NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:528
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Gelap. Hening. Lalu...

Bzzzztt!

"ARGH! Sumpah, rasanya kayak dicabut dari stop kontak," Lyra merintih, tubuhnya terlempar keluar dari Void Core kayak popcorn dari microwave. Rambutnya berantakan, jubahnya sobek, dan tombaknya... tombaknya masih utuh, meski sekarang bersinar kayak benda sakral yang baru keluar dari salon.

Kaelen langsung nyamperin, napasnya ngos-ngosan. "Lu hidup! Gue kira harus nyanyi lagu pengantar arwah!"

Lyra batuk. “Gue juga kira bakal jadi abu. Tapi ternyata... nggak.”

Di sekitar mereka, reruntuhan altar Void perlahan-lahan berubah. Udara yang tadinya terasa berat dan penuh tekanan kini terasa ringan, bahkan hangat. Langit yang kelam berubah keperakan. Kabut menghilang. Dan tubuh Nocthras?

Lenyap. Enggak ada suara ledakan dramatis atau hujan meteor. Cuma... hilang. Seperti dia nggak pernah ada.

Arven berdiri agak jauh, memandangi langit yang perlahan membuka, menunjukkan cahaya di balik awan—sebuah langit yang belum pernah terlihat sejak Aedhira runtuh dalam bayangan.

“Jadi... dia beneran hilang?” tanya Lyra sambil jalan tertatih.

Arven mengangguk pelan. “Void Core sudah dinetralisir. Tapi... tidak sepenuhnya dihancurkan. Hanya ditidurkan. Dan kamu... kamu yang menguncinya dari dalam.”

Kaelen menatap Lyra. “Gila. Berarti lu sekarang... pahlawan Aedhira dong?”

Lyra nyengir. “Jangan bilang itu keras-keras, nanti gue dikirimin undangan podcast.”

Tiba-tiba, suara lembut terdengar di udara. Sebuah nyanyian. Gaib. Lembut. Kayak... harapan yang lama terlupakan.

Dari balik cahaya, muncul siluet. Satu. Dua. Tiga.

“Lho... itu...” Lyra menyipitkan mata.

Kaelen menelan ludah. “Dewa-Dewa Aedhira.”

Arven menarik napas dalam. “Mereka kembali.”

Sosok-sosok itu—entitas cahaya murni—melayang pelan ke arah mereka. Satu di antaranya menyentuh bahu Lyra. Tubuh Lyra bergetar, seperti disentuh oleh listrik dan kenangan sekaligus. Suara perempuan terdengar di dalam benaknya.

“Kau telah membuka gerbang harapan. Aedhira akan terlahir kembali.”

Lyra menatap Arven, lalu Kaelen. "Kayaknya kita barusan jadi bagian dari legenda yang bakal dipelintir ratusan kali sama bard keliling."

Kaelen nyengir. “Gue cuma harap versi bard-nya nggak bilang gue kabur ketakutan.”

Tapi sebelum mereka bisa tertawa, langit terbuka lebih lebar. Sebuah lorong muncul—menuju... dunia atas.

“Jadi ini... jalan pulang?” tanya Lyra pelan.

Arven menatap langit itu, lalu kembali menatap tanah. “Pulang... belum tentu ke dunia kita. Tapi mungkin... ke tempat baru. Aedhira yang baru.”

Lyra berdiri, gemetar, tapi kuat. Dia memandangi reruntuhan, lalu langit, lalu wajah-wajah lelah di sekitarnya.

“Yuk, jalan. Kalau kita mati lagi, setidaknya kita mati dengan keren.”

Kaelen tertawa pendek. “Dan semoga nggak pakai bos terakhir edisi ‘re-run’.”

Tiga sahabat itu berjalan menuju cahaya, tak tahu apa yang menanti di sisi sana. Tapi untuk pertama kalinya... langkah mereka ringan.

Karena kegelapan telah dipatahkan.

Dan Aedhira... perlahan mulai bernapas kembali.

Sementara Lyra, Kaelen, dan Arven berjalan menuju cahaya yang menyambut mereka bak bonus akhir bulan, tidak semua orang menyambutnya dengan ringan. Di sisi lain reruntuhan, para penjaga Aetherian, para makhluk yang selamat dari kehancuran, dan para roh yang selama ini tersekap di antara dunia hidup dan mati—semua menyaksikan langit membuka.

“...Apakah ini berarti kita bebas?” tanya seorang gadis muda dengan wajah bercahaya samar.

“Aku tidak tahu,” jawab seorang lelaki tua, mengenakan jubah compang-camping. “Tapi rasanya seperti... kita bisa memilih sekarang.”

Di dekat altar Void yang sekarang menjadi pusaran energi damai, Rania—penjaga altar yang selama ini tersembunyi—berlutut, menatap tangannya yang kini perlahan berubah dari kabut menjadi kulit.

“Aku hidup... lagi?” bisiknya, suaranya hampir tak percaya.

Dari kejauhan, seorang pria berambut perak berdiri diam. Wajahnya dikenal oleh banyak orang, meskipun tak satu pun menyebut namanya. Dialah Faerun, mantan penjaga waktu yang pernah mengkhianati Aedhira... dan lalu menebusnya.

Ia tersenyum kecil, melihat ke arah Lyra dan kawan-kawannya yang makin jauh. “Mereka yang membakar jembatan... kadang adalah juga yang membangun jalan pulang,” katanya pelan, lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh. Mungkin untuk memulai lagi. Atau menghilang selamanya.

Sementara itu...

Di sisi bawah dari celah dimensi—yap, literally bawah, karena kayak lorong sempit ke dimensi lain—dua bayangan kecil memantul-mantul, berusaha keras naik.

“Argh, si Lyra jahat banget! Gue udah bilang jangan aktifin Void-nya sendiri!” keluh suara cempreng.

“Kamu sih ikut tidur di jam krisis. Udah tahu dunia hampir tamat!” jawab yang lain dengan suara lebih tinggi.

Dua makhluk kecil itu, kelinci berduri bernama Pim dan burung bulat bernama Sol, baru saja berhasil menghindari kehancuran total karena... yah, mereka ketiduran di pojok gua terlarang.

“Kita harus nyusul mereka!” kata Pim, sambil ngegas pakai kupingnya.

“Ya... tapi lu tau nggak sih, itu portalnya di mana?” tanya Sol.

Keduanya berhenti, memandangi langit bercahaya yang sekarang terlihat kayak aurora borealis dikawinkan sama spiral galaksi.

Pim: “...Kita tersesat ya?”

Sol: “...Kita tersesat.”

“Great.”

Tapi sementara mereka terdampar (lagi), dunia perlahan mulai bergeser. Dimensi-dimensi yang saling menindih mulai menyatu kembali. Kabut memudar. Tanah yang hancur mulai tumbuh retakan cahaya. Dan nyanyian... nyanyian itu belum berhenti.

Seperti doa kolektif dari seluruh jiwa Aedhira yang selama ini bisu.

 

Di Lorong Cahaya

Lyra melangkah ragu. “Guys... ini kayak lorong rumah sakit, tapi versi langit. Agak creepy.”

Kaelen, yang bawa senyum sok berani, berkata, “At least nggak bau antiseptik.”

Arven, tentu saja, tetap cool. Tapi kali ini... dia mulai bicara lebih banyak.

“Lorong ini bukan menuju dunia lama kita. Tapi menuju Aedhira Baru. Dunia yang tercipta dari kehendak dan pengorbanan.”

Lyra mendengus. “Maksud lu... kita gabisa balik ke bumi?”

“Bumi?” Arven mengerutkan dahi. “Lyra, kita itu nggak pernah di bumi sejak Bab 1.”

“Oh... iya ya.” Lyra garuk kepala. “Lupa timeline.”

Mereka terus berjalan. Lorong itu terasa tidak berujung, tapi setiap langkah menghapus sedikit luka dari tubuh mereka. Jubah robek menjadi utuh. Luka kering menghilang. Bahkan rambut Kaelen, yang sempat kena api Void dan jadi setengah botak, sekarang tumbuh lebat kayak aktor iklan sampo.

“Woi! Rambut gue balik!” teriak Kaelen girang.

“Untung rambut doang. Jangan sampai ego lu juga tumbuh segede galaksi,” cibir Lyra.

Langkah terakhir membawa mereka ke pintu bercahaya yang tidak biasa. Bukan emas, bukan besi, tapi... kristal transparan yang berdenyut seperti jantung.

Arven menatap mereka. “Begitu kita masuk, tidak ada jalan kembali.”

Lyra menatap pintu itu. “Gue udah nggak nyari jalan kembali. Gue nyari tempat baru buat mulai hidup.”

Kaelen mengangguk. “Selama ada nasi dan tidur yang nyaman, gue ikut.”

Arven tersenyum kecil. “Kalau begitu... mari kita buka dunia yang baru.”

Begitu tangan Lyra menyentuh permukaan pintu kristal itu, sebuah nada terdengar. Bukan bunyi ‘klik’ atau ‘krak’ ala film action, tapi nada... seperti senar kecapi dipetik satu-satu di dalam kepala mereka.

Diiinnngggg…

“Gue... ngerasa kayak baru aja di-reboot,” gumam Kaelen sambil meletakkan tangan di dada.

Lyra mengangguk pelan. “Hati gue... kayak dikasih password baru.”

“Apakah... ini artinya kita harus update software sebelum lanjut?” tanya Kaelen serius, tapi dengan nada kayak anak teknisi IT lagi kebanyakan shift.

“Kaelen,” Lyra menyipitkan mata. “Ini bukan Windows.”

Pintu perlahan terbuka, bukan dengan mekanisme, tapi dengan... kesadaran. Kayak dia tahu siapa yang layak masuk. Udara dari dalam menyeruak. Tidak hangat, tidak dingin. Tapi terasa... murni.

Dan pemandangan di balik pintu—oh, itu bukan dunia yang mereka kenal.

Bumi tidak sejauh itu indah. Langit tidak sekristal itu. Awan berkilau seperti cahaya kutub utara yang dimasukkan ke blender lalu ditebar ke atmosfer. Tanahnya bukan tanah biasa. Ia berdenyut pelan, penuh energi. Pohon-pohon menjulang tinggi, akar-akarnya bersinar lembut seperti jalur cahaya di dalam tubuh.

“Ini...” Lyra menahan napas. “...Aedhira Baru?”

Arven mengangguk. “Dunia yang terlahir dari kehendak mereka yang memilih harapan ketimbang kehancuran.”

Kaelen langsung jatuh duduk di rerumputan yang kayak bulu domba glowing. “Bro... ini rumput terenak yang pernah gue duduki. Bahkan ngalahin sofa empuk rumah tante gue yang anak sultan itu.”

Arven tertawa pelan, sebuah suara yang jarang mereka dengar dari lelaki itu. “Itu karena dunia ini belum punya luka. Belum ada konflik. Belum ada dosa. Dunia ini... kosong.”

Lyra perlahan menoleh. “Lalu... apa tugas kita di sini?”

Arven menatap jauh ke cakrawala, di mana sinar berbentuk pilar menembus langit. “Membangunnya. Dari awal. Menanam, melindungi, mengajar... dan memastikan kehancuran seperti sebelumnya tidak pernah terjadi lagi.”

Dan tiba-tiba, suara keras menggema dari balik langit. Bukan suara ledakan, bukan juga teriakan. Tapi suara… tertawa.

“Tunggu, lo denger itu gak?” Kaelen berdiri, waspada.

Lyra menarik napas. “Tolong bilang itu cuma suara burung bahagia... atau... badut yang lagi siaran radio.”

Tapi langit mulai bergelombang. Cahaya berubah warna. Dari putih lembut menjadi merah... lalu ke ungu gelap. Sesuatu muncul dari dalam langit, seperti ditarik keluar dari lukisan.

“Seseorang... menembus batas dimensi lain,” kata Arven pelan.

Dan dari sana, sosok muncul. Bukan raksasa. Tapi... anak kecil. Perempuan. Dengan rambut pendek, dan mata yang... tidak punya pupil.

“Siapa itu?” tanya Kaelen, setengah mundur.

Sosok itu tersenyum.

“Aku... adalah bagian dari dunia lama yang tidak bisa kalian hapus.”

Lyra menegang. “Void...?”

Anak itu mengangguk. “Tapi bukan Void yang kalian kenal. Aku adalah bentuk barunya. Aku adalah emosi, keraguan, trauma... yang kalian tinggalkan saat membangun dunia baru. Dan aku menolak... dilupakan.”

Dan boom. Oke. Dunia utopia mereka yang baru terbentuk dalam lima menit terakhir—langsung kena alarm kerusakan.

Langit bergemuruh. Tanah bergetar. Energi yang tadi damai... mulai retak.

Arven menggertakkan gigi. “Dia... tidak ikut masuk lewat pintu ini. Dia menyelinap dari celah dimensi yang terbuka tadi. Seharusnya aku menutupnya.”

Lyra berdiri tegak. “Kita gak bisa biarin dia ngacak-ngacak tempat baru ini.”

Kaelen menyalakan pedangnya, kali ini dengan aura yang lebih tenang. “Oke... round dua. Tapi kali ini, kita punya harapan.”

Arven mengangguk. “Dan tanah yang bisa kita lindungi.”

Mereka bertiga melangkah maju, berdiri di depan Void versi mini itu—yang, ironisnya, tampak kayak anak TK yang baru ditolak masuk taman bermain. Tapi aura di sekelilingnya... tetap bikin bulu kuduk berdiri.

“Ini bukan tentang mengalahkan,” kata Lyra pelan. “Tapi tentang menyembuhkan.”

Sang Void tertawa sinis. “Kalau kalian bisa.”

Sosok Void kecil itu berdiri beberapa meter dari mereka, matanya yang tanpa pupil memandangi Lyra seperti sedang nonton film drama keluarga yang terlalu manis sampai bikin mual. Senyumnya—yah, terlalu lebar buat ukuran bocah lima tahun.

“Aku diciptakan dari rasa takut kalian,” katanya, suaranya bergema aneh, kayak suara Siri yang kemasukan batin.

Kaelen mencolek Lyra pelan. “Gue serius, ini anak kecil paling serem yang pernah gue lihat. Bahkan lebih serem dari sepupu gue yang hobi gigit orang.”

“Fokus, Kaelen,” gumam Lyra, menatap lurus ke arah Void. “Kita harus tahu kenapa dia muncul, dan bagaimana dia bisa masuk ke sini.”

Void mengangkat tangannya, dan tanah di sekitar mereka berubah bentuk. Tiba-tiba muncul fragmen—potongan ingatan mereka. Dari masa lalu.

Potongan 1: Lyra. Saat ia ditinggalkan ibunya. Suara pintu tertutup. Isak tangis kecil di balik selimut. Kesepian.

Potongan 2: Kaelen. Ayahnya memalingkan wajah, menyebutnya ‘lemah’. Kaelen remaja menahan amarah, tapi matanya berkaca-kaca.

Potongan 3: Arven. Tubuh kakaknya yang terbunuh karena kesalahan strategi yang ia buat. Dan darah. Banyak darah.

Void tertawa pelan. “Kalian tidak bisa membangun dunia tanpa fondasi rasa sakit. Aku... adalah warisan kalian.”

Arven menghunus pedang, tapi Lyra menahan tangannya. “Kita gak bisa sembarangan nyerang. Dia bukan cuma ‘makhluk’. Dia cerminan.”

Kaelen memijit pelipis. “Oke, jadi kita ngelawan trauma kita sendiri... dalam bentuk anak kecil psikopat. Serius banget kayak sesi terapi grup ekstrim.”

Void mulai melepaskan energi dari tubuhnya. Tanah bergetar. Langit berubah warna—kali ini jadi hitam pekat dengan kilatan petir merah muda (iya, merah muda, kayak glitter beracun).

Tiba-tiba, dari tanah muncul bayangan-bayangan yang menyerupai makhluk. Tapi bukan monster biasa. Mereka adalah versi gelap dari Lyra, Kaelen, dan Arven.

Lyra-Gelap berdiri dengan mata kosong, berkata, “Kau pengecut yang selalu kabur dari tanggung jawab.”

Kaelen-Gelap menatapnya dengan senyum mengejek. “Bahkan setelah semua kekuatanmu, kau tetap butuh validasi.”

Arven-Gelap hanya diam... tapi matanya—mata itu menyimpan kebencian yang bahkan Arven pun tak sanggup menatap.

“Ini... bukan sekadar ujian kekuatan,” kata Arven pelan. “Ini ujian diri.”

Lyra melangkah ke depan, napasnya bergetar. “Kalau begitu... kita hadapi dengan jujur.”

Ia memejamkan mata, dan... tidak menyerang. Tapi membuka hatinya.

“Aku takut,” katanya lantang. “Aku takut gagal. Aku takut jadi sendirian lagi. Tapi itu gak bikin aku lemah. Itu bikin aku... manusia.”

Angin berhenti. Bayangan Lyra-Gelap mulai retak. Dan... pecah. Menghilang.

Kaelen menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Oke. Gaya lo keren, ya. Sekarang giliran gue.”

Ia melangkah maju, menghadapi versi gelapnya. “Gue ngerasa gak pernah cukup. Gak pernah kuat. Tapi lo tahu apa? Gue tetap berdiri. Gue tetap berjuang. Jadi... lo bisa hilang sekarang.”

Bayangan Kaelen pecah seperti kaca kena lemparan bola bowling.

Arven berdiri paling akhir. Wajahnya kaku. Tangan mengepal. Lalu pelan-pelan ia berkata, “Aku mengkhianati keluargaku karena kesombongan. Tapi aku tidak akan biarkan itu mendefinisikanku. Aku belajar. Aku berubah.”

Dan... versi gelap Arven menghilang dalam sekejap.

Void berteriak. “Tidak! Kalian tidak bisa menolakku! Aku adalah kalian!”

“Tepat,” kata Lyra. “Tapi kami memilih untuk tidak membiarkanmu mengatur hidup kami.”

Void menjerit, tubuhnya mulai pecah menjadi partikel cahaya. Tapi sebelum ia hilang, ia berkata pelan:

“Aku akan kembali. Selalu ada bagian dari kalian yang retak... dan dari sanalah aku tumbuh.”

Dan dengan cahaya terakhir, ia menghilang.

Sunyi.

Langit kembali bersih. Tanah tidak lagi gemetar. Dan dunia yang sempat terguncang... perlahan menenangkan diri.

Kaelen terduduk. “Gue capek banget. Kayak baru aja keluar dari terapi full paket.”

Lyra tertawa pendek, masih terengah. “Tapi kita berhasil. Kita bersihkan dunia ini dari bayangan lama.”

Arven berdiri, menatap langit. “Tapi ini baru permulaan. Dunia ini harus dijaga. Bukan cuma dari luar... tapi dari dalam diri kita sendiri.”

Pagi pertama setelah “insiden Void” terasa... aneh.

Bukan karena langit Aedhira berubah warna jadi oranye peach (meski itu agak bikin pengen nyemil), tapi karena untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, hening terasa nyaman.

Mereka duduk di pelataran kuil pusat. Lyra mengunyah roti keras yang rasanya seperti dilempar oleh dewa marah, Kaelen sedang sibuk mengoles mentega yang malah jatuh ke celana, dan Arven duduk menyeduh teh dengan pose bijak ala master catur.

“Jadi…” Kaelen memulai, masih ngunyah, “apa sekarang kita officially penyelamat dunia?”

Lyra memiringkan kepala. “Gak yakin. Tapi kalau iya, semoga dapet diskon makan seumur hidup.”

Arven tersenyum tipis. “Penyelamat dunia atau bukan, kita sudah menyembuhkan luka yang selama ini kita biarkan membusuk.”

“Yah, gue suka bagian ‘membusuk’ itu,” kata Kaelen, mengangkat alis. “Kedengeran dramatis dan agak menjijikkan, cocok banget.”

Lyra menatap langit. “Void... dia gak sepenuhnya hilang, ya?”

Arven mengangguk. “Tidak. Dia bagian dari semua makhluk hidup. Tapi sekarang kita tahu bagaimana menghadapinya.”

Sesaat, ketiganya diam. Lalu Lyra bangkit, menepuk-nepuk celana.

“Kalau gitu, mari kita jalan lagi. Kita punya satu tempat lagi yang harus kita kunjungi.”

Kaelen menyipit. “Jangan bilang-bilang kita balik ke... ya ampun, jangan Dunia Bawah lagi deh. Gue belum sembuh dari trauma bau-bauan di sana.”

“Bukan,” Lyra nyengir. “Kita ke Cermin Utama. Yang pertama. Yang semua cerita ini dimulai darinya.”

Arven berdiri. “Kuil Cahaya. Tentu.”

Mereka bertiga kembali berkelana, kali ini dengan langkah yang lebih ringan. Tapi sebelum benar-benar berangkat, Lyra berhenti. Ia menoleh ke Kaelen.

“Hey.”

“Hm?”

“Terima kasih, ya.”

Kaelen terdiam sebentar. Lalu senyumnya muncul—jarang, tulus, dan sedikit kikuk.

“Yah, apa pun buat cewek super kuat yang bisa ngomelin kegelapan pakai kata-kata kayak konselor remaja.”

Mereka tertawa.

Namun di dalam tawa itu, ada sesuatu yang berubah. Bukan dalam arti buruk. Tapi seperti... retakan lama yang akhirnya sembuh. Seperti pintu yang dulu tertutup, kini terbuka.

Dan saat mereka bertiga menapaki jalan menuju Kuil Cahaya, sinar pagi menyambut dengan hangat. Untuk pertama kalinya, bukan sebagai cahaya yang menyilaukan, tapi sebagai pelukan.

Di tempat lain...

Di lorong waktu Aedhira yang hampir punah, sesosok berdiri menatap ke dalam cermin. Ia mengenakan jubah abu-abu lusuh dan membawa tongkat yang sudah patah di ujungnya.

Matanya kosong. Tapi bibirnya berbisik:

“Mereka berhasil... Tapi perjalananku baru dimulai.”

Lalu ia menghilang dalam kilatan cahaya yang berdenyut seperti detak jantung dunia.

Dan petualangan Aedhira... masih jauh dari akhir.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!