chen berjalan pelan melewati mereka tanpa menoleh. “Kalian terlalu banyak bicara.”

Seketika suasana sunyi.

Angin berhenti berembus, seolah alam pun enggan mengganggunya.

Setelah meninggalkan desa, Xiau Chen mulai mendaki pegunungan.

Hutan lebat menyambutnya. Kabut spiritual memenuhi udara, memantulkan cahaya lembut.

Suara burung roh terdengar samar-samar di kejauhan.

Langkahnya tenang.

Setiap kali ia menapakkan kaki, daun-daun di sekitarnya bergetar halus, seakan mengenali pemilik aura agung yang tersembunyi di dalam tubuh lemah itu.

Namun semakin dalam ia masuk ke wilayah pegunungan, hawa panas mulai terasa. Tanah menjadi kering, bebatuan retak, dan udara bergetar seperti bara api.

“Kau sudah dekat,” suara kitab bergema di pikirannya. “Darah naga purba mengalir di bawah lembah gunung ini. Tapi di sanalah tempat bersemayam Binatang Penjaga Api Langit.”

Xiau Chen mengangguk.

“Aku tahu. Makhluk yang diciptakan dari sisa napas naga itu sendiri. Penjaga alami tempat ini.”

Ia berhenti di depan sebuah celah batu besar.

Dari dalamnya keluar semburan hawa panas membakar, seperti nafas dari perut bumi. Suara gemuruh samar terdengar, seolah sesuatu yang besar sedang tidur di dalamnya.

Xiau Chen menatap sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Sudah lama aku tidak menghadapi makhluk sekuat ini.”

Ia melangkah masuk.

Begitu memasuki gua, hawa panas meningkat sepuluh kali lipat.

Batu-batu di dinding berkilau merah, dan sungai magma mengalir di tengahnya. Di sisi terjauh, di atas batu besar, seekor makhluk raksasa melingkar.

Bentuknya seperti naga, namun bersayap seperti burung api. Sisiknya memancarkan cahaya merah keemasan, setiap napasnya membuat udara bergetar. Matanya tertutup—tidur, namun auranya begitu mengerikan hingga tanah bergetar pelan.

Xiau Chen berdiri di hadapannya, lalu berlutut sebentar.

Bukan sebagai penghormatan, tapi sebagai pengakuan kekuatan.

“Darahmu yang kuno… adalah satu-satunya yang bisa memulihkan tubuh ini,” katanya perlahan. “Aku tidak datang untuk melawanmu, tapi untuk meminjam sedikit kehidupan darimu.”

Namun sebelum suaranya menghilang, mata naga itu terbuka.

Api menyala di sekeliling ruangan.

Seketika, hawa spiritual membuncah. Tekanan dari makhluk itu membuat udara di sekitar Xiau Chen berhenti bergerak.

“Manusia lemah… berani mencuri darahku?”

Suara naga itu bergema seperti guntur.

Xiau Chen tersenyum samar. “Aku tidak mencuri. Aku menukar.”

“Menukar? Dengan apa?”

Xiau Chen menatap lurus ke mata naga itu.

“Dengan sumpah langit. Aku, Pendekar Suci Xiau Chen, bersumpah bahwa darahmu akan digunakan bukan untuk kehancuran, tapi untuk menjaga keseimbangan dunia.”

Mata naga itu bergetar.

Nama itu… seperti mengguncang ingatan purba di dalam dirinya.

“Xiau Chen… Pendekar Suci?” suaranya bergema pelan. “Nama itu... pernah kuingat di zaman sebelum dunia runtuh.”

Xiau Chen mengangguk. “Maka kau tahu siapa aku.”

Naga itu terdiam, lalu mengeluarkan desisan panjang. Ia menatap manusia kecil di depannya—tubuh lemah, tapi jiwanya memancarkan cahaya yang sama seperti matahari.

Akhirnya, naga itu membuka cakarnya.

Dari telapak cakarnya, menetes setitik darah merah keemasan, bercahaya seperti permata hidup.

“Ambillah. Tapi ingat, darah naga bukan berkah... melainkan ujian.”

Xiau Chen tersenyum lembut. “Ujian adalah bagian dari jalanku.”

Ia menangkup darah itu. Begitu menetes ke telapak tangannya, darah naga itu langsung menembus kulit dan mengalir ke seluruh tubuh.

Rasa panas yang tak tertahankan menyerang.

Tulangnya retak, urat-uratnya seperti terbakar dari dalam.

Tubuhnya menggigil keras. Suaranya tercekat.

Namun Xiau Chen tidak menjerit. Ia menggigit lidah, menahan rasa sakit yang bahkan para dewa pun akan menyerahkannya.

“Tahan, Xiau Chen,” suara kitab bergetar di dalam jiwanya. “Biarkan darah naga menyatu dengan akar rohmu. Jangan tolak, jangan lawan!”

Tubuhnya bergetar semakin keras.

Sampai akhirnya BOOM!

Gelombang qi menyebar keluar dari tubuhnya, memadamkan api di sekeliling gua.

Cahaya keemasan muncul dari dadanya.

Dantian yang semula hancur mulai terbentuk kembali, bercahaya lembut seperti kristal hidup. Akar roh yang musnah mulai tumbuh lagi, bercabang, menyerap qi dari udara.

Perlahan, nyala kehidupan kembali ke dalam tubuhnya.

Setelah beberapa saat, hawa panas mereda. Xiau Chen membuka matanya.

Api naga masih menyala di sekelilingnya, tapi kini tubuhnya tak lagi terbakar.

Ia mengepalkan tangan.

Rasa kekuatan baru berdenyut dalam nadinya.

“Dantian… telah pulih,” katanya pelan.

Senyum tipis muncul di wajahnya. “Langit memberiku awal baru.”

Dari dalam jiwanya, kitab kuno bersinar terang.

“Selamat datang kembali... Pendekar Berwajah Giok.”

Xiau Chen berdiri. Rambutnya tertiup angin panas, matanya menatap naga purba itu dengan penuh rasa hormat.

“Terima kasih atas darahmu,” katanya sambil menunduk. “Suatu hari nanti, aku akan membalasnya.”

Naga itu mengangguk perlahan. “Pergilah. Dunia di luar telah berubah. Tapi kau… kau masih sama.”

Xiau Chen berbalik, melangkah keluar dari gua.

Begitu ia menjejakkan kaki di luar, angin gunung bertiup kencang, membawa hawa baru.

Langit yang semula gelap kini membelah, cahaya keemasan jatuh tepat di tubuhnya.

Dan dari balik awan, terdengar suara guntur halus, seolah langit sendiri sedang menyambut kebangkitannya.

“Mulai hari ini,” ucap Xiau Chen pelan, “dunia akan tahu... Pendekar Suci telah kembali.”

1
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Bagus... walau dulu sektemu hancurkan saja kalau menyembah Iblis
Nanik S
Xiau Chen... hancurkan Mo Tian si Iblis pemanen Jiwa
Nanik S
Lebih baik berlatih mulai Nol lagi dan tidak usah kembali ke Klan
Nanik S
Hadir 🙏🙏
Girindradana
tingkatan kultivasinya,,,,,,,
Rendy Budiyanto
menarik ceritanya min lnjutin kelanjutanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!