NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:424
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Yang Memilih

Suasana siang itu masih dipenuhi aroma obat dan antiseptik. Saat perawat pergi dari sana, tatapan Yuna langsung bersirobok dengan Rizal yang tengah bersandar di ranjang, wajahnya masih pucat meski sudah agak segar dibandingkan sebelumnya. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, seolah ada rasa lega bercampur rasa takut terlihat berlebihan.

“Mas… saya masuk, ya?” Ucap Yuna hati-hati, suaranya sedikit serak.

“Masuk saja.” Rizal mengangguk kecil.

Yuna melangkah masuk, meletakkan termos bubur di meja kecil di samping ranjang.

“Aku bawakan bubur hangat… biar bisa makan sedikit. Katanya bubur lebih mudah dicerna.”

Belum sempat Rizal menanggapi, Rani dan juga mamanya mendekat. Mereka juga membawa wadah besar berisi bubur yang masih mengepul. Senyum manis mengembang di wajah Rani, seolah ingin menunjukkan betapa perhatiannya ia pada Rizal.

“Kak Rizal. Aku bawain bubur juga. Mama bahkan ikut bantu masak, lho. Kakak pasti suka...” kata Rani sambil meletakkan wadah di meja tepat di sebelah termos milik Yuna.

Ratna menambahkan dengan suara lembut namun sarat arti.

“Iya, Rizal. Bubur ini khusus tante masak buat kamu. Kami ingin kamu cepat pulih.”

Yuna hanya bisa menunduk, merasakan aura persaingan yang tiba-tiba memenuhi ruang sempit itu. Tangannya sedikit menggenggam ujung bajunya sendiri, mencoba menahan gelombang perasaan yang tak bisa ia definisikan.

Rizal melirik ke arah dua wadah bubur yang kini sama-sama ada di samping ranjangnya. Ia sempat terdiam. Di satu sisi, ada bubur buatan Yuna, sederhana, polos, tapi penuh ketulusan. Di sisi lain, ada bubur dari Rani dan mamanya, mewah, lengkap, penuh klaim perhatian.

“Wah… banyak sekali buburnya...” Ujar Rizal dengan nada setengah bercanda, berusaha mencairkan suasana.

“Tentu saja. Kak Rizal itu butuh asupan gizi. Lagipula… kakak kan sudah terbiasa dengan masakan Mama, kan? Jadi pasti cocok.” Rani cepat menyahut, ia melirik Yuna sambil tersenyum samar, seolah ingin menegaskan posisinya.

Yuna menggigit bibir bawahnya, dia tidak berani mengeluarkan sepatah katapun.

Mata Rizal sedikit beralih ke Yuna. Pandangannya tertahan sesaat, membaca ketulusan di balik diamnya yang sederhana itu. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa hangat, berbeda dari perhatian yang ditunjukkan Rani.

"Aku mau coba bubur buatan, Yuna."

Mendengar ucapan Rizal, Yuna sontak mengangkat wajahnya. Ada senyum tipis terukir dibibirnya.

Ruangan itu mendadak hening. Rani memandang Yuna dengan tatapan tajam, sementara mama Rani mengernyit, tak percaya Rizal berani mengajukan hal itu.

"Nanti aku juga akan makan bubur buatan tante." Sekilas senyum samar muncul di bibir Rizal.

Bukan sekadar untuk meredakan suasana, tapi juga karena hatinya ingin tahu bubur masakan Yuna dan entah kenapa, ia lebih penasaran dengan bubur buatan tunangannya itu.

Yuna segera meraih termos yang ia bawa, membuka tutupnya perlahan. Uap hangat langsung mengepul, memenuhi udara dengan aroma sederhana dari bubur ayam yang ia masak. Tidak ada topping mewah, hanya taburan daun bawang, kentang goreng yang di iris tipis, potongan ayam berbentuk dadu yang menyatu dengan bubur serta kuah kecap asin yang memberikan warna dan rasa mirip bubur Chinese yang sering Rizal sukai.

Rizal memperhatikan setiap gerakan Yuna. Ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada gengsi, tidak ada pameran kasih sayang yang harus diumbar di hadapan orang lain. Semua begitu sederhana, tapi justru di situlah Rizal merasa hatinya disentuh.

“Silakan, Mas...” Kata Yuna pelan, menyodorkan mangkuk bubur itu dengan kedua tangannya.

Rizal menerimanya, kemudian mengambil sendok perlahan. Sesendok kecil bubur masuk ke mulutnya, hangatnya langsung menjalar ke tenggorokan. Wajahnya sempat terdiam sejenak, lalu mata Rizal melunak.

“Enak...” Gumamnya singkat.

Senyum tipis Yuna semakin jelas, meski ia menunduk agar tidak terlalu terlihat. Ia berusaha menahan rasa lega yang bergelora di dadanya.

Namun, reaksi itu justru membuat Rani tidak bisa menahan diri. Ia melangkah cepat, mengambil wadah bubur yang ia bawa.

“Kak Rizal harus coba bubur Mama juga...” Ujarnya sambil menuangkan porsi besar ke mangkuk lain.

“Ini bubur kesukaan kakak dari dulu. Mama pakai ayam kampung, kaldu tulang, dan bahan-bahan terbaik.”

Nada suaranya terdengar manis, tapi penuh sindiran halus yang jelas diarahkan pada Yuna.

Rizal menatap bubur di hadapannya. Ia tahu, menolak sekarang hanya akan memperkeruh keadaan. Dengan tenang ia mengambil sesendok dan mencicipinya.

“Rasanya… enak juga. Aku habiskan punya Yuna dulu.” Jawabnya singkat.

Namun berbeda dengan saat mencicipi bubur Yuna, kali ini ekspresi wajah Rizal datar, tidak ada kehangatan yang sama.

Yuna menunduk semakin dalam, mencoba menyembunyikan senyum kecilnya yang tak bisa ia tahan. Baginya, mendengar Rizal jujur mengatakan buburnya enak sudah lebih dari cukup.

Rani memperhatikan perubahan ekspresi itu dengan gusar. Tangannya mengepal di bawah meja, sementara mamanya hanya bisa saling pandang dengan anaknya, tak habis pikir kenapa Rizal terlihat lebih terikat pada bubur sederhana buatan seseorang yang belum lama berhubungan dengannya.

“Makasih sudah repot-repot masak untukku. Aku tahu kamu juga lelah.” Rizal meletakkan sendok, lalu menatap Yuna.

Yuna menggeleng cepat, wajahnya memerah.

“Nggak, Mas. Aku sama sekali nggak repot.”

Tatapan mereka bertemu untuk beberapa detik. Singkat, tapi cukup untuk membuat Rani merasa terasing dalam ruangan itu.

Ratna segera berdeham, berusaha mengembalikan perhatian.

“Yang penting sekarang kamu cepat sembuh, Rizal. Jangan terlalu dipaksa bicara banyak.”

Rizal hanya mengangguk, tapi pandangannya kembali jatuh pada Yuna.

Rani yang sejak tadi menahan rasa jengkel akhirnya tidak bisa lagi menyembunyikan ekspresinya. Senyum manisnya lenyap, berganti dengan tatapan tajam yang sempat ia arahkan pada Yuna. Tangannya meraih tas kecil di kursi, lalu ia berdiri tergesa.

“Kak Rizal istirahat saja. Aku nggak mau ganggu.” Ucapnya datar, tapi jelas sekali nadanya penuh kejengkelan.

Ratna terkejut melihat perubahan sikap putrinya.

“Rani, kamu...”

“Ayo, Ma. Kita pulang.” Potong Rani cepat, suaranya meninggi, meski ia berusaha menahan agar tidak terlalu terdengar seperti marah-marah di ruang rawat.

Rizal menghela napas panjang, menatap Rani yang melangkah cepat ke arah pintu.

“Rani…” Panggilnya, mencoba menahan, namun gadis itu tidak menoleh sama sekali.

Ratna kebingungan, hampir saja ikut terbawa langkah anaknya. Ia menoleh ke Rizal, kemudian ke Yuna yang masih menunduk kaku.

“Maaf, ya Rizal. Rani… memang mudah terbawa perasaan. Tante coba bicarakan nanti di rumah.”

“Tidak apa-apa, Tante. Biarkan saja dulu.” Rizal hanya mengangguk singkat.

Ratna ragu sesaat, tapi akhirnya buru-buru mengejar Rani keluar ruangan. Suara langkah tergesa keduanya perlahan menjauh, meninggalkan hening yang berat di ruang rawat itu.

Yuna masih diam, menatap lantai. Ia merasa tak enak hati, takut dianggap sebagai penyebab kekesalan Rani. Tangannya yang masih menggenggam sendok hampir bergetar.

Rizal menoleh ke arahnya, suara tenangnya memecah keheningan.

“Jangan dipikirkan, Yuna. Itu bukan salahmu.”

“Tapi, Mas… sepertinya aku jadi...”

“Nggak...” Potong Rizal lembut, menatapnya dalam.

“Aku yang memilih.”

Kata-kata itu membuat dada Yuna berdesir. Ia terdiam, tak tahu harus menjawab apa, sementara senyum tipis samar muncul di wajah Rizal, meski wajahnya masih pucat karena sakit.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!