Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22 (Shoping day)
Sebuah toko khusus pakaian perempuan yang bertempatkan di salah satu mall besar Vanila sambangi.
Luar biasa megah hingga Vanila terkesima dengan keadaan di dalam sana.
Dan untuk pertama kalinya, Vanila berjalan dengan rasa percaya diri yang cukup baik. Uang pemberian Edgar tidak sedikit, tentu saja menjadi salah satu alasan.
Ini bukan pertama kalinya Vanila masuk tempat hiburan, tapi ini mall kalangan atas pertama yang Vanila datangi.
Ya, sesuai rekomendasi langsung dari Edgar.
Sebelum pada dress tidur yang Edgar minta, pertama-tama Vanila melipir ke arah dimana rok-rok pendek berbahan jeans tampak terlihat.
Vanila bukan tipikal orang yang suka berpakaian seksi, tapi entah kenapa keinginan itu timbul sekarang. Sosok yang bersembunyi di balik sifat lugunya seperti keluar, dan ingin menampakkan diri.
“Boleh, ada yang bisa saya bantu kak? Model, size, warna atau mix and match?”
Vanila yang sedang melihat-lihat langsung menoleh ke arah dimana seorang perempuan berperawakan tinggi kurus berada.
“Kira-kira yang cocok di saya size apa ya?”
“Sebentar,” katanya sambil menatap Vanila dari atas hingga bawah.
“Sekalian yang cocok buat atasannya ya, mbak. Tolong di carikan,” pintanya yang segera dijawab anggukan oleh shopkeeper.
“Atasannya kemeja ini bagus, gimana?” Dia mengangkat salah satu kemeja berwarna putih bersih.
“Boleh, boleh.”
Vanila menunggu dengan hati yang berdebar, rasanya sangat bahagia bisa sampai di titik ini, berbelanja sesuka hati tanpa ada beban apapun.
“Ada lagi, kak? Atau mau langsung saya antar ke fitting room?”
“Eee, … mbak tahu dress tidur?”
“Dress tidur?”
“Katanya buat suami gitu, saya ga paham sih. Malah di suruh tanya-tanya disini,” terang Vanila dengan wajah polosnya yang terlihat kebingungan.
“Kayak daster gitu?”
“Nggg, … sebentar saya tanya dulu!”
Vanila membuka tas selempangnya, lalu mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi ‘pak Edgar’.
Tuuuuttttt…
Suara sambungan telepon.
‘Ya, Van?’
Edgar langsung menjawab tanpa Vanila harus menunggu lebih lama. Sepertinya, pria itu sedang tidak terlalu sibuk.
“Dress yang bapak maksud daster?”
‘Daster? Apa itu?’
“Ya dress buat tidur, namanya daster.”
‘Nooo, … bukan itu. Tapi lingerie!’
“Lingerie apa?”
‘Minta saja sama pelayan toko, nanti mereka bantu.’
“Oh, oke oke. Saya tutup lagi ya telepon nya, maaf mengganggu!”
‘Van tunggu!’
“Bapak mau titip sesuatu?”
‘Saya pulang cepat malam ini, tunggu di kamar kita ya. Jangan lupa di pake nanti dress tidurnya!’
“Oh, oke.”
‘Satu lagi. Jangan beli yang tidak penting oke?’
“Eeee nggak sih. Cuma beli sesuatu yang dulu saya ga bisa beli, gapapa ‘kan?”
‘Apa?’
“Baju. Masih lihat-lihat sih, … kalo ga boleh aku—”
‘Ambil Van, tapi secukupnya uang yang saya kasih ya!’
“Dih, ngapain banyak-banyakan. Dua atau tiga aja sih,” ujar Vanila.
‘Baiklah, perlihatkan kepada saya nanti ya?’
“Hu'um.”
‘Oke bye, have fun ya!’
Setelah mengatakan itu, sambungan telepon segera terputus.
“Mbak, lingerie katanya.”
“Oh, ada. Kita punya model sama warna yang banyak,” jelas perempuan itu.
***
3 jam sudah Vanila habiskan, setelah selesai dengan urusan baju-bajunya. Dia bergegas kembali menghampiri Irgi yang betah menunggu di dalam mobil, sembari membawakannya satu cup minuman dingin.
Vanila tampak sangat ceria, raut wajah itu bahkan belum pernah Irgi lihat. Sementara Irgi, dia terkejut dengan tas belanjaan yang ditenteng oleh perempuan itu.
“Pak Irgi!” Dengan riang Vanila membuka pintu mobil.
Dia meletakan tas-tas belanjaannya di kursi belakang, setelah itu barulah menempatkan diri di kursi samping kemudi.
“Maaf agak lama,” kata Vanila seraya memberikan minuman dingin yang khusus ia beli untuk kepercayaan suaminya.
Yah, suami sementara.
Irgi menatap pemberian Vanila cukup lama dengan ekspresi yang entah harus bagaimana Vanila menjelaskannya.
“Agak?” Pekik Irgi sambil menerima cup minuman dari Vanila. “Lama banget Vanila, bukan agak!” Irgi sedikit sewot.
“Oh oke—” Ucap Vanila sambil merogoh tasnya.
“Bercanda, Van astaga!”
“Bener? Kalo keberatan juga gapapa bisa saya bilang pak Edgar biar—”
“Nggak Van, bercanda saya.”
Irgi menyimpan minumanya di konsol mobil, menurunkan rem tangan, mengatur persneling lalu beranjak dari tempat mobilnya parkir saat ini.
Sempat hening beberapa saat karena tidak ada obrolan apapun, akhirnya Irgi menanyakan beberapa hal sekedar untuk berbasa-basi.
“Uangnya habis, Van?”
“Nggak, masih ada sisa. Orang cuma beli baju kok!”
“Kenapa tidak dihabiskan? Kamu tidak bisa memanfaatkan sesuatu.”
Vanila yang awalnya memandang lurus kedepan mulai menoleh, menatap pria yang kini duduk di kursi kemudi.
“Uangnya harus dikembalikan?”
“Pak Edgar minta tidak?”
Vanila menggelengkan kepala, “Eh tapi ga tau sih, siapa tahu pas di rumah nanti nanyain ‘kan?” Vanila berujar.
“Biasanya sih nggak. Cuman kalau habis pak Edgar ga bakal kasih lagi,” jelas Edgar.
“Kalau gitu uangnya bisa aku simpan.”
Irgi tersenyum, menoleh sebentar lalu kembali pada lalu lintas di hadapannya.
“Kamu ini kenapa, Van? Hidup cuma sekali apa tidak mau bersenang-senang? Manfaatkan pak Edgar selagi bisa.”
Namun, dengan tegas Vanila menggelengkan kepala.
“Tadinya sih gitu, nafsu saya menggebu-gebu pas pegang uang sebanyak tadi. Pak Irgi tahu? Saya hampir tidak pernah berbelanja seperti ini, dan rasanya saya ingin membeli semua yang saya suka. Tapi kalau di pikir-pikir…”
Vanila menggantung kata-katanya, sampai membuat Irgi menoleh.
“Kenapa?”
“Saya takut ketergantungan, … saya ga tau bisnis berkedok suami istri ini bertahan sampai kapan. Setidaknya kalau tiba-tiba ditalak saya ga bakalan kaget nanti,” kata Vanila.
“Sejauh itu pikiran kamu?”
Vanila tidak menyahut.
“Jangan pakai hati, Van.”
“Saya ga jamin bisa, pak. Ini sangat sulit bagi orang-orang seperti saya, … anak perempuan yang kurang kasih sayang terutama dari ayah.”
“Maksudnya?”
“Saya haus kasih sayang, di manja dikit luluh. Dibaikin dikit terbang, … saya juga ga yakin bisa lepas gitu aja nanti, pasti ada masa-masa move on apalagi sekarang saya sudah mulai terbiasa dengan pak Edgar.”
“Kamu suka sama pak Edgar? Bukannya kemarin-kemarin kamu takut ya?”
“Siapa sih yang ga suka hidup enak, pak. Bisa makan dan beli apa aja. Hidup nyaman, tidur enak ga harus capek kerja sambil dibentak-bentak orang.”
Irgi mencerna setiap kata yang Vanila ucapkan dengan baik.
“Pak Irgi jangan cepu ya!”
“Saya ga bocor, Van.”
“Ya awas aja kalo bocor. Saya tambal mulut bapak pake semen!”
“Heh, sembarangan.”
“Ah iya saya lupa, besok ktp nya sudah selesai. Minta alamat rumah, pak.”
“Kirim nomor bapak-bapak itu saja, biar semuanya saya yang urus nanti. Kamu terima beres udah,” seru Irgi.
“Oke, makasih udah mau direpotin.”
“Kamu harus bujuk pak Edgar buat naikin gaji saya sih, Van!” Irgi tertawa.
“Dih ga berani, pak Irgi aja yang bujuk. Bapak kan pegawai lamanya!”
“Tapi kamu istrinya.”
“Alah ga ngaruh, cuma istri sementara kok. Nanti udah bosen juga pasti dihempaskan kayak bookingan yang lain.”
“Kalo nggak?”
“Ga mungkin sih!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jangan lupa like, komen, kopi dan vote😘 bonus ketemu pak Edgar 😋