Novia Anwar adalah seorang guru honorer di sebuah SMA negeri di kota kecil. Gajinya tak seberapa dan selalu menjadi bahan gunjingan mertuanya yang julid. Novia berusaha bersabar dengan semua derita hidup yang ia lalui sampai akhirnya ia pun tahu bahwa suaminya, Januar Hadi sudah menikah lagi dengan seorang wanita! Hati Novia hancur dan ia pun menggugat cerai Januar, saat patah hati, ia bertemu seorang pria yang usianya lebih muda darinya, Kenzi Aryawinata seorang pebisnis sukses. Bagaimana akhir kisah Novia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembelaan Membuat Haru
Suasana di depan gerbang SMA Harapan Bangsa menjadi sangat tegang. Bu Desi meluapkan amarahnya, melabrak Kenzi yang tak terima Novia dihina. Bu Desi marah dan tak peduli Kenzi adalah pria asing yang baru ditemuinya. Ia terus meneriaki Novia dengan umpatan-umpatan keji dari dalam mobilnya.
"Kamu ini siapa?! Berani-beraninya membela wanita murahan ini?!" bentak Bu Desi pada Kenzi, wajahnya memerah padam. "Pasti kamu juga sama bejatnya! Dasar lelaki hidung belang! Pecundang!"
Kenzi berdiri tegak, tak gentar sedikit pun. "Saya tidak akan membiarkan Anda terus-menerus memfitnah dan menghina Novia!" ucap Kenzi tegas. "Anda sudah keterlaluan!"
Bu Desi makin menjadi-jadi menghina Novia. "Keterlaluan apanya?! Memang kenyataan kok! Dia itu pelakor! Janda mandul! Dipecat dari sekolah! Sekarang mencari mangsa lagi! Wanita amoral seperti dia memang harus dihabisi!"
Teriakan Bu Desi menarik perhatian banyak orang, termasuk para siswa yang baru saja keluar dari sekolah. Mereka berbisik-bisik, menatap Novia dengan rasa ingin tahu dan kasihan. Novia hanya bisa menunduk, air mata mengalir deras, merasa sangat malu dan terhina.
Di tengah keributan yang semakin memanas itu, Bu Mariam, Kepala Sekolah SMA Harapan Bangsa, tiba-tiba muncul. Ia baru saja selesai rapat dan mendengar kegaduhan di depan gerbang. Begitu melihat Bu Desi yang sedang menghardik Kenzi dan Novia, raut wajahnya langsung berubah menjadi serius.
Dengan langkah cepat, Bu Mariam menghampiri mereka. "Bu Desi! Hentikan ini sekarang juga!" perintah Bu Mariam, suaranya lantang dan berwibawa, memecah kebisingan.
Bu Desi menoleh, terkejut melihat kepala sekolah. "Eh, Bu Mariam. Ini lho, ada wanita tidak tahu diri ini, mengotori lingkungan sekolahmu!" Ia menunjuk Novia dengan tatapan jijik.
Bu Mariam mengabaikan ucapan Bu Desi. Ia menatap Bu Desi dengan tatapan tajam. "Bu Desi, saya minta Anda segera pergi dari sini! Jangan membuat keributan di depan sekolah kami!"
"Kenapa saya harus pergi?! Wanita ini yang harusnya pergi! Dia itu sumber masalah!" balas Bu Desi, tak mau kalah
Bu Mariam menghela napas, kesabarannya habis. Ia menatap Bu Desi dengan dingin. "Baiklah, kalau Anda tidak mau pergi dengan baik-baik. Saya akan katakan ini. Yang Anda hina dan provokasi ini adalah guru baru kami, Novia Anwar." Ia kemudian menunjuk Kenzi. "Dan pria yang Anda hina itu, Pak Kenzi, adalah pemilik yayasan sekolah ini!"
Mata Bu Desi langsung membelalak. Wajahnya yang tadinya merah karena amarah, kini memucat pasi. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pemilik yayasan? Kenzi adalah pemilik yayasan? Kengerian langsung menyelimutinya.
Bu Mariam melanjutkan, nadanya penuh penekanan. "Saya peringatkan Anda, Bu Desi. Jika Anda masih berani membuat keributan dan menghina guru serta pemilik yayasan di lingkungan sekolah ini, saya tidak akan ragu memanggil polisi untuk mengusir Anda! Dan saya akan pastikan tindakan Anda ini akan diproses secara hukum!"
Ancaman Bu Mariam bagaikan tamparan keras bagi Bu Desi. Ia terdiam, tak mampu lagi berkata-kata. Wajahnya pucat pasi, ketakutan mulai merayapi dirinya. Kenzi menatap Bu Desi dengan sorot mata tak terbantahkan, seolah membenarkan setiap perkataan Bu Mariam.
****
Setelah kepergian Bu Desi yang penuh amarah, suasana di gerbang SMA Harapan Bangsa perlahan mereda. Novia masih berdiri mematung, tubuhnya gemetar, dan terisak menahan tangis. Ia merasa sangat malu atas semua keributan yang terjadi. Kenzi berdiri di sampingnya, tatapannya khawatir.
Bu Mariam, Kepala Sekolah, melangkah mendekat. Wajahnya menunjukkan empati yang mendalam. Ia tahu, Novia pasti sangat terpukul.
"Bu Novia, Anda tidak perlu malu," kata Bu Mariam lembut, menyentuh bahu Novia. "Ini bukan kesalahan Anda. Ada saja orang yang memang suka membuat keributan."
Novia mengangkat kepala, menatap Bu Mariam dengan mata sembab. "Bu Mariam... terima kasih banyak," ucapnya lirih, suaranya tercekat. "Terima kasih sudah membela saya." Ia lalu melirik Kenzi. "Dan terima kasih juga, Pak Kenzi. Kalian berdua sudah terlalu baik pada saya."
Bu Mariam tersenyum menenangkan. "Sudah menjadi tugas saya untuk melindungi guru-guru saya. Dan Pak Kenzi juga pasti melakukan hal yang sama." Ia menatap Kenzi, yang mengangguk setuju.
Bu Mariam menenangkan Novia dengan bijaksana. "Jangan biarkan perkataan mereka meruntuhkan semangat Anda. Anda adalah guru yang kompeten dan berdedikasi. Kami semua di sini percaya pada Anda." Ia mengusap punggung Novia lembut. "Sekarang, tenangkan diri Anda. Insiden seperti ini memang tidak mengenakkan, tapi itu bukan cerminan siapa Anda sebenarnya."
Kenzi juga ikut menenangkan Novia. "Dengarkan Bu Mariam, Novia. Mereka hanya ingin melihat Anda jatuh. Tapi Anda tidak boleh menyerah. Fokus pada hal-hal positif, pada pekerjaan Anda di sini."
Kata-kata dari Kenzi dan Bu Mariam bagaikan balsam bagi hati Novia yang terluka. Ia merasa ada dukungan yang begitu besar di lingkungan baru ini. Rasa malu masih ada, namun kini bercampur dengan rasa syukur dan kelegaan.
"Saya... saya sungguh tidak tahu harus berbuat apa tanpa kalian," ujar Novia, air matanya tak terbendung lagi. Ia menunduk malu karena terus-menerus menangis di depan mereka.
Novia menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Ia mengusap sisa air mata di pipinya. "Baik, Bu Mariam. Pak Kenzi. Saya... saya pamit pulang dulu."
Ia berbalik, hendak menuju motornya. Kenzi melangkah mengikutinya.
"Saya antar Anda," tawar Kenzi.
Novia menggeleng pelan. "Tidak perlu, Pak Kenzi. Saya bisa sendiri. Saya tidak ingin merepotkan Anda lagi." Ia merasa tidak enak jika terus-menerus diantar jemput, apalagi setelah kejadian dengan Bu Desi. Ia juga tidak ingin semakin menjadi perbincangan.
****
Jauh dari keramaian di gerbang SMA Harapan Bangsa, di dalam mobilnya yang terparkir agak tersembunyi, Januar menyaksikan seluruh drama itu. Ia melihat Bu Desi melabrak Novia, lalu Kenzi membela Novia, dan akhirnya Bu Mariam turun tangan, mengungkap fakta bahwa Kenzi adalah pemilik yayasan. Rupanya Januar melihat semua itu dari jauh.
Wajah Januar mengeras. Meskipun ia dan Novia sudah resmi bercerai, ia tak rela melihat Novia dekat dengan pria lain, apalagi pria kaya dan berkuasa seperti Kenzi. Kecemburuan membakar hatinya. Ia merasa harga dirinya tercabik-cabik. Novia yang dulu ia anggap tak berguna, kini bisa mendapatkan pekerjaan di sekolah elit dan dekat dengan pria berkelas. Kenyataan itu terasa seperti tamparan di wajahnya.
Januar menggebrak setir mobilnya. "Sialan! Kenapa harus dia?!" gumamnya kesal. Ia memutar kunci mobil dan melaju pergi dengan kecepatan tinggi, emosinya memuncak.
Ketika Januar tiba di rumah, suasana sudah menunggu. Diana, ibunya, sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah kesal. Ia pasti sudah mendengar kabar tentang keributan di sekolah, entah dari Bu Desi atau dari sumber lain yang cepat menyebar berita.
"Dari mana saja kamu, Jan?!" sembur Diana begitu Januar masuk. "Sudah Ibu bilang, jangan pernah lagi memikirkan perempuan itu! Dia itu hanya pembawa sial!"
Januar membanting kunci mobilnya ke meja. "Aku melihatnya, Bu! Novia bersama laki-laki itu lagi! Di depan sekolahnya!" Ia menceritakan kejadian itu dengan nada penuh amarah. "Dia bahkan sekarang mengajar di sekolah elit, Bu! Sekolah milik laki-laki itu!"
Diana langsung memarahi Januar, amarahnya meluap-luap. "Kamu ini bagaimana, Jan! Kenapa masih saja mengurusi sampah itu! Sudah Ibu bilang, dia itu tak berguna! Dia itu hanya akan membawa sial dalam hidupmu!"
Diana melangkah mendekati Januar, menunjuk putranya dengan jari telunjuknya. "Kamu ini masih saja cemburu, kan?! Cemburu melihat dia mendapatkan kehidupan yang lebih baik, padahal kamu yang menceraikannya! Kamu yang membuangnya!"
Januar menunduk, tak bisa membantah. Tuduhan ibunya menusuk tepat ke inti masalah. Ia memang cemburu.
"Dia itu mandul! Ingat itu, Jan! Dia tidak bisa memberimu keturunan!" Diana terus menekan. "Kamu sudah punya Karina sekarang! Karina yang cantik, yang sempurna, yang bisa memberimu cucu! Jangan buang-buang waktumu memikirkan perempuan seperti Novia lagi! Dia itu sampah!"