Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
permintaan Tante Siska
Ezra rebahan di sofa ruang tengah dengan posisi seenaknya. Satu kaki naik ke sandaran, satu tangan memegang remote, sementara tangan satunya sibuk mengambil camilan dari bungkus snack yang sudah hampir kosong. Acara TV berjalan tanpa benar-benar ia perhatikan—yang penting ada suara dan makanan.
Kriuk.
Remahan snack jatuh ke sofa.
Kriuk.
Kali ini ke lantai.
Ezra tidak peduli. Ia justru tersenyum puas, hendak mengambil camilan terakhir ketika sebuah suara berat terdengar dari belakang.
“Ezra.”
Nada itu cukup untuk membuat Ezra menegang.
Ia menoleh perlahan dan mendapati mama Rani berdiri dengan tangan bertolak pinggang. Perutnya yang membesar—usia kandungan tujuh bulan—membuat posisinya terlihat sedikit miring, tapi sorot matanya tajam tanpa kompromi.
“Kamu enak-enakan banget, ya?” suara mama Rani naik. “Mama lagi hamil gede gini, kamu malah bikin rumah kotor!”
Belum sempat Ezra berdalih, telinganya sudah dijewer.
“A-akh! Mama! Sakit!” Ezra meringis sambil berdiri refleks. “Lepas dong, Ma!”
“Kamu itu kalau disuruh bersih-bersih susah, tapi kalau makan nggak pernah nolak!” omel mama Rani sambil tetap menjewer, sebelum akhirnya melepas dengan dengusan kesal.
Ezra mengusap telinganya sambil manyun. “Kan bisa nanti, Ma…”
Belum sempat mama Rani membalas, bel rumah berbunyi.
ding dong
Mama Rani menarik napas panjang. “Sebentar.”
Ia berjalan ke pintu, Ezra mengikutinya dengan langkah malas. Begitu pintu dibuka, seorang wanita paruh baya berdiri di sana. Penampilannya rapi, senyumnya tipis, dan di tangannya terdapat kotak kue.
“Halo, Bu. Saya tetangga baru,” ucap wanita itu ramah. “Saya mau ngasih ini.”
“Oh, makasih ya Bu." mama Rani tampak terkejut lalu tersenyum sopan. “bu Siska Baru pindah, ya?”
“Iya, Bu. Nama saya Siska.”
“Ayo masuk dulu, Bu Siska,” tawar mama Rani.
Wanita itu masuk dan duduk di sofa. Ezra ikut duduk, menatap tamu itu dengan rasa ingin tahu.
“Sebenernya,” Siska membuka suara sambil meletakkan kotak kue di meja, “sekalian ada yang mau saya omongin sama anak ibu.”
Mama Rani menoleh ke Ezra, lalu kembali ke Siska. “Oh? Tentang apa, Bu?”
Siska melirik Ezra. “Tentang anak saya. Vira.”
Ezra mengernyit. “Vira? Anak baru di sekolah?”
Siska mengangguk. “Iya.”
Ezra mengingat wajah gadis itu—pendiam, terlihat lemah, dan selalu menunduk. “Iya, Tante. Tadi di sekolah sempat kenalan. Kenapa emangnya?”
Siska menarik napas, seolah mengumpulkan keberanian. “Anak tante itu punya penyakit.”
Mama Rani refleks duduk lebih tegak.
“Penyakitnya cukup serius,” lanjut Siska, suaranya sedikit bergetar. “Namanya lupus. Penyakit autoimun. Dia nggak boleh terlalu capek, nggak boleh stres, dan harus rutin berobat.”
Ezra terdiam.
“Tubuhnya jadi kurus,” Siska melanjutkan dengan nada lirih. “Dan di sekolah lamanya, dia sering dijauhi. Nggak punya teman.”
Mama Rani mengangguk pelan, wajahnya mulai menunjukkan empati.
“Makanya,” suara Siska melembut, “tante mau minta tolong.”
Ezra menelan ludah. “Minta tolong… gimana, Tan?”
“Tolong temani Vira,” ucap Siska pelan tapi jelas. “Jagain dia di sekolah. Kalau dia capek, ingetin. Kalau dia sendirian, temenin.”
Siska mencondongkan tubuh sedikit. “Kalau perlu… Tante bisa kasih kamu uang. Tante cuma nggak mau anak tante merasa sendirian lagi.”
Ezra terdiam beberapa detik.
Di kepalanya, kata uang bahkan bukan yang pertama muncul. Yang muncul justru bayangan gadis itu—Vira—yang selalu menunduk dan duduk diam di kelas.
“Insyaallah, Tan,” ucap Ezra akhirnya. “Kalau Ezra mampu.”
Wajah Siska langsung berubah cerah. “Makasih, ya, Nak.”
Tak lama kemudian, Siska pamit. Setelah pintu tertutup, mama Rani tidak langsung bicara. Ia menatap pintu cukup lama sebelum akhirnya duduk kembali.
“Mama nggak tahu kenapa,” ucapnya pelan, “tapi mama ngerasa… nggak enak.”
Ezra menoleh. “Mama nggak boleh so'uzon.”
Mama Rani menatap anaknya serius. “Mama cuma nggak mau kamu gampang percaya sama orang baru.”
Ezra berdiri. “Tenang aja, Ma. Ezra ke atas dulu. Mau mandi, udah mau magrib.”
Ia melangkah menuju tangga.
“Ez!” mama Rani memanggil.
Ezra menoleh.
“Kalau ada apa-apa, bilang mama.”
Ezra tersenyum kecil. “Iya, Mama.”
Namun saat ia naik ke kamarnya, satu pikiran terlintas di benaknya—
Kenapa tante itu keliatan terlalu ingin Vira dekat sama kami?
Dan entah kenapa, perasaan itu… nggak enak.
★★★
Ezra mengusapkan rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil berwarna abu-abu. Aroma sabun masih melekat di kulitnya setelah mandi singkat menjelang magrib. Ia melirik jam di dinding kamar—18.02. Sebentar lagi azan.
Handuk itu ia lempar asal ke kursi, lalu Ezra segera mengambil ponselnya dari atas meja belajar. Layarnya menyala, menampilkan notifikasi grup chat yang sudah lama sepi. Tanpa pikir panjang, ia mengetik.
Ezra:
guyss tau gak
Tak butuh waktu lama, balasan langsung bermunculan.
Kairo:
gak tau kan lo belum kasih tau
Ezra terkekeh kecil. Ia bersandar di sandaran tempat tidur, satu kakinya ditekuk, jari-jarinya kembali menari di layar.
Ezra:
si Vira satu kompleks anjirr sama kita
Beberapa detik hening. Lalu—
Leo:
ahh yang bener lo
Ezra:
iya anjirr tadi mamanya kerumah gue
Kaizen:
mau apa?
Ezra menghela napas sejenak sebelum menjawab. Entah kenapa, ada perasaan ganjil yang mengganjal dadanya sejak percakapan sore tadi.
Ezra:
dia bilang minta gue jagain Vira di sekolah. katanya anaknya gak boleh kecapean, gampang drop, sama susah adaptasi sama lingkungan baru
Ia sengaja memperpendek penjelasan. Bukan malas, tapi hatinya sendiri belum sepenuhnya yakin dengan alasan Tante Siska.
Kairo:
lah lo aja sana yang jagain
Ezra:
yeuuh gak asik lo
Kairo:
yaudah sih terima aja
Ezra menatap layar lebih lama dari sebelumnya. Jemarinya terhenti. Ada nama yang tiba-tiba terlintas di kepalanya—Elara.
Ezra:
tapi dihati gue udah ada Elara
Grup chat mendadak sepi beberapa detik. Sampai akhirnya—
Leo:
tapi dihati Elara belum tentu ada lo. lagi pula mamanya Vira minta jagain bukan terima cintanya
Ezra mengatupkan bibirnya. Kalimat Leo terasa seperti tamparan pelan, tapi nyata. Ia mematikan layar sebentar, menatap langit-langit kamar yang dicat putih pucat.
“Iya juga sih…” gumamnya lirih.
Ponsel kembali bergetar.
Ezra:
sen kok lo gak muncul-muncul sih
Tak lama kemudian—
Arsen:
males. obrolan kalian gak penting
Ezra mendengus kecil. Arsen memang selalu begitu—dingin, singkat, dan jarang peduli urusan perasaan.
Kaizen:
udah ah. besok aja dipikirin. sholat dulu
Ezra mengangguk meski tak ada yang melihat. Ia meletakkan ponselnya, lalu bangkit mengambil sarung dan peci. Namun sebelum keluar kamar, pikirannya kembali melayang ke wajah Vira.
“Kenapa rasanya gak sesimpel itu…” gumam Ezra.