Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Abel kembali dengan pundak lemas. Ia yang sebelumnya penuh tenaga dan begitu garang melawan Bian, kini tak lebih dari seikat bayam yang direbus terlalu lama.
"Lemes amat. Anemia lo kumat lagi?" Dito sempat menoleh sebelum kembali memeriksa hasil jepretan Anjani.
"Gue mau ikut cari kayu bakar."
"Badan lo kalau dibandingin sama ranting juga gedean ranting ke mana-mana." Anjani menoleh sembari mengunyah camilan yang dibawa oleh Dito. "Daripada bikin Bian ngacak-ngacak ini bumi perkemahan karena lo tiba-tiba kesleo mending jaga kandang aja dah. Lumayan tuh bisa jadi tim hore sama Dinda."
"Mendadak kepengen jadi Abel the Explorer, kayaknya seru deh kalau gue cari kayu sekalian nge-vlog di sini."
"Iye, seru. Lebih seru lagi kalau lo disamperin sama monyet."
Abel kontan menginjak kaki Dito yang saat itu tengah telanjang karena Anjani duduk di atas sendalnya. Tidak modal, 'kan? Memang. Maklum saja kalau urusan camilan pun Anjani harus merampas punya Dito juga.
"Ngapain jauh-jauh ke tengah hutan kalau di sini aja gue juga bisa lihat MONYET. Gede lagi monyetnya."
"Ngomong monyetnya nggak perlu diarahin ke muka gue kali. Muka seganteng Renjun NCT begini kok dikatain mirip monyet? Minus, ya?"
"Renjun NCT?" Anjani menoleh sembari geleng-geleng kepala. "Muka lo kalau dibandingkan sama kuku Njun juga lebih gantengan kuku dia ke mana-mana. Lo mah cocoknya disamain sama pohon yang sering diajak ngobrol sama Jisung."
Abel kontan tergelak. Dia menelengkan kepala dengan ekspresi menggoda. "Ahahaha disamain kayak pohon. Keinjek nggak harga diri lo yang suka ngaku-ngaku kayak Renjun itu?"
"Mendadak pengen mites dia sih."
"Kayak yang berani aja."
"Berani aja asal lo nggak ngadu ke nyokap lo."
"Jiaaakh takut sama calon mertua. Cupu amat lo jadi laki-laki."
"Diem lo cegilnya Laksa."
"Laksa mulu, naksir, ya?"
"Amit-amit!"
Di tengah pembicaraan menyenangkan itu, Bian tiba-tiba datang. Membawa dua susu kotak untuk ia bagi dengan Abel, sedang dua lainnya hanya kebagian nyengirnya saja.
"Perasaan gue sama Dito enggak se-transparan itu deh, Pak. Tapi kenapa, ya, sampai sekarang nggak pernah kelihatan kalau udah lihatin Abel."
"Mungkin di mata Bian, kita nggak lebih dari debu-debu yang beterbangan kali, Jan." Dito ikut kompor-kompor meskipun dia harus menyingkir karena Bian duduk di antara ia dan Abel.
"Yang menarik emang selalu terlihat lebih cantik daripada yang lainnya."
"Geleuh!"
Bian sempat tertawa kecil, tidak menyadari kalau Abel sedang tidak ingin bertemu apalagi berinteraksi dengannya.
"Mau stroberi apa yang cokelat?"
"Masih kenyang."
"Kenyang? Makan sedikit doang bisa langsung kenyang?"
"Kan, banyak nyemilnya. Paling bentar lagi juga udah lapar lagi."
"Kalau gitu susu kotaknya dibawa aja buat jaga-jaga. Gue sama anak-anak mau cari kayu bakar bentar, takutnya pas lo kelaperan gue belum balik ke sini."
"Gue mau ikut cari bakar kok."
Kali ini Bian menelengkan kepala, sedikit kurang setuju dengan keputusan Abel karena ia telah membuatkan rencana lain. Menyambut kepulangan Bian jauh lebih baik ketimbang pergi ke hutan dengan resiko digigit nyamuk.
"Jaga tenda aja sama Dinda biar cowok-cowok yang cari kayu bakarnya."
"Kepengen explore."
"Bel ...."
Abel kontan menoleh. Kedua alis yang tiba-tiba menegang berhasil disadari oleh Bian hingga ia memutuskan untuk mengusapnya.
"Gue nggak bermaksud membatasi pergerakan lo, tapi ada baiknya emang jaga tenda aja apalagi lo sempet sakit kepala. Nanti masih ada kegiatan lain, langsung gue izinin kalau lo mau ikut tapi sekarang nggak dulu."
"Kalau Jani boleh ikut kenapa gue nggak?"
"Jani seksi dokumentasi, wajar kalau dia ikut semua acara."
"Gue udah nggak sakit kepala."
"Abeel."
"Gue yang paling tau gimana kondisi tubuh gue, so please ... jangan terlalu manjain gue seolah-olah lo nggak memimpin banyak orang. Bi, gue menghargai semua perhatian lo, tapi anak-anak lain nggak perlu sampai ngerasain kecemburuan sosial juga, 'kan?"
"Gue nggak bermaksud bikin lo jadi sasaran anak-anak, gue cuma—"
Abel lebih dulu menggeleng. Susu kotak yang semula diberikan Bian kini kembali ke pemiliknya. Abel lantas pergi, sedikit sebal karena Dinda tak mengambil langkah apapun padahal Bian berusaha mendekat terus.
"Urusin cowok lo tuh!" ujarnya pada Dinda.
Abel meringkuk di dalam tenda. Rasanya semakin sebal karena situasinya semakin memburuk. Ucapan Laksa saja masih terngiang-ngiang di kepala, sekarang masih harus berhadapan dengan sikap Bian yang terasa begitu egois itu.
"Kak Abel?" Clarista yang telah melewati tenda Abel kontan mundur lagi. "Lah, lo nangis, Kak?"
Abel buru-buru mengusap wajahnya. Senyum yang semula hilang kini terbit begitu lebar.
"Kok lewat sini? Mau caper ke Raka PMR, yaaa?"
"Enak aja. Tadi habis ke tenda sekretariat sekalian minta hansaplas karena jari temen gue kena pisau, taunya malah mergokin lo nangis. Kenapa? Lagi berantem sama Laksa, ya? Atau masih cemburu karena gue tadi tiba-tiba pat-pat kepala dia?"
"Mulai datang bulan jadi suka nangisan."
"Kirain karena gue pat-pat kepala Laksa." Clarista duduk di tenda Abel meskipun tanpa izin. "Laksa emang ganteng sih, Kak, tapi gue nggak minat sama dia karena udah punya pacar. So, yang tadi buat seru-seruan aja. Maaf deh, kalau bikin suasana hati lo jadi jelek abis."
"Santai aja kali. Lagian gue juga nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Btw, pacar lo siapa? Anak sini juga?"
Clarista mengangguk dengan bangga.
"Ya, itu si Raka PMR."
"Masa? Ini beneran atau cuma buat isengin gue doang?"
"Beneran, Kak. Kalau nggak percaya gue telepon sekarang biar dia ke sini bawain kita camilan."
Mulanya Abel memang tidak percaya. Pasalnya Raka PMR itu sebelas dua belas dengan Laksa, selain tidak terlalu ingin kena sorot, dia juga tidak pernah terlihat dekat dengan cewek manapun. Namun, begitu melihat dengan mata kepalanya sendiri, Abel betulan melongo.
"Hai?"
"Kak, mingkem, Kak. Ntar kemasukan lalat kalau lo mangap kayak gitu."
Raka ikut tertawa. Badannya sebelas dua belas dengan Laksa, bedanya milik Raka lebih berotot saja.
"Lo beneran pacarnya Clarista, Rak?"
"Cantik, 'kan, pacar gue?"
"Nggak usah mesra-mesraan di depan gue!" Abel mulai mencucu, Clarista malah hampir kelepasan memanggil Laksa kalau tidak dibungkam olehnya.
"Hahaha, makanya sana jadian sama Laksa. Yang anyep begitu seenggaknya lebih tau gimana cara memperlakukan perempuan, kalau sama Bian ...." Raka langsung geleng-geleng kepala.
"Kalau sama Bian kenapa emangnya?"
"Lo bakalan dijadiin tawanan."
"Hah?"