Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seni Mempertahankan Hubungan
Sejuk menerpa kulit, pagi terlalu dingin untuk menghirupnya kuat-kuat—di pojok teras, di antara senyap dan galau. Mengencangkan sweater berbahan rajut, Mala duduk merenungi kembali pembicaraan dengan Ayah kemarin sore.
"Buntalan putih itu sudah aku buang, juga beberapa benda kiriman yang membuatmu sakit!"
"Aku sakit karena nyamuk, Ayah!"
"Terserah kalau kamu tidak mau percaya, aku menjalankan tugasku sebagai ayah untuk melindungimu. Tetap kulakukan walau kau tak suka."
Huh, Mala mengeluh sendiri. Pada masalah tak kasat mata ia menjalankan fungsinya sebagai ayah, pada kehidupan sehari-hari yang jelas-jelas terlihat tanpa perlu mata batin, dia malah meninggalkan tugasnya sebagai ayah.
Tidak seratus persen percaya pada perlindungan yang dilakukan sang ayah, Mala memilih lebih mendekatkan diri pada Tuhan yang Mala anggap telah memberikan kesempatan ke dua. Ayah Mala juga berkata, "Saat di jam dua dini hari, dadamu terasa sesak, lekas bangkit dan beribadah. Itu waktu riskan musuhmu mengirim sihir!"
Percakapan dengan ibu mertua juga mengganggu pikiran.
"Aneh, Bram sama sekali nggak menyentuh makanan di rumah. Padahal kusiapkan makanan kesukaannya, aku memasaknya sendiri."
Ibu mertua mengadu pada Mala. Tidak langsung menanggapinya, Mala perhatikan saja celotehan ibu mertuanya yang sedang sebal dengan anaknya sendiri.
Begitulah kebiasaan Bram beberapa bulan terakhir. Pulang larut, pergi pagi. Tak sentuh masakan rumah. Marah kalau lapar tak tersedia makanan hangat. Namun, saat disajikan Bram selalu saja ada alasan untuk pergi ke luar rumah.
Seolah hanya mau mengerjai Mala. Tak menyangka, Bram berbuat begitu juga pada ibunya sendiri.
Angin berembus perlahan. Dingin menusuk tulang. Beringsut dari duduk mematung tanpa suara—isi kepala berisik membuat strategi.
Yeah, itu yang Mala sedang pikirkan. Tak mau diam berpasrah pada keadaan. Anggap saja, Bram menjalin hubungan dengan wanita yang ingin mencelakainya. Mala sungguh tak mau mati konyol. Masih lekat ingatan bagaimana kejadian di rumah sakit. Meski Bram tahu Mala baru lolos dari maut. Bram mendorong dengan kejam, pandangan asing penuh kebencian.
Pecundang itu memang mudah terhasut!
Percuma juga menyesali keputusan bersuamikan Bram, yang perlu Mala hadapi kini pilihan untuk bertahan atau melepas.
Terlalu dini bila kugunakan sihir pemisah yang menimpaku sebagai alasan melepaskan Bram. Tak ada bukti nyata. Memutuskan berpisah sebelum berjuang mempertahankan juga rasanya tak akan adil bagi anak-anak. Apa yang sebaiknya kulakukan?
Mala mendesah. Meremas kepalanya sendiri. Sebuah notifikasi masuk. Itu dari Bram. Menanyakan apa hari ini Mala ingin memakan sop buntut, pagi ini Bram sarapan sop buntut di sebuah kedai dan mengaku mengingat Mala. Ia bermaksud mengirimkan sop buntut melalui ojol.
Kebetulan aku belum sarapan. Itu balasan Mala.
Ada setitik harapan muncul ke permukaan hati kelam seorang Mala.
Terkadang Bram memang masih manis walau banyak pahitnya. Tetapi, Mala bersumpah enggan mudah terpedaya. Bisa saja saat ini ada wanita jahat itu disamping Bram. Mala bergidik sendiri, membayangkan kebencian wanita yang menginginkan Bram kepada dirinya.
Oh, apa itulah kesalahanku? Selama ini kekecewaan membuatku mati rasa, dan mati rasa membuatku tidak bergairah.
Mala coba menghitung berapa kali ia dan Bram gagal dalam berhubungan intim, dan berapa kali yang berhasil. Tidak sampai lima jari dalam setahun. Omong kosong jika memperbaiki hubungan tanpa hubungan suami istri kembali. Bagaimanapun Bram masih sah suami Mala.
Kurasa aku terlalu melihat keburukannya. Di mataku Bram menjadi sangat membosankan, dan sifatku yang tak dapat berpura-pura menampilkan kemuakkan yang sempurna.
Dia pasti melihatku yang membencinya, sehingga dia pun menatapku dengan benci. Jika begini siapa yang diuntungkan? Tentu saja pelakor jahat itu. Lantas siapa yang rugi? Jika kami berpisah, anak-anak kami yang terkena dampaknya.
Jika aku harus berjuang sekali lagi ... Kurasa tak ada salahnya aku mencobanya untuk anak-anakku.
Ini bukan tentang wanita menye-menye yang lemah, kalah, pasrah. Ini tentang seni mempertahankan hubungan.
Bukan lagi soal kecintaan sampai bucin tolol, ini hanya bermain peran. Memakai logika ketimbang perasaan. Ujung dari situasi bersama Bram hanyalah, memutuskan meneruskan rumah tangga atau berhenti sampai di sini saja.
Artinya siap menjadi janda, pada bagian terburuknya menyaksikan tawa pelakor jahat itu mengelilingi kehidupan anak-anak.
Tidak!!!
Tak akan kubiarkan wanita yang mengirim sihir pemisah itu ... berhasil dengan tujuannya.
Mala begitu buruk dalam berakting. Karena itu masih ragu untuk memulai memperbaiki hubungan. Kalau harus membunyikan suara, rasanya yang terdengar bukan kemesraan tapi bunyi tercekat tersangkut di tenggorokan.
Mengetik sesuatu, kemudian mengirimkan sembari terpejam. Sebuah chat yang ditujukan untuk suaminya yang lama berpisah ranjang.
Satu kata yang buat Mala jijik pada dirinya sendiri.
Kangen...
***
Melongo membaca pesan di ponsel. Bram sampai mengucek mata berkali-kali. Apa ini benar? Apa ini nyata? Bagaimana tidak heran, Mala yang dinginnya setebal bongkahan es antartika bisa mengucap kangen.
Kesambet apa ya, Mala?
Bram jadi senyum-senyum sendiri. Tak sabar ingin menemui Mala. Rasanya hari yang dinantikan sekian lama akhirnya tiba, yaitu Mala memperhatikan dirinya. Pesan Mala dibaca berulang agar tak salah baca.
Ini benar ditujukan buat aku kan? Eh, bagaimana kalau ini untuk orang lain?
Otak Bram mulai merespons overthinking. Beberapa menit terus begitu sampai mengabaikan Nana yang mengajak bicara. Mau balas chat Mala untuk langsung bertanya, Bram takut bila benar Mala salah kirim. Bram tak sanggup jika Mala rindu pada yang lain.
Usai membayar sop buntut take away, Bram bergegas pulang. Meninggalkan Nana begitu saja tanpa berpamitan. Antara lamunan Bram mengenai Mala yang merayap naik. Dengan aneh Bram meyakini tujuannya menemui Mala di rumah bisa luntur bila Bram melihat wajah Nana.
Dalam perjalanan Bram juga mulai memikirkan, kenapa dirinya bisa begitu terpedaya oleh Nana. Wajah Nana terus berkelebat di pikiran, sedangkan amat benci ketika memandang Mala.
Mala tidak jelek, dia hanya dingin dan kaku. Tatapan Mala begitu misterius dan mengharuskan Bram menebak isi otak Mala sesungguhnya.
Wanita yang tidak tertebak. Namun, aku senang akhirnya dia menghubungiku bukan untuk membahas uang ataupun anak-anak.
***
Derap langkah kaki Bram tak sabar. Wanita yang belaian kasih sayangnya dirindukan Bram, tengah duduk melamun di teras. Memandangi bougenville yang bergoyang.
Terengah menyerahkan bungkusan plastik berisi sop buntut. Alih-alih menyuruh Mala makan, Bram langsung melempar tanya.
"Kamu kangen aku 'kan, Mah?"
Mala kaget, cepat menguasai keadaan dan menjawab santai.
"Iya," ucapnya mengambil bungkusan dari tangan Bram dan berbalik ke dalam rumah.
Ada lega di hati Bram. Diikutinya langkah kaki Mala yang menuju dapur.
Sekonyong-konyong Mala dengan balutan mini dress terlihat cantik di mata Bram.
Gerakan Mala yang memunggungi terkesan membangkitkan gairah. Bram tak kuasa menahan rindunya. Merengkuh pinggang Mala dari belakang dan mengecup tengkuk Mala buas.
"Bolehkan, Mah?" bisik Bram tak santai.
Tubuh Mala menegang. Dirinya tak perlu melakukan banyak trik untuk menggoda Bram, tetapi suaminya itu datang dengan kejujuran secara terang-terangan menginginkannya.
Antara iya dan tidak, Mala berjibaku sendiri dengan logika dan perasaannya.
Tidak ada gairah yang bangkit dalam diri Mala. Kendati Bram terus saja menyentuh leher Mala tanpa ampun.
Tidak bisa begini, suara hati Mala berbisik, jika aku berkomitmen mempertahankan rumah tangga aku harus bisa menganggap Bram sebagai suami yang layak aku pertahankan, suami yang aku inginkan, dan tak memberikan kesempatan wanita jahat itu mengendalikan Bram.
Mala memejam mata, mengatur ritme dada yang bertalu. Membalikkan badan dan melihat Bram dengan penuh gairah yang dibuat-buat.
Tatapan Bram seakan memohon, sudut bibir Mala tersenyum sinis. Dirinya tetap tak menjawab apa pun. Hanya gerak tangannya membuka kancing pakaiannya satu per satu.
...ΩΩΩΩ...