Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tukimo, Paman Kami
Paman Tukimo menghidupkan motor prutul nya itu yang sudah tak karuan bentuknya. Berisik, dan kadang batuk-batuk seperti orang masuk angin. Namun, itu tak menghalanginya untuk menjalankan misi penting: membuntuti si Harry, pemuda yang tinggal bersama wanita bernama Kasandra Kinanthi.
Ia mengikuti dari kejauhan, cukup lihai bersembunyi di balik kendaraan. Lima belas menit berlalu, akhirnya Harry berhenti di pinggir jalan dan menghampiri seorang wanita dengan penampilan dewasa. Rambut disanggul rapi, bibir merah menyala, dada tampak terbelah dan parfum yang wanginya menusuk hidung Tukimo meski dari jauh.
Tukimo berbisik pada dirinya sendiri, "Lah, kocak!" Logat khas Gen Z-nya mendadak keluar. "Bocah muda itu ternyata main cewek juga? Kocak e ra karuan rek!"
Harry terlihat santai. Mereka mengobrol sebentar di bawah lampu jalan.
Wanita itu bertanya, "Kita siap pergi, Harry?" Suaranya dibuat lembut menggoda.
Harry menanggapi tanpa basa-basi, "Kamu bawa uang banyak kan hari ini, sayang?"
"Tentu saja dong. Aku udah siapin banyak buat kesayanganku ini." Wanita itu menepuk gemas pipi Harry. "Yuk, jalan."
Ia pun membonceng manja, menuju sebuah tempat dengan papan nama terang bertuliskan “Karaoke Cuan Juragan”. Tapi dari tampilan dan aura tempat itu, Tukimo tahu persis itu bukan sembarang karaoke.
Tukimo mencibir. "Lah, kocak maneh. Dolane ra tatanan!" gerutunya sambil memperhatikan dari kejauhan. Matanya menatap ke arah bangunan itu penuh curiga. "Tapi nek aku mlebu runu... wah, bisa-bisa Jay Boy ku ngerti, aku bakal dipenggal hidup-hidup."
Ia geleng-geleng kepala, memarkir motornya agak jauh. "Yo wes, tak tunggu wae kene. Sopo ngerti ono bukti sing iso tak tulis ning diary ku."
Tukimo duduk di atas motor prutul nya, membuka bungkus kacang rebus, dan mulai mengamati. Dalam hati, ia tahu, permainan Harry tidak sesederhana yang terlihat. Dan, Paman Tukimo siap jadi saksi hidup kebusukan seorang pemuda yang tidak tahu diri.
Meski kelopak matanya nyaris menutup karena kantuk, Paman Tukimo tetap bertahan di atas motor tuanya. Kacang rebus di tangannya sudah dingin, tapi rasa penasaran membuatnya tetap siaga. Akhirnya, pintu karaoke itu terbuka, dan Harry keluar seorang diri.
Langkahnya ringan, wajahnya berseri dengan senyum lebar penuh kepuasan. Sambil berjalan, ia menepuk-nepuk tas selempangnya seperti seseorang yang baru saja menyantap pesta ketamakan. Tas itu tampak menggembung. Jelas, isinya bukan cuma dompet dan tisu basah.
“Wah, oleh-olehmu duit kabeh, ya, Le?” gumam Tukimo lirih, setengah geli, setengah geram.
Sore menjelang. Langit berubah jingga, dan Harry kembali menyalakan motornya. Tukimo langsung siaga, menyalakan si prutul kesayangannya, membuntuti dari jauh.
Sekitar setengah jam kemudian, mereka tiba di sebuah rumah sederhana tanpa pagar, dindingnya sedikit kusam, dan tanaman di pot tampak tak terawat. Harry turun dan mengetuk pintu, lalu berseru pelan, “Assalamu’alaikum.”
Dari balik pintu, seorang wanita dengan rambut lurus rapi muncul di atas kursi roda. Senyumannya hangat. “Wa’alaikumsalaam… Harry, putraku.”
Ia membuka pelukannya lebar. Harry pun menunduk dan menyambut pelukan itu dengan lembut, seperti seorang anak yang baru saja pulang dari dunia yang keras.
Tukimo yang melihat dari kejauhan membelalak. “Kasandra…” desisnya lirih, seperti menyebut nama spesial dari masa lalu. Tubuhnya lemas seketika. “Benarkah itu dia?”
Namun kebersamaan hangat itu hanya bertahan sebentar. Sebuah mobil hitam mewah meluncur dan berhenti tepat di depan rumah. Mobil berjenis Alphard, dan dari pintu tengahnya keluar seorang pria tinggi besar dengan jas mahal. Sorot matanya dingin, langkahnya penuh keangkuhan.
Tukimo menegang. “Sopo kuwi?” bisiknya, alisnya bertaut.
Pria itu menatap rumah sederhana itu dengan jijik. “Ternyata selama ini kalian bersembunyi di tempat sekotor ini,” suaranya berat, penuh wibawa dan kesombongan yang tak berubah.
Harry langsung membeku. Matanya membesar. “Papi?”
“Papi sudah bilang... jangan pernah meninggalkan rumah. Dua bulan Papi ke luar negeri dan kalian malah melarikan diri dari istanaku. Apa kalian pikir bisa kabur dari tangan rajamu sendiri?”
Harry gemetar. Meski pria itu adalah Papinya, tak bisa dipungkiri bahwa pemuda itu menyimpan rasa takut yang amat besar. “Maafkan kami, Papi...” itu yang bisa ia ucapkan.
Wanita di kursi roda mencoba bicara dengan sopan, “Sayang, bukan maksud kami—”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipinya.
“Perempuan jalang! Tak berguna! Kau pikir bisa hidup tanpa aku? Bukannya menghasilkan uang, malah seperti pengemis yang minta dikasihani!”
Tukimo yang menyaksikan semua itu dari balik pohon langsung terjatuh ke belakang. Terjerembab sendiri sampai tangannya gemetar, napasnya memburu.
“I-i-it… i-it-u… Ju… Juragan Rafardhan…?” suaranya tercekat, penuh teror. “T-tidak mungkin… Dia… dia yang dulu Pengusaha Aspal dan Penguasa desa yang bahkan kepala desa pun tunduk padanya…”
Ia menatap kembali ke arah wanita di kursi roda. “Jadi… selama ini… Kasandra bersama Juragan Rafardhan?”
Paman Tukimo menggenggam stang motornya dengan gemetar. Perasaannya campur aduk. Ketakutan, marah, dan hancur. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Kalian harus ikut Papi pulang," ucap Papi Rafardhan, suaranya berat seperti palu godam yang mengetuk palu pengadilan.
"Tidak, Papi! Biarkan kami hidup sendiri!" Harry membalas dengan suara bergetar, penuh tekad bercampur ketakutan.
Rafardhan menyipitkan matanya tajam, lalu tanpa ampun menarik lengan Kasandra kasar.
"Kalian tak akan bertahan hidup di dunia sekejam ini tanpa perlindungan Papi," desisnya. "Kau harus kembali bekerja untukku, wanita jalang."
Paman Tukimo, yang mengintip dari balik pohon itu, merasa dadanya diremas. Hatinya remuk melihat Kasandra, wanita yang dulu pernah memenuhi separuh jiwanya, diperlakukan semena-mena seperti binatang.
"Kasandra..." lirih Tukimo, air matanya menetes tanpa bisa ia cegah. Tapi lebih dari sekadar menangis, ia lumpuh. Tak berdaya. Tubuhnya serasa melebur ke dalam tanah berlumpur yang kotor.
Juragan Rafardhan bukanlah pria biasa. Ia berkuasa. Dihormati sekaligus ditakuti. Bahkan aparat pun kerap menutup mata bila berhadapan dengannya. Sekarang, bisnisnya semakin tidak main-main.
"Sayang, jangan paksa aku kembali," rintih Kasandra dengan suara serak, berusaha menarik lengannya yang masih digenggam kuat. "Biarkan aku hidup sederhana bersama putraku..."
Namun Rafardhan hanya mendengus kasar. "Kau pikir dunia akan membiarkanmu begitu saja? Kau punya hutang. Dan penyakitmu itu—" ia mencibir, "takkan menebus harga dirimu."
"Papi! Kumohon... jangan bawa Bunda," Harry berlutut, memohon dengan segenap jiwa.
Rafardhan menunduk, lalu menepuk-nepuk dagu putra semata wayangnya itu dengan senyum penuh ejekan.
"Apa pacarmu masih bersamamu, Harry?" tanyanya manis, tapi ada racun yang tersembunyi dalam suaranya.
Harry tertegun. "Apa maksud Papi?"
Rafardhan menyeringai kejam.
"Kalau kau ingin mengambil Bundamu kembali, bawakan pacarmu ke hadapan Papi."
Deg!
Seperti lehernya langsung dicekik oleh tali tak kasat mata, Harry membeku. Napasnya tercekat.
Di balik pohon itu, Tukimo pun membelalak, merasa firasat buruk menggerogoti hatinya. Seperti apakah Juragan Rafardhan saat ini? Dia semakin terlihat memiliki kuasa yang tak terkalahkan.
satu ibu
lain bpk
btw,,aku nyesek dgn nasib Tukimo,, sumpah mewek parah aku di part ini 😢😢😢