Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Jejak Bukti di Tubuh yang Rapuh"
Langkah kami berdua bergema pelan di jalanan kota yang mulai ditinggalkan malam. Waktu merangkak menuju dini hari, menapaki tahun yang baru dengan keheningan yang lirih. Kendaraan masih ramai melintas, seperti kilas bayang-bayang yang tak ingin benar-benar tinggal.
Angin berhembus tajam, menusuk kulit, dan menyusup ke tulang. Liana menggigil kecil. Dress yang dikenakannya tak cukup melindungi tubuh dari dinginnya awal Januari. Tanpa berkata panjang, Johan melepas jaketnya, lalu menyampirkannya ke pundaknya.
“Pakailah ini. Nanti kamu masuk angin,” katanya, tenang tapi tak bisa ditawar. Suaranya seperti perintah lembut yang lahir dari kepedulian.
Liana menoleh, menatapnya sejenak. Senyumnya muncul tipis, seperti embun yang menetes dari ujung daun. Ia meraih jaket itu, memeluk kehangatan yang tertinggal di dalamnya.
“Terima kasih, Jo...” bisiknya.
Mereka baru saja meninggalkan panti jompo. Sang penjaga mengantar sampai pagar, dengan lambaian tangan dan doa-doa yang tak diucapkan. Kini, jalanan yang mereka tapaki membawa mereka pulang. Ke rumah sakit. Ke kenyataan yang masih menunggu dilipat perlahan.
“Ternyata... menyambut tahun baru di kota bisa seindah ini, ya,” gumam Liana. Matanya menatap ke atas, ke sisa-sisa percikan cahaya yang masih menari di langit. Kembang api terakhir mekar seperti bunga yang enggan layu.
“Aku jadi teringat Broto... juga ayah angkatku,” ucapnya lagi. Suaranya bergetar, entah karena udara dingin, atau karena rindu yang tiba-tiba menggugah. “Tadi, saat di panti... aku merasa seperti anak kecil yang kehilangan rumahnya.”
Johan menoleh perlahan. Cahaya lampu jalan memantul di wajahnya. Ada kesunyian yang ikut tumbuh di matanya.
“Iya, Li... Aku juga teringat ayah dan ibu. Mungkin itulah sebabnya aku ingin merayakan malam ini di sana. Kadang, rindu datang tanpa undangan. Tapi ia masuk, mengetuk hati tanpa suara.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Soal ayah angkatmu... Kamu masih bisa menjenguknya, kan? Dia masih di penjara kota ini. Kalau kamu sudah kuat, aku akan antarkan. Dan... makam Broto juga tak jauh dari sini. Kita bisa ke sana bersama.”
Liana mengangguk kecil, lirih. Lalu ia berkata pelan, “Aku terus teringat kata-kata terakhir Broto, Jo. Kalimat itu terputus. Tapi rasanya... seperti petunjuk. Seperti benang merah yang belum sempat kususuri sampai ujung.”
Johan menarik napas dalam-dalam. Malam terlalu tenang untuk membicarakan misteri, tetapi ia mencoba menenangkan.
“Sudahlah, Li. Sembuhkan dulu tubuhmu, tenangkan hatimu. Nanti kita urai benang itu pelan-pelan. Mungkin... ayah angkatmu punya jawabannya. Atau mungkin... jawabannya datang di waktu yang tepat.”
Mereka kembali diam. Hanya suara langkah kaki dan gemuruh kembang api terakhir yang memudar di kejauhan. Seolah dunia ikut menunduk, memberi ruang bagi dua jiwa yang masih belajar menyembuhkan luka.
Tepat pukul satu dini hari, mereka sampai di halaman rumah sakit. Lampu-lampu redup menyambut mereka, seolah berkata: selamat kembali ke realita.
Johan mengantar Liana sampai ke depan kamarnya. Ia menatapnya sebentar sebelum berkata ringan, “Aku tidur di kamar Kalmi saja, ya. Di sana ada sofa. Cukup untuk beristirahat.”
Liana hanya mengangguk. Tak banyak kata, tapi cukup untuk mengerti. Setelah berpamitan, Johan melangkah menuju kamar Kalmi. Di belakangnya, malam perlahan menutup tirai. Dan tahun baru benar-benar dimulai.
Udara pagi mengendap di kamar itu, dingin dan sunyi. AC disetel pada suhu dua puluh derajat Celsius, cukup membuat selimut menjadi satu-satunya pelarian dari udara yang menggigit. Jam telah menunjukkan pukul delapan, namun Johan masih terpejam, membiarkan waktu berlalu dalam diam. Ia sebenarnya sudah terbangun sejak pukul enam. Tapi ketika pandangannya jatuh pada Kalmi yang masih terbaring dengan infus menusuk punggung tangannya, Johan memilih untuk kembali menyelam ke dalam kantuk—seolah-olah tidur bisa menahan waktu agar tak bergerak terlalu cepat.
Tidur bukan untuk beristirahat. Tapi untuk bertahan.
Namun pagi tidak membiarkan keheningan itu terlalu lama bertakhta.
“Jo, Jo, Jo! Bangun! Kalmi udah sadar, Jo!” suara perempuan membelah sunyi. Suaranya begitu riuh, seperti matahari yang memaksa embun menguap dari pucuk daun.
Tubuh Johan diguncang kuat. Setengah sadar, ia mengusap wajahnya, mencoba meraih kembali kesadarannya yang masih tercecer.
“Eh... Desi? Kamu udah sampai? Sekarang giliran kamu jaga Kalmi, ya...” gumamnya sambil menguap, lalu memutar badan, hendak kembali masuk ke dalam pelukan bantal dan selimut.
Tapi Desi bukan perempuan yang mudah dikalahkan oleh kantuk. Ia membuka botol minumnya, lalu tanpa ragu menyiramkan air dingin ke wajah Johan.
“Astaga! Apa ini?!”
Johan terlompat. Matanya melebar. Dunia seperti disetrum cahaya.
Tawa Kalmi pecah. Ringkih tapi jujur. Tawa itu adalah musik paling indah yang pernah menghiasi kamar itu selama beberapa hari terakhir. Johan menoleh, dan saat matanya bertemu mata Kalmi—senyum lemah tapi penuh cahaya—ia langsung membatu.
Matanya berkaca.
“Anjing lu, Mi... Lama banget sadar. Bikin gue ngerasa bersalah terus...” Suaranya patah-patah. Tapi tangan mereka bertemu dalam tos kecil yang terasa seperti perayaan atas kehidupan itu sendiri.
“Hahaha! Baru sadar aja udah bikin ketawa lu, Jo. ‘Astaga, apa ini?’—mukanya tuh lho!” Kalmi menirukan ekspresi Johan barusan. Gaya suaranya, mimiknya, membuat Desi tergelak, sampai menutup mulut menahan tawa.
“Sialan lu, Mi...” Johan ikut tertawa. Tawa yang basah oleh lega. Untuk pertama kalinya, dalam beberapa hari terakhir, mereka tertawa bersama. Tanpa beban. Tanpa gelisah. Seolah seluruh duka yang pernah singgah, tiba-tiba menjadi ringan.
Setelah tawa reda, Kalmi membuka suara dengan nada rengek yang sengaja dibuat manja, “Yang... beliin Kami sarapan, ya. Empat hari cuma makan infus. Laper banget, sumpah.”
Desi mengusap pipi Kalmi dengan lembut. Matanya berbinar. “Kasihan banget kami-ku... Aku beliin, ya. Tunggu sebentar, kami sayang.”
Johan yang duduk di sisi ranjang langsung menyambar, tak mau melewatkan kesempatan bermain kata.
“A-an juga nitip ya, Des... A-an dua porsi... laper banget... coalnya...” katanya menirukan gaya manja Desi. Suaranya dibuat melengking, dan ekspresinya dibuat semanis mungkin.
Desi menatapnya dengan ekspresi geli. “Jijik banget, Jo. Serius. Jijik banget.”
Johan tertawa lepas. “Apalagi gue, Des. Dengerin kalian ngobrol begituan bertahun-tahun. Kuping gue udah kayak saringan tahu bulat—kebal!”
Tawa mereka kembali pecah, lebih keras dari sebelumnya. Tawa yang bukan sekadar lucu, tapi juga tawa yang melepaskan. Seolah semua luka yang pernah ada, perlahan menguap lewat senyum yang tumbuh tanpa paksaan.
Desi akhirnya pamit, melangkah pergi mencari sarapan. Meninggalkan Johan dan Kalmi dalam keheningan yang kini terasa lebih ringan—seperti dua sahabat yang tahu, setelah badai, hidup selalu punya cara untuk mempertemukan kembali tawa dan air mata.
Setelah langkah Desi menghilang di balik pintu, keheningan kembali mengambil alih ruangan. Cahaya pagi menembus tirai, jatuh lembut di lantai yang dingin. Kalmi menghela napas perlahan. Sorot matanya berubah. Serius, tajam, seperti menyimpan sesuatu yang telah lama terpendam.
“Jo,” ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan angin. “Gimana situasi sekarang? Dalangnya udah ketahuan, kan? Apa pejabat-pejabat busuk itu udah diadili?”
Pertanyaan itu membuat Johan mengerutkan dahi. Dadanya bergemuruh. “Loh… Kok lu tahu, Mi, kalau terduganya pejabat? Itu belum dipublikasikan. Polisi masih kumpulin bukti, statusnya aja belum tersangka. Masih jauh dari vonis.”
Kalmi tersenyum. Tipis saja. Tapi ada riak ketegangan di balik lengkungannya. “Bukan satu orang, Jo. Banyak. Dan mereka bukan pejabat ecek-ecek. Namanya dikenal, dipuja, dielu-elukan di layar kaca dan baliho pinggir jalan.”
Johan menatapnya lekat, seolah berusaha membaca isi pikirannya. “Terus, lu bisa tahu dari mana semua itu, Mi?”
Kalmi diam sejenak. Seperti menyusun potongan-potongan luka dalam ingatannya. “Gua cerita, ya. Ingat waktu gua dikejar harimau Sumatra itu?”
Johan mengangguk pelan. Kenangan itu kembali menghantam pikirannya. Hutan. Gelap. Jeritan. Dan akhirnya, kehilangan.
“Waktu itu gua lari, Jo. Nggak jelas arah. Kepala gua berdarah, tapi gua nggak peduli. Senter kecil dan kamera gua kalungin di leher—dua benda itu yang nyelametin gua, entah gimana. Setelah suara harimau menghilang, gua mulai tenang. Tapi gua makin jauh, makin masuk ke hutan.”
Kalmi berhenti sejenak, menatap langit-langit. Suaranya berubah lembut. “Subuh menjelang. Kabut belum bubar sepenuhnya, dan di balik semak itu, gua lihat... pemukiman. Tapi bukan pemukiman biasa. Orang-orang bersenjata, para pekerja yang dipaksa. Gua takut, Jo. Banget.”
Ia menarik napas. “Gua sembunyiin kamera dan senter di semak. Lalu pura-pura pingsan dekat ladang ganja mereka.”
“Pura-pura?” Johan bertanya, meski tidak menginterupsi terlalu keras.
Kalmi mengangguk. “Iya. Mereka nemuin gua, bawa ke bosnya. Waktu itu, gua denger si bos nelepon seseorang. Nada suaranya tunduk. Artinya dia cuma pion. Orang yang ditelepon itulah yang ngatur semuanya.”
Johan mengernyit. “Lalu?”
“Gua akting. Gua pura-pura lupa ingatan. Mereka percaya. Gua disuruh kerja. Sama kayak petani-petani lain yang entah diculik dari mana. Tapi gua dengar, gua lihat. Mereka pikir gua nggak tahu apa-apa.”
Diam sejenak. Lalu Kalmi melanjutkan dengan suara yang lebih dalam.
“Malam harinya, gua nyusup ke tempat penyimpanan. Kamera yang gua sembunyiin sebelumnya gua ambil. Gua potret semua. Peta ladang ganja di seluruh Sumatra. Lengkap. Nama pemilik. Lokasi. Termasuk satu nama yang mencuat di Sumatra Barat: Mulyono.”
Johan menggenggam selimut, matanya membelalak. “Terus kamera itu sekarang di mana? Jangan bilang masih di hutan, Mi... Itu bukti penting banget!”
Kalmi mendesah, menatap Johan dengan geli. “Makanya, Jo. Jangan nyela dulu kalau gua belum selesai.”
“Maaf, maaf. Gua cuma... penasaran.”
Kalmi mengambil gelas, menyesap air. Lalu menatap jendela, seakan melihat ulang malam itu.
“Pas selesai motret, gua denger langkah kaki. Gua panik. Kamera gua lepasin, gua ambil SD card-nya, terus kamera gua lempar jauh-jauh. Gua balik ke tempat tidur seolah nggak ada yang terjadi.”
Ia tertawa getir. “Tapi paginya... mereka nemuin kamera itu. Pemeriksaan dimulai. Dan gua? Gua udah tahu, gua bakal jadi sasaran.”
“Terus?”
“Jo,” katanya lirih, “gua telan SD card itu.”
Johan ternganga. “Lu... lu telan?!”
Kalmi mengangguk tenang. “Iya. Gua nggak sempat sembunyiin di tempat lain. Satu-satunya tempat paling aman adalah... ya, tubuh gua sendiri.”
Johan terkekeh kecil, mencoba mengalihkan suasana. “Jadi sekarang bukti itu ada di dalem perut lu?”
“Masih. Gua belum makan apa-apa sejak itu, kan. Infus doang. Belum ke kamar mandi juga.”
“Hahaha! Berarti kalau Desi bawain sarapan, lu nggak boleh makan dong. Ntar bukti penting malah keluar jadi tai.”
Kalmi ikut tertawa. “Biarin, Jo. Kalau jadi tai, paling nggak polisi dapet tantangan dikit. Hidup kan emang penuh rintangan.”
Tawa mereka mengisi ruangan, hangat, jujur, seperti pelukan lama yang akhirnya tiba.
Tapi tawa itu terpotong suara pintu yang terbuka pelan. Seorang dokter masuk, raut wajahnya datar tapi tegas.
“Ssst. Ini rumah sakit. Tolong jaga ketenangan,” tegurnya.
“Maaf, Dok,” ujar Johan lirih.
Setelah sang dokter pergi, Kalmi kembali bersandar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu berkata pelan:
“Jo... gua ngerasa bukti itu belum cukup. Gua yakin... ada yang lebih gelap dari sekadar ladang ganja.”
Johan menatapnya lekat. “Maksud lu?”
Kalmi membuka mata. “Perdagangan manusia.”
Ruangan seketika terasa lebih dingin.
“Gua belum yakin. Tapi indikasinya ada. Kalau dugaan gua bener, maka mereka layak dapet lebih dari sekadar hukuman penjara. Bahkan hukuman mati pun mungkin belum cukup membayar luka yang mereka timbulkan.”
Johan menatap Kalmi dalam-dalam. Tak ada tawa kali ini. Hanya keheningan panjang yang tak sanggup dibunuh oleh kata-kata.
Johan terdiam. Kata-kata Kalmi menggantung di benaknya, menancap seperti duri kecil yang sulit dicabut. Tatapannya kosong menembus dinding kamar, seolah hendak mencari jawaban di balik tembok sunyi itu.
“Lalu... bagaimana, Mi?” gumam Johan akhirnya, pelan, nyaris seperti bisikan. “Kartu memori itu... Haruskah kita segera lapor polisi?”
Kalmi menggeleng pelan. Di matanya ada kilau kehati-hatian, dan di suaranya tersimpan beban yang tak ringan.
“Belum, Jo. Jangan dulu. Firasat gua bilang, belum waktunya. Ada bau busuk yang tersembunyi di balik seragam dan pangkat. Gua yakin, pengkhianat itu mungkin saja duduk nyaman di ruang rapat penyidik. Lawan kita bukan tikus kecil di sudut lumbung. Ini... raja tikus, Jo. Dan pasukannya sudah menguasai seluruh lumbung—merambah setiap sudut pemerintahan.”
Johan mengangguk perlahan. Ada luka yang tersembunyi di wajahnya, tapi juga ketegasan yang mulai tumbuh di matanya. “Kalau begitu, gua yang akan urus. Operasi pengambilan kartu memori itu. Lu tinggal bilang kapan siap. Kita ambil semuanya, Mi. Kita bawa cahaya untuk semua kegelapan yang mereka sembunyikan.”
Kalmi menatap sahabatnya, mata mereka bertemu dalam diam yang sarat makna. “Besok, Jo. Kalau bisa, besok. Biar semua segera selesai. Gua lelah hidup dalam bisu.”
Johan menggenggam tangan Kalmi, erat, lalu mengangguk. “Oke. Gua akan temui dokter bedah. Pastikan semuanya aman buat lu.”
Namun sebelum ucapan itu sempat mengering di udara, pintu kamar mendadak terbuka. Desi masuk, aroma lontong gulai Padang menguar bersama kehadirannya. Kehangatan pulang kampung seolah ikut masuk bersamanya.
“Wah... serius amat kalian. Kayak lagi nyusun taktik perang aja,” katanya ringan, sambil meletakkan kantong plastik berisi makanan di atas meja kecil.
Johan tersenyum, senyuman yang mencoba menyembunyikan badai. “Ini, Des... ngobrolin biaya pernikahan kalian. Si Kalmi kayaknya belum siap nikah cepat-cepat.”
“Ah, bohong dia,” sela Kalmi, cepat dan tegas. “Apa pun yang terjadi, kita tetap nikah tahun ini, Des. Gua janji.”
Desi tersenyum, lembut, seperti mentari yang muncul malu-malu di balik awan gelap. “Aku percaya, Mi. Mana mungkin aku percaya sama si Johan, tukang bikin skenario.”
Tawa kecil keluar dari bibir mereka, ringan tapi hangat. Untuk sejenak, dunia yang kelam di luar kamar rumah sakit itu seolah berhenti berputar.
“Ayo makan dulu,” ajak Desi.
“Dasar bucin akut,” goda Johan, suaranya kembali ringan.
Kalmi dan Desi saling melirik, lalu menjawab serempak, “Iri bilang, bos!”
Dan di balik tawa itu, tersembunyi kekuatan besar. Bahwa cinta dan persahabatan—meski tampak sederhana—bisa jadi senjata paling kuat melawan segala kejahatan yang bersembunyi di balik topeng kuasa.