Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Janji yang Menumbuhkan"
Hari-hari dalam hidup Johan kembali mengalir seperti dulu—tenang, nyaris tanpa riak. Tidak ada lagi kasus besar yang membelit pikirannya. Ia telah kembali ke rutinitas, masuk kantor, menandatangani dokumen, dan menunaikan tanggung jawab dalam bisnisnya seperti biasa.
Namun, batinnya tahu, dirinya tak lagi sama.
Ia telah menyelesaikan sebuah janji yang teramat penting. Janji yang pernah ia bisikkan pada seorang gadis di Puncak Merpati, di bawah langit Gunung Marapi. Gadis itu, Keysha, tunangan yang telah lebih dulu menjejak alam lain. Janji sederhana, namun ternyata memuat makna yang lebih besar dari sekadar kata-kata.
Dari janji itulah, terbongkar rahasia yang mengguncang satu negeri. Dari janji itu pula, delapan belas nama terjerat hukum, termasuk Mulyono—seorang yang pernah ingin menjadi mitra bisnisnya. Dan dari janji itu, Johan bertemu Liana—gadis pedalaman Bukit Barisan yang polos namun haus akan pengetahuan dunia.
"Terima kasih, Key..." lirih Johan dalam hati, "kau telah mengingatkanku pada janji itu. Kita mungkin tak tahu saat itu, bahwa kata-kata kita di puncak merpati akan menyelamatkan generasi bangsa dari lingkaran racun. Teman-teman kita yang sempat terjebak, kini bebas. Para iblis yang bersembunyi di balik senyum para pejabat, kini mendekam di balik jeruji."
Johan menarik napas panjang, memandang langit dari balik kaca kantornya.
"Key, kau tetap menyelamatkanku, bahkan saat kau tak lagi di dunia ini. Andai aku tetap menjalin kerja sama dengan Mulyono, mungkin aku ikut terjerembap. Tapi kau... Kau menuntunku kembali, seperti bintang yang tak pernah padam di malam paling gelap. Senyummu akan selalu hidup di setiap pejam mataku. Namamu abadi di dadaku. Selamat tinggal, sayang. Aku akan hidup seperti yang pernah kau ucapkan—tegak dan jujur."
---
Langit siang sedikit mendung. Matahari bersembunyi separuh di balik awan. Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas. Johan baru saja menandatangani berkas-berkas yang menumpuk selama berminggu-minggu.
“Tok, tok, tok.”
“Masuk,” sahut Johan, sambil menuangkan air dari dispenser.
“Eh, Mbak... Maksud saya, Buk Keyla. Ada apa, Buk?” tanyanya pada satpam perempuan yang juga tetangganya.
“Ada tamu, Pak Jo. Nyariin dari tadi. Namanya Kalmi, Desi, sama satu lagi... Duh, lupa. Tapi wajahnya cantik banget, Pak, kayak bidadari. Cuma setengah mukanya ada bekas luka. Tapi tetep cantik, kok,” jelas Buk Keyla dengan wajah semangat.
“Oh, Liana. Suruh masuk aja. Sekalian tolong bawain makanan dan minuman ya, Buk.”
“Siap, Pak Jo.”
Beberapa menit kemudian, tiga gadis itu masuk. Kalmi menggandeng Desi, sementara Liana tampak sibuk menelusuri sudut ruangan dengan takjub, seperti anak kecil yang baru pertama kali masuk ke istana.
“Hai, ada angin apa nih kalian ke sini? Silakan duduk,” sambut Johan, sorot matanya tertuju pada Liana. Sudah satu bulan gadis itu tidak tinggal bersamanya. Ia menemani ayah angkatnya di rumah sakit, dan Johan hanya sempat menjenguk dua kali seminggu.
"Dan... Liana? Kok lu bawa dia ke sini, Mi? Bukannya dia harus jagain ayah angkatnya?"
“Nah, itu dia alasannya gua ke sini,” sahut Kalmi. “Tadi gua ke rumah sakit bareng Desi. Gak sengaja ketemu Lia. Ayah angkatnya bilang udah sehat, harus balik ke sel lagi. Dia juga ingetin soal janji lu. Katanya, Lia harus lu sekolahkan.”
“Oh… Begitu, ya,” Johan menunduk pelan. “Maaf ya, Lia. Akhir-akhir ini aku sibuk banget.”
“Nggak apa, Jo. Aku ngerti kok. Aku udah baca buku yang kamu kasih. Aku mulai ngerti sedikit-sedikit soal dunia kalian.”
“Kalau gitu, gua pamit, Jo. Titip Lia, ya. Ayah angkatnya udah dibawa ke sel tadi pagi. Jangan macam-macam ya!” ucap Kalmi sambil ngedip nakal.
“Anjing lu, Mi…”
“Diapa-apain itu maksudnya gimana, Jo?” tanya Liana polos.
“Gak usah dengerin Kalmi, Lia. Dia memang suka stres.”
---
Buk Keyla masuk membawa nampan berisi makanan dan minuman.
“Loh, dua orang tadi udah pulang, Pak? Saya ketemu di gerbang barusan.”
“Iya, saya usir,” jawab Johan santai.
“Ohh, ini toh yang namanya Liana? Cantik, ya. Cocok banget sama Pak Jo. Tadi si Mas Kalmi bilang, Mbak Lia ini udah jadi pacar Pak Jo?”
Liana mengerutkan dahi. “Pacaran itu apa, Jo?”
Johan mematung. Wajahnya merah.
“Eh, pacaran itu...” Buk Keyla langsung menyambung, “...dua orang yang saling sayang, saling cinta. Mereka menjalani hubungan, sering ketemu, jalan bareng, biar makin kenal satu sama lain...”
“Cukup, Buk,” potong Johan cepat.
“Sekarang, Buk Keyla ajak Lia keliling kantor ya. Saya mau lanjut kerja.”
“Siap, Pak Jo. Yok, Mbak Lia.”
Liana mengikuti Buk Keyla dengan langkah ringan, sementara Johan kembali duduk di kursinya. Tapi pikirannya melayang.
Ia menatap layar komputer, tapi bayangan wajah Liana justru yang hadir di sana. Ia mengingat kembali semua yang terjadi di Bukit Barisan. Bagaimana sebuah janji membawa mereka ke dalam bahaya, tapi juga menuju takdir yang tak bisa ditebak. Apakah ini yang disebut hidup? Bahwa satu kata bisa mengubah segalanya?
Ia teringat pertanyaan Liana—tentang pacaran. Naif. Tulus. Lugu. Tapi justru dari keluguan itu, Johan merasa hatinya seperti menemukan sesuatu yang sudah lama hilang. Ia tersenyum pelan. Mungkin, ia sedang jatuh cinta. Atau... mungkinkah hanya gejolak sesaat?
Sudah tujuh tahun sejak Keysha pergi. Dan sejak itu, Johan tak pernah benar-benar mengizinkan hatinya jatuh lagi.
Namun kini... mungkinkah hatinya mulai terbuka kembali?
Kembali ke dunianya yang nyata, Johan duduk di balik meja kerjanya. Tumpukan dokumen berdiri tegak seolah menuntut perhatian. Email-email masuk dengan nada sunyi yang tak terdengar namun mendesak. Agenda pertemuan tersusun rapi, menanti untuk dibuka satu per satu. Tapi pikiran Johan tak sepenuhnya berada di sana. Ada seseorang yang mengusik kesadarannya, lembut tapi pasti—Liana.
“Apa ini cinta?” bisiknya dalam hati.
Lalu buru-buru ia menolak. “Bukan. Mustahil. Cinta itu telah habis bersama Keysha. Ini... ini hanya bayang semu. Nafsu belaka.”
Namun pikirannya tak mau diam, seperti ombak yang terus datang meski pantai berulang kali menolaknya.
Saat jam menunjukkan tengah hari, Johan berdiri. Ia keluar sejenak, melangkah pelan menyusuri taman kecil di samping gedung kantornya. Langit menggantung tenang, angin semilir menyapu wajahnya. Udara segar itu membuatnya terdiam, membiarkan kenangan melintas satu per satu. Perjalanan panjang yang dilaluinya, pertempuran batin, luka lama, dan janji yang terpatri di puncak Merpati. Semua seperti berputar ulang dalam benaknya.
Ada rasa syukur di dadanya. Di antara hiruk-pikuk dunia, dia masih bisa berguna. Ia berhasil menegakkan kebenaran. Tuhan mempertemukannya dengan orang-orang baru. Empat bulan terakhir menjadi semacam mukjizat dalam hidupnya yang lama beku. Dan di antara semuanya, Liana... dia hadir bak cahaya senja—tenang, indah, dan sulit diabaikan.
Tapi janji kepada Keysha tak pernah pudar. Di balik senyum yang perlahan mulai merekah di wajah Johan, ada duka yang tetap tinggal. Ia masih mengenang perempuan yang dulu hendak dia nikahi, perempuan yang kini telah tenang di sisi semesta.
Saat kembali ke ruang kerjanya, Johan mendapati Liana telah duduk bersama Mbak Keyla, membawa makanan dan minuman. Mereka tertawa kecil, membicarakan hal-hal sederhana. Tapi di sanalah letak keindahannya. Kesederhanaan itu menghangatkan.
Dalam setiap tatapan polos Liana, Johan melihat sesuatu yang jujur—sesuatu yang dunia sering sembunyikan. Mungkin dia memang belum tahu banyak tentang dunia modern, tapi justru di situlah letak keindahannya. Dunia terlalu ramai oleh kebohongan dan kepalsuan, hingga kepolosan jadi barang langka.
Johan membiarkan dirinya hanyut dalam lamunan, merenungi isi hatinya sendiri. Perasaan yang tumbuh ini... mungkinkah cinta? Atau hanya kagum pada yang polos? Tapi di tiap kenangan, di tiap momen ketika Liana menggenggam dunia dengan tanya-tanya polosnya, Johan merasa hidup kembali. Seakan jiwanya yang selama ini tertidur perlahan terbangun.
Keysha tetaplah kenangan yang tak tergantikan. Tapi Liana membawa warna baru—bukan untuk menggantikan, melainkan melengkapi. Mungkin memang benar, bahwa Tuhan tak pernah mengambil sesuatu tanpa berniat menggantinya dengan yang lain. Mungkin Liana adalah caranya menunjukkan bahwa hidup terus berjalan.
Sore itu, Johan menyelesaikan sisa pekerjaannya dengan ringan. Kepalanya tak lagi dipenuhi beban, dadanya lebih lapang. Saat hari mulai menua, dan langit mulai menghapus warna birunya, Johan dan Liana pulang bersama.
Liana kembali tinggal di rumahnya, sekamar dengan adik Johan, Putri. Meski belum lama saling mengenal, mereka sudah seerat dua helaian benang yang dijahitkan bersama. Putri memang merindukan Liana. Rumah itu jadi lebih hidup dengan kehadirannya.
Langit mulai meredup saat mobil Johan melaju pulang. Mentari perlahan bersembunyi di balik cakrawala, seperti menyerahkan dunia pada malam. Tapi di hati Johan, ada cahaya yang tak padam. Hangat, lembut, menyala dari sudut yang tak terduga.
Di antara keraguan dan harapan, Johan tahu—Liana mungkin adalah takdir berikutnya. Sebuah cahaya baru yang akan menuntunnya melewati malam, menuju pagi yang lebih terang.